
Mujadid
Biografi Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Ageng Tirtayasa memimpin perjuangan Banten melawan kolonialisme Belanda.
Tanda-tanda kemunduran Banten di era Sultan Abul Mufakhir perlahan sirna karena mampu menjawab tantangan zaman. Pada 1631, cucu raja tersebut lahir dengan nama Pangeran Surya.
Dua puluh tahun kemudian, dia menjadi raja Banten dengan gelar Sultan Abu al-Fath Abdulfattah. Belakangan, anak pasangan Abu al-Maali Ahmad dan Ratu Martakusuma ini lebih dikenal sebagai Sultan Ageng Tirtayasa, semenjak pendirian keraton Banten baru di Dusun Tirtayasa (kini Kabupaten Serang).
Uka Tjadrasasmita (1984) menggambarkan sosok Sultan Ageng Tirtayasa sebagai pemimpin yang adil, memerhatikan persoalan rakyat, dan membela kedaulatan Banten. Di masa kepemimpinan kakeknya, hubungan Banten dengan Belanda (VOC/Kompeni) berjalan seolah-olah baik.
Diplomasi terus dilaksanakan tetapi di lapangan orang-orang Belanda semakin congkak. Apalagi, Kompeni sendiri yang berbasis di Batavia kerap melanggar perjanjian lantaran menganggap remeh Kesultanan Banten.

Belanda kerap merintangi kapal-kapal Banten yang berlayar menuju Maluku, Perah, dan Ujung Selang. Tujuannya untuk menjaga keutuhan monopoli perdagangan rempah-rempah yang dijalankan Belanda di Nusantara, khususnya perairan Maluku. Selain itu, Batavia juga dijadikannya terlarang dimasuki para pelaut dari Banten yang hendak mencari cengkeh dan pala.
Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, pelabuhan-pelabuhan Banten kian ramai dikunjungi para pelaut dari pelbagai bangsa. Melihat kenyataan ini, Kompeni justru berambisi untuk mencaplok wilayah Banten agar seluruh Jawa dapat dikuasainya. Di era pemerintahan sang sultan, setidaknya dua kali Kompeni menyulut perselisihan dengan memblokade Banten pada 1655 dan 1657.
Kapal-kapal mancanegara yang hendak bertransaksi di Banten pun terkendala masuk. Pada 1658 dan 1659, kedua belah pihak sempat menemui kata damai. Dalam hal ini, Inggris yang merupakan pesaing VOC jauh lebih dapat dipercaya ketimbang orang-orang gubernur jenderal John Maetsuyker.

Untuk berjaga-jaga menghadapi Belanda, Sultan Ageng Tirtayasa bekerja sama dengan Pangeran Trunojoyo dari Madura, serta pihak-pihak dari Bangka dan Makassar. Pada 1676, dia memasok persenjataan kepada orang-orang Trunojoyo yang bersauh di Cirebon. Sementara, pada 1671 ratusan pasukan Makassar di bawah pimpinan Karaeng Montamarmo mengunjungi Banten. Sampai di sini, segalanya tampak siap.
Namun, Belanda dengan lihai dapat mencium intrik di lingkungan internal Kesultanan Banten sendiri. Sultan Ageng Tirtayasa diketahui memiliki putra mahkota, yakni anak sulungnya sendiri yang bernama Pangeran Anom.
Pada 1671, sosok ini menunaikan ibadah haji dan setibanya di Tanah Air beberapa waktu kemudian mendapatkan gelar penghormatan Sultan Abdul Qahar dari penguasa Makkah. Sejak saat itu, Pangeran Anom resmi naik takhta sebagai sultan muda, sedangkan ayahnya menjadi sultan tua yang tetap memegang beberapa urusan eksternal kerajaan.
Orang-orang Belanda menghasut Sultan Abdul Qahar agar melawan bapaknya yang seperti enggan melepaskan seluruh kewenangan kerajaan kepadanya. Menurut Tjadrasasmita, Belanda saat itu memang berupaya keras untuk melemahkan Kesultanan Banten dari dalam.
Sebab, kekuatan militer negara Islam ini cukup piawai untuk menahan dominasi Batavia. “Banten harus ditaklukkan, bahkan dihancur-leburkan, atau Kompeni-lah yang lenyap,” demikian tulis Gubernur Jenderal Rijklof van Goens dalam suratnya kepada Amsterdam, tertanggal 31 Januari 1679.
Akhirnya, Sultan Abdul Qahar jatuh dalam pengaruh Kompeni. Pada 1680, dia bahkan mengirimkan utusan untuk mengucapkan selamat atas jabatan gubernu jenderal baru yang kini dijalankan Cornelis Speelman. Tindakan ini tentunya menyakiti perasaan rakyat Banten dan lebih-lebih ayahnya sendiri.
Sultan Ageng Tirtayasa pun segera menyusun pasukan yang terdiri atas aliansi dengan pelbagai suku bangsa, semisal Makassar, Melayu, dan rakyat dari Pontang, Caringin, Tanara, Lampung, serta Bengkulu. Kali ini, mereka hendak menyasar Surosowan yang sudah melewati batas toleransi.
Sementara itu, banyak tentara Banten yang dikirim ke Pontang justru menggabungkan diri ke barisan Sultan Ageng Tirtayasa. Pada 27 Februari 1682, pecahlah perang di antara dua kubu tersebut.
Meskipun dengan kekuatan penuh, pada akhirnya pasukan Sultan Ageng Tirtayasa tidak mampu menghalau kekuatan Belanda dan Sultan Abdul Qahar. Berbulan-bulan lamanya pemimpin Banten itu berjuang mati-matian, khususnya di sepanjang perbatasan Tangerang-Batavia.
Setelah Pontang jatuh ke tangan Belanda, ibu kota Tirtayasa pun tinggal menunggu giliran. Akhirnya, Sultan Ageng Tirtayasa yang diikuti para pendukung setianya dan pasukan serta laskar-laskar rakyat terpaksa menyingkir ke pedalaman. Di antara mereka terdapat Syekh Yusuf al-Makassari selaku penasihat pemimpin Banten tersebut.
Sementara itu, Sultan Abdul Qahar berkirim surat kepada gubernur jenderal Belanda. Isinya mengabarkan lokasi persembunyian mereka dengan kutipan bahwa ayahnya akan dibawa ke Surosowan. Di saat yang sama, dia pun mengirim surat melalui kurir kepada Sultan Ageng Tirtayasa di Sajira.
Sultan yang telah berusia lanjut itu tidak menaruh kecurigaan terhadap isi surat anaknya ini. Maka berangkatlah dia ke Surosowan pada Maret 1683. Sesampainya di sana, pasukan Kompeni sudah siap sedia untuk menangkap Sultan Ageng Tirtayasa.
Satu tahun kemudian, Syekh Yusuf al-Makassari dan para pendukung lainnya dari Tirtayasa dapat ditahan Belanda pula. Sultan Abdul Qahar barangkali mengira dengan penahanan atas lawan-lawan politiknya itu, maka kekuasaannya terpulihkan. Pada akhirnya, Kesultanan Banten tidak lebih dari bawahan Belanda.
Pada 17 April 1684, dia menandatangani kesepakatan yang terdiri atas 10 pasal dengan Kompeni. Sejak saat itu, kejayaan Banten redup redam ditelan gurita monopoli dagang VOC. Pulau Jawa yang dahulu mati-matian dilindungi balatentara Fatahillah dari rongrongan asing, kini berubah menjadi kebun raya raksasa yang dihisap kolonialisme Belanda.
Perjuangan Habib Umar di Dunia Pendidikan
Reputasi al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz mendunia, termasuk di Indonesia.
SELENGKAPNYAPermata Biru di Shah Alam
Masjid Sultan Salahuddin Abdul Aziz di Malaysia berjulukan ‘Masjid Biru.’
SELENGKAPNYAKetika Ali ‘Kalah’ Lawan Yahudi di Pengadilan
Di muka pengadilan, Khalifah Ali bin Abi Thalib diperlakukan seperti halnya warga biasa.
SELENGKAPNYA