
Dunia Islam
Mukimin Jawi, Jejak Indonesia di Tanah Suci
Orang-orang Indonesia membentuk komunitas Jawi di Haramain.
Sebelum maraknya teknologi penerbangan, jarak antara Nusantara dan Jazirah Arab ditempuh melalui lautan. Kapal-kapal berlayar selama beberapa bulan untuk itu. Pelayaran yang mesti diikuti tiap calon jamaah haji pun dapat menyita setengah tahun atau bahkan lebih dari itu. Mereka menghadapi banyak tantangan, semisal ancaman perompakan, kekurangan pangan, dan penyakit menular.
Jamaah haji Nusantara pada masa itu tidak mungkin langsung pulang begitu tuntas mengerjakan rukun Islam kelima. Oleh karena itu, mereka sudah berniat sejak dari Tanah Air untuk singgah lama di Tanah Suci usai musim haji.
Bahkan, tidak sedikit dari para tamu Allah itu yang kemudian bermukim untuk menuntut ilmu kepada alim ulama, baik di Masjidil Haram maupun Masjid Nabawi. Sebagian mereka menyempatkan diri untuk kembali ke kampung halaman, tetapi ada pula yang menjadi warga setempat dan memiliki keturunan yang dapat dijumpai di Arab Saudi kini.
Para pelajar Nusantara itu disebut masyarakat setempat sebagai al-Jawiyyin atau kaum Jawi. Pada abad ke-15 Masehi, belum ditemukan riwayat-riwayat ulama Nusantara yang berperan di Haramain. Barulah hal itu mengemuka sejak abad ke-17 M, berdasarkan keterangan beberapa sumber Arab yang menyatakan keberpengaruhan mereka.
Menurut Ensiklopedia Islam, sebutan Jawi tidak hanya ditujukan bagi pendatang dari Indonesia, tetapi juga secara umum wilayah Asia Tenggara, seperti Malaysia, Brunei, Pattani (Thailand), dan Mindanau (Filipina). Mereka adalah orang Islam yang tinggal dalam kurun waktu beberapa lama di Makkah dan Madinah. Mereka berbaur dan memiliki aktivitas ekonomi dengan penduduk lokal.
Menurut catatan Lodovico de Varthema, seorang pengembara asal Bologna Italia, mukimin Jawi sudah masuk ke Makkah sejak abad ke-16 M. Saat itu, de Varthema menyamar sebagai seorang Muslim agar bisa masuk Makkah dan melihat-lihat keadaan Kota Nabi. Dalam catatannya, al-Jawiyyin sudah menghuni Tanah Suci sejak tahun 1502.
Saat itu, kedatangan orang Melayu ke Makkah tidak hanya untuk beribadah haji, melainkan juga berdagang. Jumlah mukimin Jawi meningkat setelah lancarnya transportasi dari Asia Tenggara ke Timur Tengah, yakni usai digunakannya kapal api pada abad ke-18 M.
Mengidentifikasi mukimin Jawi di Makkah dan Madinah cukup mudah. Lihat saja pada ujung nama mereka yang bernuansa etnik Nusantara. Gelar seperti as-Sinkili (Singkil), al-Asi (Aceh), al-Minangkabawi (Minangkabau), al-Padani (Padang), al-Mandili (Mandailing), al-Palimbani (Palembang), al-Bantani (Banten) hingga al-Maqassari (Makassar) mengindikasikan kemudahan identifikasi.
Para mukimin Jawi cenderung berkumpul sesuai dengan etnik kelompoknya. Pada abad ke-19 M, komposisi terbesar dari golongan ini adalah etnik Jawa. Banyak pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki hubungan dengan ulama-ulama Jawi yang sedang belajar di Makkah dan Madinah.
Selain berdagang dan haji, banyak pemuda Nusantara yang tinggal di Makkah benar-benar untuk menimba ilmu. Mereka mengikuti berbagai halakah di Masjidil Haram. Tak sedikit dari kaum terpelajar itu yang kembali ke Tanah Air. Masyarakat menerimanya sebagai ulama besar, seperti KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan.
Secara ekonomi, para mukimin Jawi termasuk yang cukup mapan. Mereka mendapat kiriman rutin dari keluarga di Tanah Air selama menuntut ilmu. Selain itu, saat musim haji, mereka juga bekerja membantu jamaah, khususnya yang berasal dari Nusantara. Beberapa juga melakukan badal haji dengan imbalan tertentu.
Ketika gerakan pan-Islamisme berkembang pada akhir abad ke-19, dampaknya turut memengaruhi para mukimin Jawi. Pemerintah kolonial Belanda menjadi khawatir bila mereka terkena paham gerakan tersebut. Apalagi bila sampai mengobarkan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Belanda mulai mengetatkan perizinan bagi masayrakat yang akan pergi berhaji. Begitu pula dengan kedatangan para santri dari Haramain.
Memasuki abad ke-20 M, motivasi orang-orang Indonesia datang ke Makkah dan Madinah pun mulai bergeser. Kemajuan ekonomi Arab Saudi membuat keberangkatan orang Melayu hanya untuk mencari nafkah.
Para santri yang ingin menjadi ulama dan menimba ilmu di Makkah dan Madinah mulai berkurang. Pada saat yang bersamaan, Pemerintah Arab Saudi juga memperketat visa belajar. Hanya yang ingin belajar di perguruan tinggi saja yang diberikan izin. Itu pun bagi yang mendapat beasiswa dari pemerintah.
Perluasan kompleks Masjidil Haram dari tahun ke tahun pun juga membuat permukiman para pendatang dari Melayu tergeser. Permukiman Jabal Abu Qubais yang terkenal sebagai tempat tinggal orang Indonesia digusur dan menjadi bagian dari istana raja Arab Saudi. Para mukimin jawi yang tersisa pun tinggal berpencar-pencar.
Mencari Fatwa Hingga ke Makkah
Para tokoh Nusantara meminta fatwa tentang sejumlah soal yang terjadi di tanah air mereka.
SELENGKAPNYAMakkah dan Legitimasi Raja-Raja di Nusantara
Sejumlah raja Muslim di Nusantara mengirim utusan ke Syarif Makkah untuk meminta gelar.
SELENGKAPNYAZiarah ke Masjid Nabawi
Bagi jamaah haji, Masjid Nabawi memiliki pesona tersendiri dengan segala nilai sejarah dan spiritualnya.
SELENGKAPNYA