ILUSTRASI Bangkitnya perlawanan terhadap kolonialisme di Indonesia terinspirasi dari para haji dan ulama alumni Makkah. | DOK WIKIPEDIA

Dunia Islam

Dari Makkah, Semangat Anti-Kolonial Menggema

Hampir seluruh ulama Nusantara yang berperan sentral dalam transformasi intelektual dan sosial adalah alumni Makkah.

Makkah al-Mukarramah tidak hanya menjadi lokasi Masjidil Haram, yang di dalamnya terdapat kiblat umat Islam sedunia: Ka’bah. Kota tempat lahirnya Nabi Muhammad SAW itu juga berperan transformatif. Di sinilah, para alim ulama dari pelbagai penjuru dunia berkumpul untuk saling bertukar informasi dan tentunya mengembangkan ilmu-ilmu agama.

Menurut Prof Azyumardi Azra dalam bukunya, Jaringan Ulama Timur Tengah, hampir seluruh ulama Nusantara yang berperan sentral dalam transformasi intelektual dan sosial di Indonesia sejak abad ke-17 Masehi adalah alumni Makkah.

Sebagian mereka juga menimba ilmu di Madinah al-Munawwarah. Maka, Haramain secara keseluruhan bisa dipandang sebagai titik picu lahirnya pergerakan yang membangkitkan umat dan bangsa Indonesia umumnya.

photo
ILUSTRASI Jamaah haji asal Aceh pada abad ke-18. Orang-orang Indonesia di Tanah Suci membentuk komunitas Jawi. - (DOK IST)

Cengkeraman kolonialisme Belanda semakin kuat pada abad ke-18 dan 19 Masehi. Pada saat yang sama, gagasan pan-Islamisme yang mengimbau solidaritas Muslimin sedunia menguat di Makkah. Para haji Nusantara ikut menyebarkan paham tersebut, begitu kembali dari Tanah Suci ke daerah-daerah asal mereka. Tidak mengherankan, dalam kurun waktu demikian Belanda menghadapi banyak perlawanan di Nusantara yang digerakkan para haji dan mursyid tarekat-tarekat.

Tentunya, berbicara tentang Makkah tak terlepas dari ritual rukun Islam kelima. Tiap Muslim rindu berhaji, setidaknya sekali seumur hidup. Begitupun keadaannya dengan umat Islam di Indonesia.

Bagi umat Islam di Indonesia, keinginan menunaikan haji begitu besar, termasuk pada masa-masa penjajahan Belanda. Animo untuk melaksanakan rukun Islam ini makin besar jumlahnya dari tahun ke tahun. Demikian faktanya, terutama sejak Terusan Suez di Mesir dibuka pada 1869 dan kemudian hadirnya teknoloni kapal uap.

photo
Terusan Suez. EPA-EFE/STRINGER - (EPA)

Alat transportasi itu amat membantu perjalanan dari Indonesia ke Jazirah Arab—dan sebaliknya. Rihlah haji yang sebelumnya mesti menyita waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun dengan kapal layar, kini dapat ditempuh dalam durasi sebulan lebih beberapa hari.

Kapal laut yang mengandalkan tenaga uap atau batubara lantas menjadi primadona. Bahkan, preferensi pilihan itu tetap bertahan di Nusantara hingga tahun 1970-an. Kala itu, masih jarang orang pergi haji dengan pesawat terbang.

Laporan resmi Pemerintah Hindia Belanda pada 1941 menunjukkan tren peningkatan jumlah orang berhaji dari dalam negeri. Pada 1878, ketika teknologi transportasi masih berupa kapal layar, jumlah jamaah haji Nusantara sekitar 5.331 orang. Beberapa tahun kemudian, yakni 1880, angkanya berubah menjadi 9.542 jamaah. Kenaikan hampir dua kali lipat itu terjadi berkat penggunaan kapal laut yang mengantar jamaah dari Nusantara ke Arab.

 
Tren kenaikan (jumlah jamaah haji asal Nusantara) terus terjadi memasuki abad ke-20 M.
   

Tren kenaikan terus terjadi memasuki abad ke-20 M. Pada 1921, sebanyak 28.795 jamaah Hindia Belanda (nama dahulu Indonesia) dari total 60.786 jamaah haji seluruh dunia. Bahkan, saat resesi ekonomi pada 1928 jamaah haji Hindia Belanda justru meningkat menjadi 28.952 dari total 52.412 jamaah haji seluruh dunia. Masih dalam suasana krisis ekonomi global (1931-1932), jamaah haji Nusantara justru berjumlah di atas 39 ribu orang.

H Aqib Suminto dalam buku Politik Islam Hindia Belanda menuturkan, perkembangan hubungan dengan Timur Tengah dan semakin banyaknya jumlah haji setelah menggunakan kapal uap memengaruhi perkembangan di Indonesia. Hal inilah yang membuat Belanda menempatkan konsulnya di Jeddah dan kemudian menjadi kedutaan.

Tampaknya, pendirian konsul tersebut menunjukkan perhatian pemerintah kolonial agar para jamaah haji Nusantara memperoleh kemudahan-kemudahan administratif. Namun, sesungguhnya entitas itu berdiri dengan fungsi pengawasan. Belanda amat mafhum bahwa tidak sedikit tokoh-tokoh pergerakan yang muncul dari kalangan haji.

Seperti tercatat dalam sejarah, hingga akhir abad ke-19 banyak terjadi perlawanan umat Islam terhadap penjajah. Misalnya, gejolak-gejolak di desa-desa. Sering itu semua digerakkan para ulama yang adalah kaum haji. Maka, Belanda mengecap para haji sebagai orang-orang yang “fanatik” dan senang memberontak terhadap tatanan (rust en orde).

 
Belanda mengecap para haji sebagai orang-orang yang “fanatik.”
   

Ketakutan pemerintah kolonial kian menjadi apabila kaum haji menyatu  dalam kelompok-kelompok tarekat. Aqib Suminto mencatat, sejumlah perlawanan rakyat antikolonial di Nusantara pada masa transisi abad ke-19 dan 20 Masehi digerakkan kalangan mursyid dan haji. Sebut saja, peristiwa Cianjur (1883), Geger Cilegon (1888), dan Pemberontakan Garut (1919). Dalam momen yang tersebut akhir itu, Sarekat Islam pimpinan HOS Tjokroaminoto yang baru saja diakui resmi pemerintah kolonial dituduh terlibat.

Pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda juga terjadi di Tambun (Bekasi) dan Tangerang pada 1924. Pemberontakan di Tangerang dipelopori sejumlah tokoh di Desa Pangkalan Tangerang. Tokoh-tokoh itu berpidato di hadapan massa sambil menyerukan perlawanan terhadap Belanda dengan seruan, “Allahu Akbar!”

Mr Hamid Algaderi dalam buku Peran Keturunan Arab di Indonesia menyebutkan, gerakan-gerakan tarekat merupakan ancaman bagi tatanan kolonial. Mereka umumnya berasal atau terinspirasi dari paham pan-Islamisme. Tokoh-tokohnya yang mengilhami banyak ulama Nusantara adalah Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Syekh Muhammad Abduh, dan Sayyid Rasyid Ridha.

photo
Tokoh modernisme Islam, Rasyid Ridha (1865-1935) - (DOK WIKIPEDIA)

 

 

Mukimin Jawi, Jejak Indonesia di Tanah Suci

Orang-orang Indonesia membentuk komunitas Jawi di Haramain.

SELENGKAPNYA

Mencari Fatwa Hingga ke Makkah

Para tokoh Nusantara meminta fatwa tentang sejumlah soal yang terjadi di tanah air mereka.

SELENGKAPNYA

Makkah dan Legitimasi Raja-Raja di Nusantara

Sejumlah raja Muslim di Nusantara mengirim utusan ke Syarif Makkah untuk meminta gelar.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya