Opini--Retardasi Pasal Pengendalian Tembakau dalam RUU (Omnibus) Kesehatan | Republika/Daan Yahya

Opini

Retardasi Pasal Pengendalian Tembakau dalam RUU (Omnibus) Kesehatan

Belanja rokok pada keluarga miskin, merampas hak anak untuk mendapat gizi yang memadai.

AHMAD FANANIPeneliti Indonesia Institute for Social Development (IISD)

“Indonesia Darurat Rokok”, “Endemi Rokok”, “Surga Industri Rokok”, dan berbagai atribusi yang menunjukkan kondisi abnormal-darurat lain sudah diproklamasikan sedari belasan tahun silam. Namun, tahun demi tahun berlalu, rezim berubah, presiden beserta menterinya berganti, situasinya tak juga membaik.

Di tengah kondisi global ketika konsumsi rokok mengalami tren penurunan, Indonesia justru anomali. Rilis Global Adults Tobacco Survey (GATS) 2021 menunjukkan kenaikan angka perokok dibanding 2011. Dalam kurun 10 tahun jumlah perokok bertambah setidaknya delapan juta orang, setara 1,3 kali lipat penduduk Singapura.

Kondisi pada rentang usia remaja dan anak-anak juga tak jauh lebih menggembirakan. Temuan survei nasional Indonesia Institute for Social Development (IISD) bersama Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) yang dilakukan terhadap pelajar di 175 kabupaten/kota pada akhir 2022 menunjukkan, sebanyak 10,67 persen pelajar merupakan perokok aktif, dan bahkan 27,6 persen pelajar mengaku pernah mencoba merokok.

Yang lebih memprihatinkan, berdasarkan data tersebut, lebih dari 10 persen pelajar yang merokok mengaku pertama kali merokok pada usia di bawah 10 tahun.

Hambatan pembangunan

Konsumsi rokok yang terus tereskalasi merupakan ancaman bagi visi Indonesia Emas 2045. Hal ini karena delapan dari 10 pria usia produktif (25-40 tahun) terjerat candu tembakau.

Pemerintah berupaya keras menekan angka stunting yang sedemikian tinggi, tapi ironisnya mengabaikan faktor risiko yang mempengaruhi, antara lain, adalah tingginya konsumsi produk tembakau.

Hasil penelitian Profesor Laura Anderko dari Georgetown University, anak-anak yang terpapar asap rokok, langsung atau tidak langsung sejak dalam kandungan, tiga kali lebih besar kemungkinan mengalami kesulitan belajar (learning disability).

Dari dalam negeri, penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya menemukan, sebanyak 73,68 persen anak balita yang menderita gizi buruk hidup dengan orang tua yang perokok.

Setiap rupiah yang dialokasikan untuk belanja rokok pada keluarga miskin, merampas hak anak untuk mendapat gizi yang memadai.

 
Setiap rupiah yang dialokasikan untuk belanja rokok pada keluarga miskin, merampas hak anak untuk mendapat gizi yang memadai.
 
 

Retardasi regulasi

Nahasnya, draf RUU dan daftar investaris masalah (DIM) yang telah diserahkan pemerintah kepada DPR menunjukkan, pemerintah tampak tak punya cukup komitmen untuk memperkuat otot-otot regulasi, justru tampak retardasi (pelemahan) dalam beberapa pasal.

Muatan pengaturan pengendalian tembakau terdapat pada Bab 25 tentang Pengamanan Zat Adiktif, dari pasal 154 hingga 157. Retardasi otot regulasi, antara lain, terdapat dalam pengaturan terkait Peringatan Kesehatan Bergambar, Kawasan Tanpa Rokok, hingga ketiadaan muatan aturan terkait iklan, promosi, dan sponsor produk tembakau.

Terkait Kawasan Tanpa Rokok (KTR), ayat (3) Pasal 157 secara imperatif mewajibkan penyediaan tempat khusus untuk merokok di wilayah KTR. Hal ini merupakan kemunduran mengingat dalam UU No 36 Tahun 2009 Pasal 115 tidak ada klausul yang mewajibkan penyediaan tempat khusus merokok di wilayah KTR.

Hal lain yang patut disayangkan adalah ketiadaan pasal yang mengatur iklan, promosi, dan sponsor (IPS). Padahal Indonesia, merujuk dokumen Kementerian Koordinator PMK, tercatat sebagai negara yang paling lemah dalam pengaturan larangan IPS.

Hingga hari ini, bahkan tak ada satu pun regulasi yang mengatur IPS rokok di media internet. Iklan rokok yang membadai di nyaris semua lini ruang publik membuat publik mempersepsi rokok sesuai dengan konstruksi citra yang dibentuk oleh industri.

Citra yang menggambarkan rokok sebagai simbol kebebasan, keberanian, atau gaya hidup yang keren. Manipulasi fantasi tersebut menormalisasi produk tembakau dan membuat konsumen mengabaikan segala dampak buruknya.

 
Manipulasi fantasi tersebut menormalisasi produk tembakau dan membuat konsumen mengabaikan segala dampak buruknya.
 
 

Berbagai evidensi menunjukkan IPS adalah salah satu faktor yang mempunyai pengaruh signifikan menstimulasi perokok. Dalam riset IISD, 71 persen perokok pelajar menyatakan, iklan rokok itu kreatif/inspiratif, menstimulasi mereka untuk merokok.

Upaya pelarangan total IPS terganjal ketentuan iklan produk tembakau dalam UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Dengan metode omnibus law yang mempunyai kekuatan untuk mengubah ketentuan dalam UU lain, penyusunan UU Kesehatan merupakan momentum untuk menguatkan regulasi dengan menetapkan larangan IPS, yang bisa diwujudkan cukup dengan mencabut Pasal 13 huruf (c) UU Pers dan Pasal 46 Ayat 3 huruf (c) UU Penyiaran.

Penguatan regulasi

Logika sederhana pengobatan, dalam kondisi sakit memburuk, dibutuhkan dosis dan treatment pengobatan yang lebih kuat untuk pulih. Regulasi pengendalian tembakau yang berlaku sekarang tak cukup kuat mengeliminasi endemi rokok yang semakin mencemaskan.

Eskalasi masalah yang terus memburuk, terang membutuhkan penguatan regulasi. Selama ini upaya mewujudkannya selalu saja dibenturkan dan terkapar oleh dikte industri.

 
Eskalasi masalah yang terus memburuk, terang membutuhkan penguatan regulasi. Selama ini upaya mewujudkannya selalu saja dibenturkan dan terkapar oleh dikte industri.
 
 

Seolah melindungi kesehatan publik bertentangan dengan kepentingan ekonomi. Padahal dalam pertimbangan UU 36 Tahun 2009 menyebutkan bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara. Setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara.

Mempertimbangan kalkulasi ekonomi dan kapital sebagai bagian dari pertimbangan kebijakan tentu sah saja, dan merupakan keniscayaan politik-ekonomi. Namun, kalkulasi tersebut tak boleh meminggirkan hak publik untuk mendapatkan perlindungan optimal negara dari segala hal yang mengancam kesehatan dan mengabaikan kewajiban negara untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Pandemi Covid-19 mestinya membuka mata kesadaran kita betapa mahal harga yang harus ditanggung dari sebuah bencana kesehatan. Manakala sebuah peraturan tercerabut dari pertimbangan nurani dan nalar, terkapar oleh dikte kapital, maka kualitas masa depan peradaban akan mengalami pembusukan yang tak terbayangkan.

Pajak Atas Medali dan Bonus Atlet

Indonesia masih belum memiliki pengaturan khusus pembebasan pajak terhadap hadiah atlet.

SELENGKAPNYA

Liburan Membawa Hidayah

Alana Blockley mulai tertarik mengenal Islam sejak menjumpai orang-orang Muslim di negeri tempatnya berlibur.

SELENGKAPNYA

Nasihat Pokok Iman Hingga Masyarakat Madani

Syekh Nawawi menjabarkan pentingnya iman dan akhlak untuk bina masyarakat madani.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya