Kekerasan seksual. (ilustrasi) | Unsplash/Saif71

Nusantara

Kades-Guru-Polisi Disebut Perkosa Bergilir Gadis di Parimo

Keterlibatan oknum harus diusut tuntas.

Pada 2022 lalu, seorang gadis berusia 15 tahun asal Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, mencari penghidupan ke kabupaten tetangga, Parigi Moutong (Parimo). Ia berangkat mengikuti rekannya yang lebih dulu mendapatkan pekerjaan.

Di Parimo, sang gadis mendapatkan pekerjaan sebagai stoker alias juru api di Rumah Adat Kaili Desa Taliabo, Kecamatan Sausu. Namun, alih-alih mendapatkan kehidupan yang lebih baik, gadis itu justru remuk redam.

Belakangan ia mengaku mendapatkan perlakukan tak senonoh dari 11 orang saat bekerja. Ia mengeklaim telah diperkosa secara bergilir oleh 11 orang sejak April 2022 hingga Januari 2023. Di antara mereka, menurut pengakuannya, ada seorang kepala desa, seorang guru, dan seorang perwira polisi.

Polres Parimo sejauh ini telah menetapkan 10 orang tersangka atas kisah itu. "Saksi-saksi yang sudah diperiksa, baik saksi, korban, kemudian orang tua dan juga teman-teman di sekitarnya sebanyak 10 orang, sehingga kemarin kami sudah sepakat dari penyidik menetapkan 10 tersangka," kata Kapolres Parimo AKBP Yudy Arto Wiyono di Palu, Selasa (30/5/2023).

Darurat Kekerasan Seksual - (republika)  ​

Ia mengatakan, dari 10 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka, lima orang telah menjalani penahanan, sementara lima orang lainnya masih dalam proses penjemputan dan penangkapan oleh penyidik kepolisian.

Kapolres Parimo juga mengatakan, korban masih mendapatkan perawatan medis di salah satu rumah sakit di Kota Palu. "Akibat peristiwa ini, korban mengalami trauma dan saat ini mendapatkan perawatan inap di salah satu rumah sakit di Palu karena masih mengalami sakit di bagian perut," tuturnya.

Adapun barang bukti yang diamankan, kata dia, yakni satu lembar celana pendek hitam milik korban, satu lembar kaus lengan pendek warna ungu, dan satu lembar celana panjang kain kotak-kotak warna cokelat yang juga milik korban.

Sebelumnya, pada Rabu (17/5) lalu, Polres Parimo telah menetapkan lima tersangka dalam kasus tersebut. Kelima orang itu melakukan aksinya pada waktu dan tempat berbeda yang dilakukan sejak April 2022 hingga Januari 2023.

 
Akibat peristiwa ini, korban mengalami trauma.
 
 

Atas perbuatan tersebut, pelaku dijerat Pasal 81 ayat 2 Undang-Undang RI Tahun Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun.

Kabid Humas Kepolisian Daerah (Polda) Sulteng Kombes Pol Djoko Wienartono mengatakan, pihak kepolisian juga masih menyelidiki informasi keterlibatan seorang oknum anggota kepolisian dalam kasus asusila tersebut.

"Berdasarkan keterangan dari korban, salah satunya adalah oknum tersebut. Namun, dari pemeriksaan saksi yang diperiksa maupun tersangka yang sudah ada di dalam ini, belum ada keterangan yang signifikan sehingga belum ada alat bukti. Masih satu, yakni dari pengakuan korban," katanya.

Ia juga mengemukakan, di antara lima orang pelaku yang telah ditahan oleh Polres Parigi Moutong saat ini, salah satunya merupakan oknum kepala desa dan satu lainnya adalah oknum guru.

Menurut Djoko, saat ini korban telah mendapatkan pendampingan dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Provinsi Sulawesi Tengah. “Pihak kami juga menggandeng dari P2TP2A untuk mendampingi korban nantinya dalam setiap pemeriksaan,” katanya.

photo
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia Arist Merdeka Sirait ketika diwawancara tentang usul revisi sistem perundang-undangan anak, Jumat (19/5/2023). - (Republika/Shabrina Zakaria)

Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait menyoroti kasus tersebut. Ia mengatakan, pelaku diduga ada yang berstatus sebagai anggota Brimob berinisial HST dan kepala desa berinisial HS. 

Arist menegaskan, peristiwa ini merupakan kasus kekerasan seksual yang patut mendapat perhatian serius. Apalagi, dampak kejadian ini terhadap korban begitu parah. 

"Perlakuan bejat yang tidak manusiawi itu menyebabkan korban mengalami gangguan reproduksi hingga terancam menjalani operasi angkat rahim," kata Arist dalam keterangannya pada Selasa (30/5/2023). 

Arist menyebut korban saat ini mengalami insersi akut di rahim dan ada tumor sehingga ada kemungkinan rahim korban harus diangkat. Korban mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit di Palu karena mengeluhkan rasa sakit di bagian perut dan kemaluan. 

 
Perlakuan bejat yang tidak manusiawi itu menyebabkan korban mengalami gangguan reproduksi.
 
 

"Kekerasan seksual massal tersebut membuat kesehatan korban begitu terganggu karena kekerasan seksualnya berlangsung lama," ujar Arist. 

Atas kejadian tersebut, Komnas PA mendesak Polres Parimo menjerat para pelaku dengan UU RI Nomor 17 Tahun 2016. Adapun ancaman pidananya minimal lima tahun dan maksimal 20 tahun. "Bahkan dapat dihukum seumur hidup," ucap Arist. 

Selain itu, Komnas PA mendesak Kapolda Sulawesi Tengah untuk memeriksa pelaku yang bertugas di Polda Sulawesi Tengah. Oknum anggota Brimob tersebut dinilai Arist pantas dicopot dari jabatannya hingga dihukum mati kalau terbukti bersalah di pengadilan. 

"Jika oknum Brimob dan kepala desa Parigi terbukti bersalah melakukan serangan seksual secara massal terhadap anak, pelaku dapat dicopot dari jabatannya sebagai polisi dan dapat pula dikenakan hukuman penjara seumur hidup bahkan hukuman maksimal, yakni hukuman mati," ucap Arist.

Kekerasan Seksual dan Pendidikan - (republika)  ​

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga meminta Polres Parimo bersikap tegas. Komisioner KPAI Dian Sasmita menyampaikan pihaknya memantau proses hukum kasus ini. 

KPAI bakal mendesak aparat tunduk pada hukum yang berlaku kalau terbukti ada oknum anggota Brimob yang bersalah. "Yang pasti untuk kasus kekerasan seksual kami sangat mendukung APH (aparat penegak hukum) melakukan proses hukum secara profesional dan berkeadilan pada korban," kata Dian kepada Republika, Selasa (30/5/2023). 

Dian meminta pihak kepolisian menjalankan prinsip penegakan hukum yang baik, di antaranya memenuhi aspek profesionalitas, transparansi dan akuntabilitas. Dian tak ingin ada pihak yang main mata dalam perkara ini demi kepentingan terbaik korban.

"Penegak hukum harus profesional, salah satu wujudnya adalah memastikan proses hukum bebas intervensi pihak-pihak tertentu," ujar Dian. 

Dian mendesak kepolisian menaati aturan internalnya sendiri, khususnya menjatuhkan sanksi terhadap anggota yang bersalah. "Penegakan aturan internal kepolisian terkait oknum (Brimob) di kasus ini juga harus tegas," lanjut Dian. 

Selain itu, Dian menyoroti tantangan kepolisian untuk menegakkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) secara serius dalam kasus ini. UU TPKS punya perspektif kuat untuk melindungi sekaligus memulihkan korban. 

"Korban wajib mendapatkan dukungan pemulihan medis (fisik dan psikis) dan sosial dari pemerintah daerah secara berkelanjutan tidak hanya ketika kasus berjalan," ucap Dian. 

Dian juga mewanti-wanti bahwa hak restitusi korban patut diperjuangkan. Dengan begitu, korban dapat menata kembali hidupnya yang dirusak oleh para pelaku. 

Tiga Tugas Ulama

Beberapa surah Alquran menggambarkan tugas para nabi dengan pesan yang sama.

SELENGKAPNYA

Batas Menikmati Kehidupan Duniawi

Allah SWT mengibaratkan kesenangan duniawi dengan air yang turun dari langit.

SELENGKAPNYA

Kritik Marketplace Guru Berlanjut

Transformasi tata kelola guru dinilai lebih mendesak untuk dilakukan.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya