Opini--Merevitalisasi Harta Sebagai Media Kebajikan | Republika/Daan Yahya

Opini

Merevitalisasi Harta Sebagai Media Kebajikan

Eksistensi harta adalah alat dan wasilah atau media untuk tujuan yang baik.

AHMAD ALI MD; Dosen Tetap Pascasarjana Universitas PTIQ Jakarta, Wakil Sekretaris Lembaga Pentashih Buku dan Konten Keislaman (LPBKI) MUI Pusat

Kita prihatin begitu banyak kasus hukum yang menjerat para pejabat dan aparat penegak hukum. Penyebabnya karena harta dan uang mereka terbukti diperoleh dan dikembangkan dengan cara-cara yang tidak halal. Banyak kasus korupsi, kolusi, narkoba, bahkan pencucian uang (money laundering).

Buktinya, Indek Persepsi Korupsi (IPK) pada 2022 berdasarkan rilis terbaru Transparancy International Indonesia (TII) merosot empat poin menjadi 34 dari sebelumnya 38 pada 2021. Skor ini juga menempatkkan Indonesia pada peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei atau merosot 14 tangga dari 2021 yang ranking 96 (Republika.co.id, 3/2/2023).

Seringkali kasus-kasus itu berdalihkan untuk meraih kebahagiaan dan kesenangan. Bahkan sering muncul flexing (pamer kekayaan), yang juga diekspos para pejabat atau keluarganya di platform media sosial.

 
Seringkali kasus-kasus itu berdalihkan untuk meraih kebahagiaan dan kesenangan. Bahkan sering muncul flexing, yang juga diekspos para pejabat atau keluarganya di platform media sosial.
 
 

 

Mengapa itu terjadi? Pada dasarnya semua manusia, yang sehat akal dan jiwanya, mendambakan kebahagiaan (al-sa’adah) dan kesenangan hidup. Tetapi banyak orang yang kemudian karena terlalu cinta kepada dunia atau “kedonyan” (hubb al-dunya) memicu pelanggaran dan penyimpangan terhadap aturan dan norma agama dalam mendapatkan harta dan uang.

Dalam hadis Nabi SAW disebutkan, “Hubb al-dunya ra’su kulli khathiah” (Kecintaan terhadap dunia (kedonyan) adalah pangkal seluruh kesalahan) (HR al-Baihaqi).

Padahal untuk mencapai kebahagiaan itu tidaklah selalu dengan harta. Karena Allah SWT sejatinya telah memberi manusia berbagai anugerah, selain harta dan uang.

Hujjatul Islam Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ’Ulumiddin memberikan wejangan tentang bagaimana cara meraih kebahagiaan. Kebahagiaan bisa dicapai dengan tiga media (wasilah).

Pertama, keutamaan atau karunia Tuhan yang berhubungan dengan kejiwaan (al-fadha’il al-nafsiyyah), seperti ilmu dan akhlak (kepribadian) yang baik.

Kedua, karunia Tuhan yang berhubungan dengan jasmani (al-fadha’il al-badaniyyah), seperti sehat dan tidak cacat.

Ketiga, karunia Tuhan yang bersifat eksternal, di luar badan (al-fadha’il al-kharijah ‘an al-badan), seperti harta dan beragam sarana yang lainnya.

Dari tiga karunia itu, tingkatan yang tertinggi adalah karunia immateri, yakni kepribadian yang baik. Jelas untuk memperoleh kebahagiaan tidaklah hanya dengan mengandalkan harta dan uang, tapi justru bisa dengan aspek batiniah (spiritual). Ketenangan batin, wawasan yang luas, dan kesehatan badan, dan ini wajib disyukuri.

 
Untuk memperoleh kebahagiaan tidaklah hanya dengan mengandalkan harta dan uang, tapi justru bisa dengan aspek batiniah (spiritual). Ketenangan batin, wawasan yang luas, dan kesehatan badan, dan ini wajib disyukuri.
 
 

 

Nabi Muhammad SAW mengingatkan, “Sebaik-baik harta yang baik (halal) adalah harta yang dimiliki seseorang yang baik pula.” (HR al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, al-Hakim, Ahmad, al-Thabrani, al-Baihaqi, dan Muqbil bin Hadi al-Wadi‘i dalam Kitab al-Shahih al-Musnad Mimma Laisa fi al-Shahihain, dari ‘Amr bin ‘Ash).

Hal ini menunjukkan bahwa harta yang baik (halal) adalah harta yang dimiliki atau dikuasai orang yang baik (saleh). Dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan dirinya, keluarga, dan kerabatnya, serta untuk aktivitas dan program-program kebajikan (a’mal al-birr).

Sedangkan, harta yang dimiliki atau dikuasai orang yang tidak saleh dapat dipastikan bukanlah harta halal, dari segi asal usulnya, pengembangan ataupun distribusinya (tasaruf). Harta yang diperoleh dan digunakan jelas akan dihisab di akhirat.

Ditegaskan dalam hadis hasan sahih riwayat al-Tirmidzi dan al-Darimi, dari jalur Abu Barzah Nadhlah bin ’Ubaid al-Aslami RA, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah bergeser dua telapak kaki seorang hamba --pada posisinya untuk dihisab masuk ke surga atau neraka-- pada hari kiamat sehingga ditanya tentang empat macam: tentang umurnya, dalam hal apa dihabiskan; tentang ilmunya, bagaimana diamalkan; tentang hartanya, dari mana diperoleh dan dipergunakan; dan tentang tubuhnya, untuk apa ia hancurkan --ketaatan ataukah kemaksiatan?”

Jadi harta akan dihisab: diperhitungkan dan dipertanggungjawabkan dalam hal cara memperoleh dan menggunakannya.

Dengan demikian, jelas harta yang baik (halal) itulah harta yang dimiliki atau dikuasai seseorang yang baik (saleh), karena diperoleh dan dikembangkan dengan cara yang baik dan digunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan (hifzul mal).

Zuhud tidak identik antidunia

Imam Ali Bin Abi Thalib Karramallahu wajhah, dalam Ihya’ Ulumiddin, mengatakan, “Seandainya seseorang mengambil seluruh yang ada di bumi dan dia maksudkan untuk mencari ridha Allah Taala, maka dia seorang yang zahid (berlaku zuhud, tidak materialistis, dan hedonis). Sebaliknya, jika dia meninggalkan seluruh yang ada di bumi, tetapi hal itu tidak dimaksudkan untuk mencari ridha Allah Taala, maka dia bukanlah seorang yang zahid….”

Hal ini selaras dengan firman Allah SWT, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, sedangkan amal kebajikan yang abadi (pahalanya) adalah lebih baik balasannya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS al-Kahf [18]: 46).

Oleh karena itu, tidaklah salah orang mencari dan menumpuk banyak harta, bahkan suatu keharusan. Tetapi harta harus diperoleh melalui jalan yang dibenarkan dan diajarkan syariat (Islam), dan harus pula digunakan sesuai ketentuan agama (Islam) dan peraturan perundang-undangan.

Jadi, eksistensi harta adalah alat dan wasilah (media) untuk tujuan yang baik (ibadah), dalam rangka mempersiapkan diri sebaik-baiknya guna menghadapi ajal. Persiapan menghadapi ajal itu dengan menjadikan umur kita penuh kebajikan (amal saleh).

 
Orang terbaik adalah orang yang panjang umurnya dan baik perbuatannya, termasuk dalam memperoleh dan menggunakan harta.
 
 

Karena itulah, orang terbaik adalah orang yang panjang umurnya dan baik perbuatannya, termasuk dalam memperoleh dan menggunakan harta. Dalam hadis riwayat al-Tirmidzi dari Abu Bakrah dikisahkan, “Bahwa seseorang bertanya, 'Ya Rasulallah! Siapakah manusia terbaik?' Beliau menjawab, 'Yaitu orang yang panjang umurnya dan baik perbuatannya'.”

Berdasarkan itu, hidup kita harus dimaksimalikan dengan penuh kebajikan. Bahkan pun dalam hal mencari dan memperoleh harta sebanyak-banyaknya, bila dilakukan dengan benar dan tujuan yang baik adalah perbuatan baik.

Dengan begitu, diharapkan setiap diri kita menjadi orang-orang saleh, yang memperoleh harta yang halal, dan mengelola serta menggunakannya dengan baik dan pada jalan-jalan kebaikan (kebajikan).

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Kala Yahudi Madinah Berkhianat

Peristiwa pengkhianatan kaum Yahudi ini terjadi pada bulan Dzulqaidah.

SELENGKAPNYA

Harut Marut dan Wanita Cantik Bernama Zahrah

Setelah sekian lama di dunia, mereka tertarik kepada perempuan cantik bernama Zahrah.

SELENGKAPNYA

Apa Itu Alam Mitsal?

Mereka mampu berkomunikasi secara spiritual dengan alam-alam lain, termasuk dunia lain.

SELENGKAPNYA