Irjen Polisi Agus Nugroho (tengah). | Dhemas Reviyanto/ANTARA FOTO

Kabar Utama

‘Kapolda Sulteng tak Paham Undang-Undang’

Irjen Agus Nugroho tolak sebut kasus di Parigi Moutong bukan pemerkosaan.

JAKARTA -- Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng) Irjen Agus Nugroho kedapatan menyatakan bahwa kasus yang menimpa gadis berusia 15 tahun di Parigi Moutong (Parimo) bukan pemerkosaan. Ia menilai, kasus yang melibatkan 11 pelaku ini merupakan persetubuhan dengan anak di bawah umur.

Komentar tersebut langsung mengundang komentar negatif berbagai pihak. "Pernyataan itu tidak sensitif gender dan tidak berpihak pada korban tindak pidana kekerasan seksual apalagi korbannya anak di bawah umur," ujar Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto saat dihubungi Republika, Kamis (1/6). 

Bahkan, menurut Bambang, pertanyaan Irjen Agus Nugroho layak dipertanyakan, apakah Kapolda sebagai pimpinan penegak hukum di wilayah Sulteng memahami Undang-undang (UU) 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau TPKS. Kapolda juga harus bisa menjelaskan perbedaan antara perkosaan dengan pasal 4 ayat 2 (c) persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan atau eksploitasi seksual terhadap anak.

"Substansi dari kasus tersebut adalah tindak pidana kekerasan seksual. Bahwa modusnya adalah perkosaan, pelecehan, penyiksaan seksual sesuai pasal 11 undang-undang tersebut itu adalah persoalan lain yang harus dibuktikan,Tapi faktanya ada korban yang mengalami TPKS," terang Bambang.

Pernyataan Kapolda Sulteng Irjen Agus Nugroho tentang kasus di Parigi Moutong. - (Instagram Humas Polda Sulteng)  ​

Karena itu, Bambang menyatakan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo hendaknya mengevaluasi Kapolda yang tidak sensitif terhadap kasus TPKS. Lalu juga layak dipertanyakan juga apa motif Kapolda membuat pernyataan yang mencoreng wajah Polri dengan tidak sensitif pada perlindungan anak dan TPKS tersebut.

"Kapolri hendaknya segera mengevaluasi kapolda yang memiliki mindset tidak sensitif pada TPKS ini," tegas Bambang. 

Sebelumnya, Kapolda Sulteng menolak menyebut kasus asusila terhadap anak RO (15 tahun) sebagai tindak pidana pemerkosaan atau rudapaksa. Irjen Agus Nugroho menegaskan, kasus yang melibatkan 11 orang sebagai pelaku dan tersangka tersebut, adalah tindak pidana berupa persetubuhan terhadap anak di bawah umur.

“Kasus tersebut adalah bukan pemerkosaan, ataupun rudapaksa. Saya ingin meluruskan penggunaan istilah ini. Kita tidak menggunakan istilah pemerkosaan dalam kasus ini. Melainkan persetubuhan terhadap anak di bawah umur,” begitu kata Irjen Agus dalam konferensi pers yang dikutip Republika dari Instagram resmi Bidhumas Polda Sulteng, pada Kamis (1/6/2023). 

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by BIDHUMAS POLDA SULTENG (bidhumaspoldasulteng)

Agus menjelaskan mengapa kasus itu bukan pemerkosaan. Kata dia, tindak pidana pemerkosaan mengacu pada konstruksi Pasal 285 KUH Pidana. Di dalam pasal tersebut, unsur-unsur pemerkosaan adalah terjadinya persetubuhan paksa di luar pertalian pernikahan. Pun dilakukan karena adanya tindak kekerasan, maupun pengancaman.

“Secara tegas dinyatakan bahwa dalam pemerkosaan adanya sifat konstitutif berupa tindakan kekerasan, ataupun ancaman kekerasan dalam memaksa seorang wanita untuk bersetubuh di luar perkawinan,” ujar Agus.

Akan tetapi dalam kasus yang dialami oleh RO, perempuan 15 tahun itu terjadinya persetubuhan lantaran dasar iming-iming dan janji. Para pelaku persetubuhan anak itu, pun dari hasil penyidikan tak ada yang melakukan pengancaman, ataupun kekerasan.

“Modus operandi yang digunakan bukan dengan kekerasan, atau pengancaman. Melainkan dengan bujuk rayu, tipu daya, iming-iming dan janji, akan diberikan uang, dan sejumlah barang,” terang Agus. Bahkan dikatakan Agus, ada beberapa pelaku persetubuhan tersebut yang menjanjikan akan menikahi jika RO hamil.

Karena kasus tersebut tak masuk dalam tindak pidana pemerkosaan, menurut Agus, tim penyidik Polda Sulteng mengambil jalan penuntasan kasus tersebut dengan mengacu pada Pasal 81 Undang-undang (UU) 35/2014 tentang Perlindungan Anak (PA).

Karena, dikatakan Agus, peristiwa persetubuhan yang dialami oleh, terjadi pada saat usianya baru menginjak 15 tahun 7 bulan. Penggunaan sangkaan tersebut, pun dikatakan Irjen Agus lebih mumpuni dalam menghukum pelaku dan tersangka yang saat ini beberapa diantarnya sudah berhasil ditangkap dan ditahan.

Para pelaku

Irjen Agus menjelaskan, kasus yang dialami oleh RO ini terjadi di Desa Sausu, Parigi Moutong. Kasus tersebut dilaporkan pertama kali ke Polres Parigi Moutong, pada 25 Mei 2023. Kasus tersebut dilaporkan sendiri oleh orang tua RO. Dan penyelidikan, serta penyidikan yang dilakukan oleh Polres Parigi Moutong, saat ini diambil alih oleh Polda Sulteng.

Dalam penyidikan saat ini, ditemukan 11 nama yang terlibat dalam persetubuhan anak RO tersebut. Akan tetapi, kata Agus, 11 pelaku tersebut tak melakukan persetubuhan itu dengan cara serempak.

 
Modus operandi yang digunakan bukan dengan kekerasan, atau pengancaman. Melainkan dengan bujuk rayu, tipu daya.
Kapolda Sulteng, Irjen Agus Nugroho
 

Kata Agus, 11 pelaku tersebut adalah HR alias Pak Kades (43 tahun); ARH alias Pak Guru (40); AK (47), AR (26), NT (36), FN (22), K (32), AW, dan AS, HK, serta MKS. Pelaku inisial MKS, diakui Irjen Agus adalah sebagai anggota Polri. “Namun siapapun dia, anggota Polri atau tidak, kita akan tindak tegas jika memang terbukti terlibat dalam perkara ini,”ujar Agus.

Dari hasil penyidikan sementara ini terungkap, para pelaku tersebut menyetubuhi RO tidak dengan cara bersama-sama.

“Jadi persetubuhan anak ini dilakukan secara berdiri sendiri-sendiri. Dari penyidikan diketahui persetubuhan anak ini terjadi sepanjang 10 bulan, dari April 2022 sampai Januari 2023,” begitu terang Agus.

Sementara ini, kata Agus, tim penyidikan sudah melakukan penangkapan terhadap lima pelaku. Mereka di antaranya NT, ARH, AR, AK, dan HR. Kelima tersangka itu, sudah dalam penahanan di Polda Sulteng.

Dari kelima tersangka itu, terungkap NT melakukan persetubuhan dengan anak RO sebanyak dua kali sepanjang Desember 2022-Januari 2023. Sedangkan tersangka ARH menyetubuhi RO sebanyak enam kali pada April 2022-Januari 2023.

Tersangka AR, melakukan persetubuhan dengan RO sebanyak empat kali periode Mei - Desember 2022. Tersangka AK, melakukan persetubuhan dengan RO empat kali pada Desember 2022-Januari 2023, dan tersangka HR menyetubuhi RO dua kali pada April - Desember 2022.

Dari penjelasan para tersangka, dan kesaksian korban anak RO, diketahui ada enam titik lokasi perbuatan persetubuhan itu dilakukan. Tempat kejadian pertama di rumah tersangka AK. Dan juga sering dilakukan di Kantor Kesekretariatan Desa Sausu, di Penginapan C, dan di Penginapan S.

Persetubuhan itu juga dilakukan di pinggir Sungai Desa Sausu, serta di satu pondok perkebunan di Desa Sausu. “Semua peristiwa tersebut tempat kejadiannya ada di wilayah hukum Parigi Moutong,” begitu sambung Agus.

Saat ini, kata Agus, tim penyidik Polda Sulteng terus melanjutkan pengungkapan kasus tersebut. Prioritas utama adalah melakukan pencarian dan penangkapan terhadap enam tersangka pelaku persetubuhan. Termasuk akan mencari keberadaan salah-satu anggota Polri, yang turut terlibat dalam persetubuhan anak RO tersebut.

Darurat Kekerasan Seksual - (Republika)  ​

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, juga mengkritik pernyataan Irjen Agus Nugroho. Menurut dia, polisi yang mengkategorikan kasus itu sebagai persetubuhan alih-alih pemerkosaan atau rudapaksa sangat disayangkan.

“Bersetubuh dengan anak adalah perkosaan atau dikenal dengan statutory rape. Pernyataan Kapolda tersebut seolah menurunkan tingkat kejahatan tersebut, padahal ancaman pidananya lebih besar,” kata Erasmus kepada Republika, Kamis (1/6/2023). 

Menurut Erasmus, pernyataan polisi itu sangat destruktif bagi pembaruan politik hukum di Indonesia. Bahkan, dia menyebut jika pernyataan Kapolda Sulteng menyoal pemahaman hukum, terkesan parsial dan tidak komprehensif. 

“Juga tidak sesuai dengan perkembangan komitmen hukum di Indonesia tentang kekerasan seksual, yang telah diperbarui dengan adanya UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan juga dengan adanya UU No 23 tahun 2002 serta perubahannnya dalam UU No 35 tahun 2014 dan UU No 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak,” tutur dia. 

photo
Peserta membawa poster tuntutan saat unjuk rasa di depan Kantor Dinas Pendidikan, Kota Kediri, Jawa Timur, Senin (25/7/2022). - (ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/rwa.)

Dia menjelaskan, persetubuhan yang dinarasikan polisi disertai iming-iming dan menjadikannya ‘persetubuhan’ tidak tepat. Sebaliknya, meski ada bujuk rayu atau iming-iming, perbuatan kekerasan seksual yang melibatkan anggota Brimob inisial HST dan Kepala Desa inisial HS merupakan kejahatan berat. 

“Dalam UU Perlindungan Anak, pengaturan ini memberikan degree atau level kejahatan persetubuhan kepada anak menjadi lebih berat, sekalipun dilakukan dengan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk,” tutur dia.

Dengan adanya pernyataan itu, dia meminta pihak kepolisian memahami diskursus perlindungan anak dengan cara apapun merupakan perkosaan yang mutlak atau Statutory Rape.  

“Sama sekali tidak sulit memahami ini dan berempati pada korban anak. Pun juga, Polisi harus memahami perkembangan politik hukum yang ada di Indonesia, dengan adanya Pasal 4 ayat (2) UU TPSK,” kata dia.

Subsidi Kendaraan Listrik untuk Siapa?

Efektivitas program subsidi kendaraan listrik terus dipertanyakan.

SELENGKAPNYA

Menelaah Dampak Beda Usia dalam Hubungan

Terdapat dua penelitian yang bertentangan tentang dampak hubungan dengan beda usia yang jauh.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya