ILUSTRASi Makkah al-Mukarramah telah menjadi sumber rujukan untuk orang Nusantara meminta fatwa keagamaan. | DOK WIKIPEDIA

Dunia Islam

Mencari Fatwa Hingga ke Makkah

Para tokoh Nusantara meminta fatwa tentang sejumlah soal yang terjadi di tanah air mereka.

Kaum Muslimin umumnya memandang, Masjidil Haram adalah pusat dunia Islam. Mereka tidak hanya mafhum bahwa kiblat shalat terletak di Makkah al-Mukarramah, tetapi juga di sanalah tempat berkumpulnya ulama-ulama besar yang menjadi rujukan ilmu-ilmu agama.

Sejak berabad-abad silam, banyak orang tua Muslimin Indonesia mengirimkan anak-anaknya ke Tanah Suci untuk belajar. Mereka kemudian memunculkan komunitas yang disebut kaum Jawi. Dari tahun ke tahun, jumlah al-Jawiyyin terus meningkat.

Seperti dinukil dari buku Naik Haji di Masa Silam, sejak abad ke-17 Masehi, kaum Jawi tidak hanya memunculkan para pelajar, tetapi juga cendekiawan terkemuka di Haramain.

Dengan kedalaman ilmu yang dimiliki, mereka menjadi pengajar atau bahkan imam besar di Masjidil Haram. Pada masa itu, beberapa nama ulama Nusantara telah tersohor. Misalnya, Syekh Abdurrauf as-Sinkili dan Syekh Yusuf al-Makassari.

Generasi di bawah keduanya terdapat empat sekawan, yakni Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syekh Abdul Wahab al-Bugisi, Syekh Abdurrahman al-Misri, dan Syekh Abdussamad al-Palimbani. Meninjau nisbah keenam ulama tersebut, mereka jelas berasal dari berbagai daerah di Nusantara.

 
Alim Jawi menjadi penghubung antara kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara dan otoritas keagamaan di Tanah Suci.
   

Keberadaan para alim Jawi menjadi penghubung antara kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara dan otoritas keagamaan di Tanah Suci. Sebab, raja-raja Muslim Nusantara memandang bahwa ulama-ulama Haramain sebagai tempat bertanya. Fatwa dan keterangan mereka dinilai otoritatif.

Sebagai contoh, teks Sulalat al-Salatin menyebut sebuah kitab berjudul Durr Manzum yang diterima oleh Sultan Mansur Syah (1459-1477) dari Makkah. Kitab itu langsung dikirimkan oleh Sultan ke Pasai supaya dibahas atau barangkali diterjemahkan. Di Banten, raja Abu al-Mafakhir (1626-1651) sengaja mengirimkan utusan ke Makkah pada tahun 1636 untuk meminta penjelasan tentang tiga karangan tentang Islam.

Ketiganya adalah kitab Nasehat al-Muluk karya Imam al-Ghazali, Al-Muntahi karya Hamzah Fansuri, dan sebuah teks tentang doktrin wahdat al-wujud. Utusan tersebut kembali ke Banten pada tahun 1638 sambil membawa jawaban dari para alim Makkah yang termaktub dalam karangan Ibnu Alan al-Siddiqi.

Dari Aceh, Syekh Abdurrauf al-Sinkili bertolak ke Tanah Suci sekitar tahun 1665. Kepada seorang gurunya di Masjid Nabawi, Ibrahim al-Kurani, ia mengajukan pertanyaan tentang doktrin wahdat al-wujud yang telah puluhan tahun diperdebatkan di lingkungan istana Aceh. Untuk menjawabnya, al-Kurani menulis sebuah kitab berjudul Ithaf al-Dhaki. Buku itu dipandang sebagai tafsir wahdatul wujud bagi Muslim Nusantara.

photo
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. - (DOK WIKIPEDIA)

Biasanya, para ulama atau raja Muslim Nusantara meminta fatwa dari Makkah sehubungan dengan masalah-masalah praktis, bukan konsep-konsep yang terurai panjang lebar. Misalnya, pernah suatu ketika Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari meminta sebuah fatwa dari gurunya, Sulaiman al-Kurdi. Ia bertanya, bagaimanakah pandangannya tentang kebijakan sultan Banjar yang mengutamakan pajak daripada zakat.

Jawaban sang guru lalu dicatatnya dalam buku Fatwa Sulaiman Kurdi. Mula-mula, karya ini ditulisnya dalam bahasa Arab, tetapi kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Dalam kitab tersebut, diterangkan bahwa zakat tidak hanya berfungsi karitatif, melainkan juga mekanisme mewujudkan keadilan sosial. Yakni, agar harta tidak hanya berputar di kalangan orang kaya.

 

 
Karyanya itu (Muhimmat al-Nafa'is) menghimpun sebanyak 130 fatwa yang dikeluarkan mufti di Makkah.
   

Seorang ulama Aceh, Abdus Salam bin Idris al-Asyi menyunting buku Muhimmat al-Nafa’is pada akhir abad ke-19. Karyanya itu menghimpun sebanyak 130 fatwa yang dikeluarkan mufti di Makkah dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan para pelajar Jawi di Haramain.

Umumnya, mereka mengajukan soal terkait fikih. Muhimmat mulanya ditulis dalam bahasa Arab, dan kemudian pada 1892 diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. 

Ada pula karangan serupa dengan itu, yakni sebuah kumpulan fatwa yang dikeluarkan seorang ulama Pattani (Thailand). Penyuntingnya, Syekh Ahmad bin Muhammad bin Zain al-Fattani, telah lama tinggal di Makkah sekitar tahun 1900. Kedua buku tersebut merepresentasikan bahwa Haramain telah dipandang sebagai salah satu sumber utama otoritas keagamaan di Nusantara.

Syekh Ahmad al-Fattani juga diketahui menjadi pengajar di Makkah selama kira-kira 15 tahun. Ia memiliki banyak murid dari kalangan sesama Jawi. Di antara santri-santrinya adalah KH Muhammad Khalil (Bangkalan), Muhammad Mahfudz at-Tarmasi, dan Sultan Zainal Abidin III (Trengganu). Mereka di kemudian hari menjadi tokoh-tokoh besar, yang juga menurunkan murid-murid dan pengikut yang brilian.

Makkah dan Legitimasi Raja-Raja di Nusantara

Sejumlah raja Muslim di Nusantara mengirim utusan ke Syarif Makkah untuk meminta gelar.

SELENGKAPNYA

Setelah 25 Tahun Reformasi

Pada 25 tahun usia Reformasi, banyak yang telah melupakan proses Reformasi.

SELENGKAPNYA

Ziarah ke Masjid Nabawi

Bagi jamaah haji, Masjid Nabawi memiliki pesona tersendiri dengan segala nilai sejarah dan spiritualnya.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya