Cerpen Di Antara Hujan dan Orang-Orang Toxic | Daan Yahya/Republika

Sastra

Di Antara Hujan dan Orang-Orang Toxic

Cerpen Darju Prasetya

Oleh DARJU PRASETYA

 

Aku hanya ingin berbicara pada rintik hujan pagi ini. Pada laut yang terhampar luas dengan gelombang yang tenang, seakan menyimpan cerita-cerita lama yang tak pernah tuntas. Ada masa lalu yang ingin mereka bisikkan kembali—dan aku rela menjadi pendengarnya.

Entah sejak kapan aku mulai jenuh dengan hari-hari yang sekarang. Terlalu banyak wajah beracun yang kutemui; orang-orang toxic yang perlahan meracuni pikiranku, seperti kabut tipis yang tak terlihat namun membuat napas sesak.

“Di tempat kerjamu itu, terlalu banyak orang toxic yang mengusik ketenanganmu. Mereka sibuk mencari kesalahanmu. Jangan selalu mengalah. Nanti justru menjadi penyakit. Tegakkan badanmu, Nak… lawan mereka yang ingin melemahkanmu,” pesan seorang tua yang telah banyak makan pahit hidup.

Kini aku duduk sendirian di tepi pantai, membiarkan waktu menetes perlahan. Aku ingin berbicara pada ombak, pada deru angin, pada hujan yang turun malu-malu. Mungkin hanya alam yang benar-benar mau mendengar keluhku, tanpa menghakimi, tanpa menuntut apa-apa. Hanya mendengar—dan itu sudah cukup.

Ombak bergulung pelan, membawa bisikan-bisikan samar. Mungkin ini hanya ilusi, tapi aku bisa mendengar suara-suara asing mengalun dari kejauhan. Bukan suara manusia—lebih seperti nyanyian paus yang melankolis, berpadu dengan desir angin yang membawa aroma garam.

"Kau tampak lelah," sebuah suara lembut menyapa dari belakang.

Aku menoleh, mendapati sosok wanita tua dengan rambut putih panjang tergerai. Gaun putihnya melambai ditiup angin, seakan terbuat dari kabut pagi yang menari-nari. Yang paling mencolok adalah matanya—berwarna biru kehijauan seperti air laut, dengan kedalaman yang tak terperi.

"Siapa..." kata-kataku terhenti ketika wanita itu tersenyum. Ada sesuatu yang familiar dari senyumnya, seolah aku telah mengenalnya sejak lama.

"Aku adalah Penunggu Pantai," jawabnya sambil duduk di sampingku. "Dan kau adalah jiwa yang tersesat, mencari jawaban dalam deburan ombak."

Aku tertawa kecil. "Apakah semua orang yang datang ke pantai ini jiwa yang tersesat?"

"Tidak semua. Tapi kau berbeda—kau bisa mendengar suara-suara yang tak bisa didengar orang lain. Suara kesedihan laut, tangisan awan, bisikan angin."

Kata-katanya membuatku tertegun. Memang benar, sejak tadi aku mendengar melodi-melodi aneh yang seharusnya tidak ada. Suara-suara yang terlalu indah untuk dunia nyata.

"Maukah kau ikut denganku?" tanya sang Penunggu Pantai. "Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan."

Tanpa ragu, aku menggenggam tangannya yang terulur. Dingin—seperti air laut di pagi hari. Ketika kami melangkah ke arah laut, air tidak membasahi kaki kami. Justru terbelah, membentuk jalan setapak yang menuju ke kedalaman.

Di bawah permukaan laut, dunia berubah menjadi lukisan surealis yang bergerak. Ikan-ikan bercahaya menari dalam formasi spiral, membentuk tornado warna-warni yang menyilaukan. Terumbu karang berpendar dalam gelap, seperti kota neon yang hidup.

"Ini adalah Kota Memori," jelas sang Penunggu Pantai. "Tempat di mana semua kenangan yang terlupakan berkumpul."

Kami melewati gua-gua kristal yang memantulkan bayangan-bayangan masa lalu. Di satu cermin, aku melihat diriku yang lebih muda—penuh semangat dan optimisme. Di cermin lain, wajah-wajah toxic yang menghantuiku di tempat kerja bermunculan, tapi kini mereka tampak berbeda. Lebih rapuh, lebih... manusiawi.

"Mereka juga punya luka mereka sendiri," kata sang Penunggu Pantai seolah membaca pikiranku. "Orang-orang yang menyakitimu, mereka membawa beban yang tak kasat mata."

Kami tiba di sebuah aula luas dengan kubah dari mutiara raksasa. Di tengahnya, melayang sebuah bola kristal berisi cahaya keemasan yang berputar-putar.

"Ini adalah Jantung Laut," sang Penunggu menjelaskan. "Ia menyimpan semua kesedihan dan kebahagiaan yang pernah ada. Sentuhlah."

Dengan ragu, kusentuh permukaan kristal itu. Seketika, ribuan memori membanjiri pikiranku—bukan hanya memoriku, tapi juga memori orang-orang lain. Aku bisa merasakan kesedihan seorang ibu yang kehilangan anaknya, kebahagiaan pengantin baru, kemarahan seseorang yang dikhianati, dan ribuan emosi lainnya.

Yang mengejutkan, aku juga bisa merasakan emosi orang-orang yang selama ini kuanggap toxic. Kecemasan mereka akan kegagalan, ketakutan akan penolakan, luka masa lalu yang belum sembuh. Mereka, sama sepertiku, hanyalah manusia yang mencoba bertahan hidup dengan cara mereka sendiri.

"Sekarang kau mengerti?" tanya sang Penunggu Pantai. "Tidak ada yang sepenuhnya jahat atau sepenuhnya baik. Kita semua adalah mozaik dari pengalaman dan luka yang kita alami."

Air mata mengalir di pipiku tanpa kusadari. "Lalu apa yang harus kulakukan?"

"Jadilah seperti laut," jawabnya sambil menunjuk ke atas, di mana permukaan air berkilau ditimpa cahaya matahari. "Laut menerima semua yang mengalir ke dalamnya—yang bersih maupun yang kotor. Tapi laut memiliki caranya sendiri untuk menjaga keseimbangan. Ia tidak membenci sampah yang dibuang ke dalamnya; ia mengolahnya menjadi nutrisi bagi kehidupan baru."

Kami kembali ke permukaan ketika matahari mulai condong ke barat. Warna jingga keemasan memenuhi langit, menciptakan pemandangan yang memukau.

"Ingatlah," kata sang Penunggu Pantai sebelum menghilang bersama hembusan angin, "kau lebih kuat dari yang kau kira. Seperti laut yang tenang di permukaan namun menyimpan kekuatan besar di dalamnya."

Sejak hari itu, aku mulai memandang dunia dengan cara yang berbeda. Orang-orang toxic di tempat kerja masih ada, tapi aku tidak lagi membiarkan mereka menggangu kedamaianku. Seperti laut yang tetap tenang meski badai mengamuk di permukaannya, aku belajar menjaga keseimbangan batinku.

Setiap pagi, aku masih datang ke pantai ini. Kadang aku melihat bayangan sang Penunggu Pantai di kejauhan, tersenyum penuh arti. Kadang aku mendengar nyanyian paus yang melankolis itu lagi. Dan setiap kali, aku diingatkan bahwa dunia ini jauh lebih ajaib dari yang terlihat di permukaan.

Aku telah belajar bahwa terkadang, untuk menemukan kedamaian, kita perlu menyelam ke kedalaman—baik ke dalam laut maupun ke dalam diri sendiri. Di sana, di antara gelap dan cahaya, kita menemukan jawaban yang selama ini kita cari.

Kini, ketika hujan turun di pagi hari, aku tidak lagi merasa sendirian. Aku tahu bahwa setiap tetes air yang jatuh membawa cerita, setiap ombak menyimpan rahasia, dan setiap hembusan angin membisikkan kebijaksanaan. Aku telah belajar mendengarkan—bukan hanya dengan telinga, tapi dengan hati.

Dan mungkin itulah yang terpenting: kemampuan untuk mendengar melodi kehidupan di balik kebisingan dunia, untuk melihat keajaiban di balik rutinitas sehari-hari, dan untuk menemukan kedamaian bahkan di tengah badai terbesar.

Seperti kata sang Penunggu Pantai, kita semua adalah bagian dari simfoni besar kehidupan. Yang perlu kita lakukan hanyalah menemukan nada kita sendiri dan memainkannya dengan sepenuh hati.

Sekarang, ketika aku duduk di tepi pantai ini, aku tidak lagi mencari pelarian. Aku di sini untuk merayakan kehidupan, dengan segala kompleksitas dan misterinya. Dan dalam deru ombak yang tak pernah lelah menyapa pantai, aku menemukan mantra yang selama ini kucari:

Jadilah seperti laut—dalam, tenang, dan penuh rahasia. Terima semua yang datang, tapi jangan biarkan apapun mengganggu kedamaianmu. Karena pada akhirnya, kitalah yang memilih bagaimana merespons setiap gelombang yang datang dalam hidup.

Dan mungkin itulah kebijaksanaan sejati yang dibisikkan laut pada mereka yang mau mendengar.

 

Penulis lahir di Tuban Jawa Timur. Karya-karyanya baik esai, cerpen, puisi, artikel telah banyak dimuat di berbagai media baik cetak maupun online. Bisa dihubungi lewat surel di prasetya58098@gmail.com.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat