Kondisi Madinatul Hujjaj di Jalan King Khalid, Jeddah, Kamis (2/8). Bangunan tua yang tak terurus itu sempat jadi lokasi singgah jamaah haji Indonesia di masa lalu sebelum bertolak ke Makkah atau Madinah. | Fitriyan Zamzami/Republika

Dunia Islam

Sejarah Asrama Haji Nusantara di Tanah Suci

Sejumlah raja Muslim Nusantara membeli dan mewakafkan properti untuk tempat menginap jamaah haji.

Sejak maraknya kapal uap dan dibukanya Terusan Suez pada 1869, jumlah jamaah haji Nusantara kian melonjak. Dari tahun ke tahun, angkanya terus meningkat pesat. Bagaimanapun, mereka tidak hanya memerlukan alat transportasi yang relatif cepat, melainkan juga kenyamanan akomodasi secara keseluruhan.

Salah satu kebutuhan jamaah haji Nusantara adalah permukiman sementara atau semacam hotel yang bisa mereka singgahi selama di Tanah Suci. Rumah-rumah penginapan memang disediakan warga lokal Makkah dan Madinah, tetapi semua itu berbayar. Untuk memangkas biaya, sejumlah dermawan Nusantara menginisiasi berdirinya funduq atau rumah inap di dua kota suci.

Mereka membeli sejumlah properti setempat, lalu mewakafkan pemanfaatannya. Dengan adanya fasilitas itu, jamaah haji yang berasal dari daerah mereka dapat tinggal di sana. Rumah-rumah wakaf tersebut berlokasi tidak begitu jauh dari Masjidil Haram—bila di Makkah—atau Masjid Nabawi—di Madinah.

 
Beberapa kesultanan Nusantara membuka rumah-rumah wakaf sebagai tempat penginapan jamaah haji.
   

Menurut catatan Snouck Hurgronje dalam bukunya, Mekka in the Latter Part of the 19th Century (1931), beberapa kesultanan Nusantara membuka rumah-rumah wakaf sebagai tempat penginapan jamaah haji dari daerah mereka masing-masing.

Dalam pengamatan orientalis itu pada 1885, Kerajaan Aceh, Banten, dan Pontianak memiliki beberapa rumah wakaf di Makkah. Tradisi membeli dan mewakafkan properti untuk jamaah haji menginap sesungguhnya sudah dimulai sejak abad ke-18 M.

Seperti dinukil dalam buku Naik Haji di Masa Silam (Jilid I), contoh tertua berkaitan dengan sosok Sultan Banjar Tahlilullah (1700-1745). Ia merupakan patron dan belakangan mertua Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.

Pada paruh pertama abad ke-18, elite Kesultanan Banjarmasin itu mendirikan sebuah rumah wakaf di Makkah. Di sanalah Syekh Arsyad, tatkala belajar di Haramain sekira tahun 1740-1760, memilih bertempat tinggal. Hingga abad ke-21 kini, properti tersebut masih dipakai jamaah haji asal Kalimantan.

photo
Kondisi Madinatul Hujjaj di Jalan King Khalid, Jeddah, Kamis (2/8). Bangunan tua yang tak terurus itu sempat jadi lokasi singgah jamaah haji Indonesia di masa lalu sebelum bertolak ke Makkah atau Madinah. - (Fitriyan Zamzami/Republika)

Teks Hikayat Syekh Muhammad Samman mengungkapkan informasi tentang wakaf seorang raja dari Sumatra. Adalah Sultan Palembang pada 1777 atau dua tahun menjelang wafatnya, membangun sebuah rumah penginapan (zawiyah) Sammaniyah di Jeddah. Fungsi properti itu bukan hanya sebagai tempat jamaah haji dari Palembang bermalam, tetapi juga berkumpulnya kaum salik, khususnya Tarekat Sammaniyah.

Tak mau ketinggalan, sultan Brunei Darussalam pada 1807 mengirimkan utusan untuk meninjau properti di kota yang sama. Kemudian, pihak kerajaan Islam ini membeli sebuah rumah dan lalu mewakafkannya demi para mukimin dan pelajar Melayu. Penghuninya terutama adalah Muslimin yang menganut Tarekat Sammaniyah.

Selanjutnya waktu berhaji pada tahun 1828, Raja Ahmad dari Penyengat, Riau, mendirikan beberapa rumah wakaf. Khususnya di Madinah, ia "membeli satu kebun (dan) diwakafkannya kepada anak cucu Syekh Samman."

Adapun di Makkah, ia membeli dua unit rumah. Salah satu di antaranya diwakafkannya kepada Syekh Ismail. Wazir wakafnya sempat berpindah kepada seorang mufti Syafii setempat. Sisa seunit rumah itu dititipkannya kepada Syekh Muhammad Salih, kemudian berpindah kepada mufti Syafii akan nazirnya.

Berdasarkan informasi tersebut, tampak bahwa Tarekat Sammaniyah memiliki jejaring yang luas. Pengaruhnya dominan di lingkungan istana Palembang, Brunei Darussalam, maupun Riau setidaknya dalam kurun tahun 1777-1828.

Karena itu, raja dari masing-masing kesultanan tersebut menyediakan fasilitas berupa wakaf rumah penginapan yang terbuka bagi para salik jalan sufi tersebut, termasuk yang sedang berhaji.

photo
ILUSTRASI Jamaah haji asal Aceh pada abad ke-18. Orang-orang Indonesia di Tanah Suci membentuk komunitas Jawi. - (DOK IST)

Pada tahun 1790, Sultan Hamengkubuwana I dari Yogyakarta mengirim utusan ke Makkah dengan tugas memperbaiki rumah wakaf yang dimilikinya. Properti tersebut dimanfaatkan sebagai asrama jamaah haji asal Yogyakarta. Sewaktu duta tersebut kembali, sang sultan telah lebih dahulu wafat.

Hampir satu abad kemudian, tahun 1879, Sultan Hamengkubuwana VII menyuruh empat orang naik haji, dengan tugas mewakafkan sebuah rumah di Makkah sebagai pondok jemaah haji dari Yogyakarta. Sekitar tahun itu juga, dalam catatan Snouck Hurgronje, sultan Pontianak dan rombongan pergi berhaji. Di Makkah, pihaknya mendirikan beberapa rumah wakaf, yang kemudian dirawat dengan sangat baik atas biayanya sendiri.

Contoh luar biasa dari geliat wakaf untuk asrama haji ditampilkan seorang raja Bali di Lombok. Sang penguasa beragama Hindu, tetapi mempunyai seorang istri dari Suku Sasak dan merupakan Muslimah. Martin van Bruinessen (1992) mencatat, menurut kesaksian pada tahun 1874 raja itu pernah membangun sebuah rumah di Makkah untuk rakyatnya yang sedang menunaikan haji.

Dari Makkah, Semangat Anti-Kolonial Menggema

Hampir seluruh ulama Nusantara yang berperan sentral dalam transformasi intelektual dan sosial adalah alumni Makkah.

SELENGKAPNYA

Mukimin Jawi, Jejak Indonesia di Tanah Suci

Orang-orang Indonesia membentuk komunitas Jawi di Haramain.

SELENGKAPNYA

Mencari Fatwa Hingga ke Makkah

Para tokoh Nusantara meminta fatwa tentang sejumlah soal yang terjadi di tanah air mereka.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya