
Mujadid
KH Muhammad Yunus Anis, Ketum Muhammadiyah yang Tentara
Tokoh Muhammadiyah ini pernah aktif di dunia tentara sebagai kapusroh TNI AD.
Dalam sejarahnya, Muhammadiyah pernah memiliki seorang kader yang tidak hanya berperan di ranah sipil, melainkan juga militer. Dialah KH Muhammad Yunus Anis.
Seperti diungkapkan M Yunan Yusuf dalam Ensiklopedi Muhammadiyah, pria yang lahir pada 3 Mei 1903 itu merupakan anak sulung dari sembilan bersaudara. Ayahnya adalah Haji Muhammad Anis, seorang tokoh Muslim dan juga abdi dalem Keraton Yogyakarta. Ibundanya bernama Siti Saudah.
Lahir di Kampung Kauman Yogyakarta, sejak kecil Muhammad Yunus memeroleh pendidikan agama Islam yang intens di rumah. Ayahnya sangat menekankan agar anak-anak disiplin mengaji Alquran dan memahami akhlak yang baik. Pendidikan dasarnya diawali di Sekolah Rakjat Muhammadiyah Yogyakarta.
Selanjutnya, dia hijrah ke Batavia (Jakarta) untuk mengikuti pelajaran di Sekolah al-Atas dan Sekolah al-Irsyad yang dipimpin Syekh Ahmad Muhammad Soorkati al-Ansari. Pada masa itu, pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan bersahabat erat dengan tokoh pendidikan nasional yang lahir di Sudan tersebut.

Lulus dari sekolah tersebut, Muhammad Yunus semakin mantap mewujudkan cita-citanya sebagai mubaligh. Wahana yang dipilihnya adalah organisasi Muhammadiyah. Dia tercatat sebagai dai yang aktif diterjunkan ke daerah-daerah seantero Nusantara.
Karakteristiknya yang penuh disiplin mendukung kesuksesan misi dakwah. Terbukti, sejumlah cabang Muhammadiyah berdiri di berbagai daerah berkat kerja kerasnya dan rekan-rekan sesama dai.
Pada periode 1924-1926, Muhammad Yunus dipercaya sebagai pengurus cabang Muhammadiyah di Batavia. Pada masa itulah kepiawaiannya dikenal luas. Orang-orang menyebutnya sebagai organisator yang ulung, khususnya dalam bidang penyusunan administrasi. Reputasinya tersebut mengangkatnya naik ke jenjang yang lebih luas lagi.
Pada kurun waktu tahun 1934-1936, Muhammad Yunus terpilih selaku sekretaris umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Jabatan yang sama diembannya pada periode kedua, yakni 1953-1958. Masa-masa ini dapat dikatakan sebagai awal ketokohannya di tingkat nasional Hindia Belanda (Indonesia zaman penjajahan Belanda).
Masyarakat, khususnya warga Muhammadiyah, merasakan betul kerja nyatanya. Dari perilakunya sehari-hari, tampak bahwa dia bukan “orang biasa”. Tutur katanya dan akhlak budinya mencerminkan kehormatan seorang bangsawan yang memahami kultur Jawa.
Melalui surat kekancingan Swandana Tepas Dwara Putera Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada 1961, terungkap bahwa Muhammad Yunus ternyata kalangan ningrat. Lebih jauh dijelaskan bahwa dirinya merupakan keturunan ke-18 dari Raja Brawijaya V. Maka dari itu, KH Muhammad Yunus sesungguhnya pantas menyandang gelar “Raden”.
Masuk dunia militer
Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 mengubah tatanan masyarakat. Rakyat bahu-membahu dengan para pemimpin dan tentara untuk mempertahankan keutuhan negeri yang usianya baru seumur jagung ini. Setelah melalui perjuangan fisik dan serangkaian diplomasi internasional, Indonesia pun diakui kedaulatannya oleh Belanda, meskipun masih dalam bentuk negara serikat yang diisi banyak negara bagian boneka. Barulah pada 17 Agustus 1950, berkat Mosi Integral Natsir, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) benar-benar kukuh.
Pada 1954, Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengangkat KH Muhammad Yunus Anis selaku Kepala Pusat Rohani (Pusroh) Angkatan Darat RI. Pengangkatan ini tentunya bukan tanpa alasan. Di zaman pendudukan Jepang silam, sekretaris PP Muhammadiyah itu pernah bergabung dalam struktur Pembela Tanah Air (PETA). Dengan demikian, namanya sudah masyhur bagi kalangan militer Indonesia sejak saat itu.
Saat menjadi Kapusroh TNI-AD, KH Muhammad Yunus telah berusia 51 tahun. Dia menjadi akrab dengan sebutan Imam Tentara, sebuah sapaan lazim bagi tokoh-tokoh yang memimpin Pusroh militer. Dalam menjalankan tugasnya, dia selalu memberikan bimbingan mental keislaman dan kebangsaan kepada seluruh prajurit.
Dia (KH M Yunus Anis) selalu memberikan bimbingan mental keislaman dan kebangsaan kepada seluruh prajurit.
Tujuannya menumbuhkan kecintaan terhadap Tanah Air yang tidak melupakan nilai-nilai ajaran Islam. Ulama ini dekat sekali dengan kepala staf Angkatan Darat (KSAD) saat itu, Jenderal Abdul Haris Nasution. Keduanya memiliki kesamaan pandangan dalam banyak soal, meskipun ada pula sedikit perbedaan di sana-sini.
Namanya semakin bersinar di lingkungan organisasi. Pada Muktamar Muhammadiyah ke-34 di Yogyakarta, KH Muhammad Yunus terpilih sebagai ketua PP Muhammadiyah periode 1959-1962.
KH Muhammad Yunus terpilih sebagai ketua PP Muhammadiyah periode 1959-1962.
Dalam muktamar itu pula, dia mengemukakan gagasan tentang “Kepribadian Muhammadiyah.” Perumusannya kemudian digarap melalui sebuah tim ahli yang dipimpin KH Faqih Usman.
Barulah pada muktamar berikutnya, gagasan tersebut tampil lebih sistematis. Momentumnya juga bertepatan dengan setengah abad berdirinya Muhammadiyah.
Sejak pemberlakuan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, Presiden Sukarno cenderung otoriter dalam mengendalikan kekuasaan. Kehidupan demokrasi seakan-akan kehabisan oksigen.
Sementara itu, Partai Komunisme Indonesia (PKI) dengan dukungan dari luar negeri, utamanya Republik Rakyat Cina (RRC), kian mesra dengan Putra Sang Fajar.

Memasuki dasawarsa 1960-an, awan gelap semakin menyelimuti Indonesia. Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dibubarkan secara paksa oleh Presiden Sukarno pada 13 September 1960. Praktis, sejak saat itu, tidak ada lagi wadah aspirasi politik mayoritas umat Islam. DPR pun telah dikuasai kepentingan rezim.
Bahkan, pada 1963 MPR-S menetapkan Sukarno sebagai presiden seumur hidup. Suatu keputusan yang jelas-jelas bertentangan dengan semangat demokrasi yang sehat. Dengan tangan besi pula, Sang Proklamator itu memaksakan seluruh elemen bangsa agar bersedia menerima konsepsi Nasionalisme Agama Komunisme (Nasakom). Suara-suara yang menentangnya ditekan habis-habisan, bahkan tidak sedikit yang mendekam di penjara sebagai tahanan politik.
Di tengah situasi demikian, KH Muhammad Yunus mendapatkan dorongan dari tokoh-tokoh yang dekat dengan Sukarno. Rezim politik saat itu ingin agar sang kiai menjadi anggota DPR-Gotong Royong (GR) yang komposisinya disusun sendiri oleh Sukarno—bukan melalui pemilihan umum yang demokratis.
Maka dari itu, banyak kritik dialamatkan kepadanya lantaran menerima tawaran ini. Umat tentunya masih mengingat jelas tangan besi Sukarno yang membubarkan Masyumi.
Bagaimanapun, KH Muhammad Yunus secara terbuka menegaskan bahwa tindakannya itu semata-mata demi kepentingan jangka panjang, yakni mengemban aspirasi umat Islam. Dia menilai, jangan sampai suara-suara kaum Muslimin pupus sama sekali, walaupun parlemen Indonesia saat itu sedang dihegemoni penguasa yang lalim.

Demikianlah, rezim Presiden Sukarno akhirnya jatuh di tengah jalan karena tidak kuat menghadapi tekanan ekonomi, sosial, dan politik sekaligus. Peristiwa G-30-S menjadi pemicu telak runtuhnya kewibawaan Orde Lama di hadapan rakyat.
Banyak yang menilai, Bung Karno saat itu terlalu dekat dengan komunisme, suatu ideologi yang jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila.
KH Abdul Gaffar Ismail, Dai dan Pejuang Kemerdekaan Indonesia
KH Abdul Gaffar Ismail pernah memimpin misi rahasia untuk mendukung perlengkapan bagi tentara RI.
SELENGKAPNYAImran Khan Ditangkap, Pakistan Membara
Enam orang meninggal dalam unjuk rasa di Pakistan.
SELENGKAPNYA