
Inovasi
Harga Diri Seni pada Era AI
Teknologi AI telah menghadirkan kerisauan tersendiri di lanagan para seniman.
Saat ini, artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan bukan sebatas tulisan saja, tapi sudah merambah kemampuannya membuat teks menjadi video, hingga teks ke film. Hal ini tentu saja membuat para seniman ketar ketir, akankah nantinya karya seni digantikan oleh AI. Lalu, posisi seniman ada di mana?
Salah satu seniman yang menyuarakan kegelisahannya adalah musisi Fiersa Besari. Sebagai seniman, Fiersa mengaku gelisah ketika suara nantinya bisa dibuat menggunakan AI, begitu juga mungkin nanti AI juga bisa digunakan untuk menciptakan lagu.
Intinya, semua karya seni ke depan akan berpotensi diganti AI. AI adalah kecerdasan yang ditambahkan kepada suatu sistem yang bisa diatur dalam konteks ilmiah atau didefinisikan sebagai kecerdasan entitas ilmiah.
Menjadi pekerja karya atau pekerja seni pada zaman sekarang harus menghadapi jauh lebih banyak tantangan.
Fiersa mengatakan, menjadi pekerja karya atau pekerja seni pada zaman sekarang harus menghadapi jauh lebih banyak tantangan. Mulai dari proses berkarya hingga akhirnya karyanya bisa dinikmati masyarakat secara luas.
Dulu, menurut Fiersa, harus menghadapi rasa bosan atau jenuh sebelum akhirnya menemukan inspirasi. Sekarang, dia melanjutkan, sedikit saja bosan atau jenuh, buka medsos, teralihkan, akhirnya tidak jadi berkarya. Karya sudah jadi, kemudian dirilis.
Harus berhadapan dengan angka-angka. "Kenapa karya si itu lebih banyak yang nikmatin dibanding karya saya?" ujar Fiersa dalam postingan Instagram-nya, beberapa waktu lalu.
Lalu, Fiersa juga mengakui, adanya timbul rasa insecure di dalam dirinya. Muncul rasa, "Apa mungkin saya tidak berbakat? Cuma berdasarkan angka-angka."
Padahal, menurut Fiersa, banyak juga karya kurang laku yang sebetulnya bagus dan karya laku yang sebetulnya kurang bagus. Semua hanya soal selera.
Masih belum selesai, Fiersa mengatakan, sekarang mesti dihadapkan dengan AI yang bisa membuat naskah (ChatGPT), mengubah wajah dalam sebuah video (DeepFake), bahkan mengganti suara dalam sebuah lagu dengan suara-suara penyanyi lain.
Hal yang terakhir ini, bahkan sudah mulai hype di media sosial. "Tapi, beda rasanya antara AI dan manusia," ujar seorang kawan seperti dijelaskan Fiersa dalam postingan-nya itu.
Menurut Fiersa iya, bagi yang mengerti seni dan teknologi. Bagi orang awam? Yang penting bisa dinikmati. "Hidup makin berat. Kemajuan zaman tidak bisa dilawan. Kita bisa digantikan. Pilihannya cuma adaptasi atau pensiun dini," ujar pelantun lagu "Waktu yang Salah" ini.
View this post on Instagram
Fiersa juga mencantumkan pendapat Iga Masardi. Menurut Iga, yang menjadi kurang pemisah antara AI dan manusia adalah asalan dan gagasan mengapa karya itu dibuat. Yang sekarang orang jadi heboh karena melihat sisi output-nya. What, bukan why. "Padahal itu yang membuat kita mengidolakan atau kagum terhadap seorang seniman atau musisi," ujar Iga.
Iga menambahkan, sejarah dan latar belakang kehidupan si seniman itu. "Dan mesin gak akan bisa memanipulasi itu. Sampai kapan pun. Itu sih yang akhirnya menjadi kesimpulan dan sudut pandang gw soal AI ini," kata Iga memaparkan.
Fiersa sepakat dengan pendapat Iga. "Mungkin, itulah kenapa kita enggak bisa memisahkan karya dengan sosok di pembuat karya," tulis Fiersa.
Ia pun memberi contoh, ketika kehidupan pribadi di pembuat karya bermasalah, yang seharusnya bukan menjadi urusan kita justru kemudian malah memengaruhi cara kita memandang karyanya. Pun ketika si pembuat karya berbuat baik, meski tidak ada hubungan dengan karyanya, tetap akan membuat kita makin mengidolakannya.
Tak akan Terganti
Dengan terus bergulirnya inovasi kecerdasan buatan (AI), bukan tidak mungkin berbagai karya seni bisa diciptakan menggunakan teknologi tersebut. Misalnya, menggubah lagu dengan AI atau merekayasa suara penyanyi memakai AI.
Dengan berbagai kemungkinan tersebut, penyanyi Tompi termasuk musisi yang sama sekali tidak merasa insecure terhadap perkembangan pesat AI. Dia yakin musisi manusia tidak akan tergantikan oleh mesin AI, yang membuat lagu berdasarkan algoritma.
Pemilik nama asli Teuku Adifitrian yang juga berprofesi sebagai dokter tersebut paham bahwa AI memungkinkan mesin "belajar" dari pengalaman. Namun, proses lahirnya karya dari AI disebutnya hanya mensontek dari data-data yang sudah ada, lantas direformulasi menjadi sesuatu yang baru.
"Ada satu hal yang saya rasa tidak akan pernah bisa dikalahkan oleh mesin: perasaan. AI bisa bikin karya itu perfect, variatif, tapi orisinalitas, perasaan, ekspresi, emosi, tidak akan bisa ditiru," ujar Tompi saat dijumpai Republika seusai acara pembukaan kembali Galeri Indonesia Kaya di Jakarta, Jumat (12/5/2023).
Dia menjabarkan, AI bisa saja secara otomatis membuat lagu tentang topik apa saja yang diinginkan, kemudian menghasilkan lirik yang kesannya "sempurna". Tetap saja, mesin bekerja dengan algoritma, menghasilkan bunyi sesuai dengan referensi repertoar yang "diajarkan".
Oleh sebab itu, Tompi sama sekali tidak khawatir dan tidak merasa terancam dengan kehadiran AI. Pelantun lagu "Menghujam Jantungku" yang tergabung dalam grup musik Trio Lestari tersebut malah melihat teknologi tersebut berpotensi menjadi elemen tambahan dalam proses berkaryanya.
Tompi mempertimbangkan, suatu saat bisa jadi dia akan memakai AI untuk menggarap karya musik tertentu. Secara umum, penyanyi yang me-remake lagu Bimbo, "Ada Anak Bertanya pada Bapaknya", itu tetap optimistis "rasa" yang manusiawi tak bisa tergantikan mesin.
"Rasa lahir dari perjalanan hidup, sedangkan mesin enggak hidup. Mesin enggak pernah dimarahin, enggak pernah di-bully, enggak pernah nangis, enggak pernah tertawa terbahak-bahak. Enggak pernah punya teman atau orang tua," ujar Tompi.
Selain memiliki orisinalitas, Tompi menyebutkan aspek lain yang perlu dipunyai musisi pada era yang kian maju, yakni identitas khas. Pria 44 tahun kelahiran Lhokseumawe, Aceh, itu menganggap identitas keindonesiaan perlu hadir dalam karya musik yang digubah musisi Tanah Air.
Tompi mengakui dirinya termasuk generasi yang sempat terlena dengan musik Barat. Padahal, semasa kecil, dia sangat lekat dengan musik dan kesenian tradisional. Sejak kecil hingga SMP, Tompi secara berkala menampilkan tarian tradisional dan melantunkan lagu daerah.
Begitu terjun ke industri musik, elemen itu justru tak sempat dia kulik. Belakangan, Tompi berusaha "menebus dosa" dengan menggarap berbagai proyek musik yang menyematkan elemen musik khas daerah, seperti membuat aransemen baru dari lagu Aceh serta lagu daerah lain.
Hasilnya juga diperdengarkan ke audiens internasional sehingga musik Indonesia kian terdengar gaungnya. Tompi mengatakan, hal serupa juga telah dia lakoni bersama sahabatnya, mendiang musisi Glenn Fredly.
Boleh mengulik karya musik semodern apa pun, tapi elemen Indonesia harus hadir. "Indonesia punya banyak elemen khas: perkusi, suling, angklung, serunai. Semua bisa dikemas di musik industri, membuat flavor-nya jadi lebih kaya. Orang mendengar, langsung tahu itu musik Indonesia," kata Tompi.
Mesin enggak pernah dimarahin, enggak pernah di-bully, enggak pernah nangis.TOMPI, Musisi
Jadi Korban Revenge Porn, Apa yang Harus Dilakukan?
Ada banyak alasan yang membuat korban bisa menjadi target revenge porn atau sextortion
SELENGKAPNYACinta Berakhir, Revenge Porn Dimulai
Meningkatya penerimaan terhadap pornografi secara umum telah memainkan peran dalam pornografi balas dendam.
SELENGKAPNYA