
Konsultasi Syariah
Fee Badal Haji, Bagaimana Tuntunannya?
Bolehkah seseorang meminta upah atau fee sebagai kompensasi menghajikan orang lain?
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamu’alaikum wr. wb.
Ustaz, orang tua saya sudah tidak mampu untuk menunaikan ibadah haji. Alhamdulillah, saya tahun ini berkesempatan menunaikan haji dan ingin membadalkan orang tua saya yang sudah uzur.
Apakah membadalkan itu sesuai syariah dan seperti apa tuntunannya? Jika yang membadalkan pihak lain dan meminta kompensasi atau fee, apakah itu diperkenankan menurut syariah? -- Salman, Depok
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa dijelaskan dalam poin-poin berikut.
Pertama, jika merujuk pada Hasil Mudzakarah Perhajian Nasional Tahun 2016, badal haji adalah kegiatan menghajikan orang yang telah meninggal (yang belum haji) atau menghajikan orang yang sudah tak mampu melaksanakannya (secara fisik) disebabkan oleh suatu uzur, seperti sakit yang tak ada harapan sembuh.
Lebih teknis, badal haji adalah pelaksanaan ibadah haji yang dilakukan oleh seseorang atas nama orang lain yang sudah meninggal (sejak di embarkasi dan sebelum pelaksanaan wukuf). Juga bagi jamaah haji yang uzur jasmani dan rohani (tidak dapat diharapkan kesembuhannya menurut medis, sakit bergantung pada alat, dan gangguan jiwa), sehingga tidak dapat melaksanakan wukuf di Arafah. (Hasil Mudzakarah Perhajian Nasional Tahun 2016 tentang Badal Haji).
Kedua, ketentuan tentang boleh atau tidaknya membadalkan haji. Kecuali Imam Malik, mayoritas ulama (Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali) membolehkan badal haji (al-hajj ‘an al-ghair) dengan syarat.
[1] Orang yang membadalhajikan harus sudah pernah haji terlebih dahulu. Jika dia belum haji, maka tidak sah menghajikan orang lain. Sebagaimana pendapat mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali.
Berbeda dengan mazhab Hanafi dan Maliki yang berpendapat bahwa orang yang belum haji boleh menghajikan (membadalhajikan) orang lain dan sah menurut hukum. (Lihat juga Bidayah al-Mujtahid, Ibnu Rusyd, 257).
[2]. Orang yang dihajikan adalah (a) orang yang kondisi fisiknya tidak memungkinkan untuk berangkat ke Tanah Suci (ma’dub) sehingga memerlukan jasa orang lain untuk melaksanakan ibadah haji.
(b) Yang sudah wafat (haji wajib yang tidak terlaksana atau tidak selesai karena yang bersangkutan meninggal lebih dulu). (Lihat juga Bidayah al-Mujtahid, Ibnu Rusyd, 257).
Tata cara pelaksanaan badal haji sama dengan pelaksanaan haji untuk diri sendiri kecuali ketika niat harus niat badal untuk seseorang. Namun terkait miqat badal haji, menurut mazhab Hanbali dan Imam Syafi’i, orang yang membadalkan haji wajib memulai ihramnya dari miqat negeri orang yang dibadalkan.
Ketiga, ketentuan tersebut didasarkan pada tuntunan berikut. Dari Ibnu Abbas dari al-Fadl, "Seorang perempuan dari kabilah Khats’am bertanya kepada Rasulullah SAW, 'Wahai Rasulullah, ayahku telah wajib haji, tapi dia sudah tua renta dan tidak mampu lagi duduk di atas kendaraan?' Jawab Rasulullah, 'Kalau begitu lakukanlah haji untuk dia!'” (HR Bukhari, Muslim).
Dari Ibnu Abbas RA, “Seorang perempuan dari Bani Juhainah datang kepada Nabi SAW, dia bertanya, 'Wahai Nabi SAW, ibuku pernah bernazar ingin melaksanakan ibadah haji hingga beliau meninggal, padahal dia belum melaksanakan ibadah haji tersebut. Apakah aku bisa menghajikannya?' Rasulullah menjawab, 'Ya, hajikanlah untuknya, kalau ibumu punya utang kamu juga wajib membayarnya bukan? Bayarlah utang Allah, karena hak Allah lebih berhak untuk dipenuhi'.” (HR Bukhari dan Nasa’i).
Dari Ibnu Abbas, pada saat melaksanakan haji, Rasulullah SAW mendengar seorang lelaki berkata, “Labbaika ‘an Syubrumah” (Aku memenuhi pangilan-Mu ya Allah, untuk Syubrumah). Lalu Rasulullah bertanya, “Siapa Syubrumah?”
“Dia saudaraku atau kerabatku, wahai Rasulullah,” jawab lelaki itu. “Apakah kamu sudah pernah haji?” Rasulullah bertanya. “Belum” jawabnya. “Berhajilah untuk dirimu, lalu berhajilah untuk Syubrumah,” lanjut Rasulullah. (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Keempat, bolehkah seseorang meminta upah atau fee sebagai kompensasi menghajikan orang lain? Semua sepakat, jika mereka yang melakukan badal haji itu boleh meminta atau mensyaratkan biaya manasik haji sesuai biaya riil yang dibutuhkan.
Tetapi selanjutnya --selain biaya tersebut-- para ahli fikih berbeda pendapat terkait kebolehan adanya fee sebagai kompensasi atas badal haji.
Pendapat pertama, menurut sebagian ulama seperti mazhab Hanafi dan salah satu riwayat dalam mazhab Hanbali, mengambil fee atau kompensasi itu tidak dibolehkan, karena prinsipnya mereka yang menghajikan orang lain tidak boleh menjadikannya sebagai komoditas bisnis; tidak meminta fee karena manasik haji adalah ibadah.
Jadi afdhal-nya, ia menunaikannya secara sukarela (berharap pahala dari setiap manasik yang telah ditunaikannya) kecuali sebesar biaya riil manasik tersebut, maka itu dibolehkan, kecuali pihak keluarga yang dihajikan --atas inisiatif mereka-- memberikan kompensasi fee. Jika ia meminta dan mendapatkan kompensasi fee, maka ia tidak mendapatkan pahala atas hal tersebut.
Syekh Hasanin Makhluf menjelaskan, ulama mazhab Hanafi berpendapat, fee atau kompensasi tidak dibolehkan karena ibadah haji itu bagian dari rangkaian ketaatan (ibadah mahdah) seperti halnya ibadah shalat dan puasa.
Saat ada fee sebagai kompensasi atas jasa ibadah haji yang dilakukannya dengan skema ijarah, maka akad ijarahnya menjadi batal.
Mereka yang menunaikan haji sebagai badal hanya berhak atas biaya manasik haji bukan sebagai ‘iwadh atau keuntungan, tetapi sebagai kifayah.
Mereka yang menunaikan haji sebagai badal hanya berhak atas biaya manasik haji bukan sebagai ‘iwadh atau keuntungan, tetapi sebagai kifayah (sebagai pengganti dan biaya riil), karena ia telah meluangkan waktunya untuk aktivitas haji yang menjadi kewajiban mayit atau mereka yang memberikan kuasa.
Pendapat kedua, mayoritas ulama seperti ulama mazhab Syafi’i, mazhab Malik, riwayat yang kedua mazhab Hanbali dan Ibnu al-Munzir berpendapat bahwa fee diperbolehkan
Hal ini didasarkan karena beberapa tuntunan. Di antaranya, [1] Sebagaimana analogi terhadap kebolehan upah atas jasa meruqyah, juga analogi terhadap kebolehan upah pembangunan masjid dan jembatan.
[2]. Jika biaya riil (nafkah) badal haji boleh diperjanjikan, maka ia juga boleh mensyaratkan fee sebagai kompensasinya.
[3]. Menjadi kebutuhan riil karena jika upah ini ditiadakan, maka mungkin akan sulit menemukan mereka yang siap menerima badal secara sukarela.
Oleh karena itu, Syekh Hasanin Makhluf menjelaskan bahwa ulama mazhab Syafi’i berpendapat bahwa mereka yang melakukan badal boleh mengambil upah atau kompensasi atas badal tersebut. Upah dan kompensasi itu boleh untuk menunaikan hak-hak yang sudah wafat (al-ma’dhub) dan upah pelaksanaan haji itu halal dan termasuk pendapatan yang thayyib.
Ibnu Rusyd menjelaskan, para ulama berbeda pendapat saat seseorang menyewakan jasa membadalkan Haji. Menurut Imam Malik dan Imam Syafi'i, hal ini makruh karena mereka telah konsensus jika ijarah dalam penulisan mushaf dan pembangunan masjid --yang sesungguhnya keduanya bersifat qurbah itu dibolehkan mengambil fee-- maka begitu pula dengan ibadah haji.
Sedangkan Imam Abu Hanifah tidak membolehkan ijarah dalam badal haji karena ibadah haji itu taqarrub kepada Allah SWT yang tidak boleh dijadikan objek bisnis. (Bidayah al-Mujtahid, Ibnu Rusyd, 257).
Wallahu a’lam.
Toko Buku Gunung Agung Diterkam Zaman
Perusahaan mengumumkan akan menutup semua toko yang tersisa pada tahun ini.
SELENGKAPNYAGejolak Rindu dengan Backsound Musik Bimbo
Kerinduan kepada Rasulullah jangan sampai membuat jamaah lupa dengan kondisi fisik.
SELENGKAPNYA