Muhammad Farid Wajdi. | DOK ENSIKLOPEDI ISLAM

Mujadid

Muhammad Farid Wajdi, Modernis Islam dari Mesir

Mengikuti Syekh Muhammad Abduh, Muhammad Farid Wajdi turut mengembangkan gagasan modernisme Islam.

Muhammad Farid bin Mustafa Wajdi (1875-1954) merupakan cendekiawan Muslim yang lahir di Iskandariyah, Mesir. Ensiklopedi Islam untuk Pelajar memaparkan, Farid Wajdi sedari remaja memiliki pengetahuan yang luas lantaran kecintaannya terhadap pustaka.

Minatnya tertuju pada pelbagai persoalan, khususnya bidang kebudayaan, sosial, dan filsafat. Tidak mengherankan bila sebagai pemikir, analisisnya selalu bertautan dengan ketiga kajian tersebut.

Tokoh pembaharu Islam ini mulai berkenalan dengan gagasan modernisme sejak menetap di Prancis. Dia mulai menyadari betapa tertinggalnya umat Islam bila dibandingkan pencapaian-pencapaian teknologi dan sosial yang pesat di Barat.

Di Paris, pada 1899, dia menerbitkan dan memimpin majalah al-Hayah. Itulah awal kariernya dalam dunia jurnalistik. Selain itu, ada pula penerbitan pamflet al-Falsafah al-Haqqah fi Badail al-Akwan (Filsafat yang Benar tentang Keindahan Alam).

Melalui jalur kewartawanan, dia menyebarkan gagasan-gagasannya tentang perlunya modernisme untuk kemajuan umat Islam. Paham tersebut cukup populer di seluruh dunia sejak akhir abad ke-19. Perkembangannya dilatari kolonialisme Eropa yang terjadi atas bangsa-bangsa di Asia dan Afrika.

Konteks pemikiran Farid Wajdi memang tidak lepas dari gelombang modernisasi awal abad ke-20 M.

Konteks pemikiran Farid Wajdi memang tidak lepas dari gelombang modernisasi awal abad ke-20 M. Saat itu, mulai muncul kaum terpelajar Muslim yang membaca ulang pemikiran-pemikiran khazanah Islam dan Barat. Kaum modernis mendukung ijtihad dengan sikap terbuka sekaligus kritis terhadap sumber-sumber non-Islam. Tujuannya semata-mata agar Islam tidak lumat tertinggal zaman yang kian berpacu.

Mengikuti seniornya, Muhammad Abduh (1849-1905), Farid Wajdi turut mengembangkan gagasan modernisme Islam. Hal itu tertuang dalam bukunya yang terbit pada 1898 dalam bahasa Prancis--lantas diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul Tatbiq al-Diyanah al-Islamiyah 'la Nawamis al-Madaniyah. Buku yang sama kemudian dicetak ulang dengan judul baru, al-Madaniyah wa al-Islam.

Di dalamnya, dia berargumen bahwa Islam telah mencetuskan beberapa prinsip yang sesungguhnya dapat dipakai untuk mendukung demokrasi dan kemajuan peradaban modern.

Islam telah mencetuskan beberapa prinsip yang sesungguhnya dapat dipakai untuk mendukung demokrasi dan kemajuan peradaban modern.

Di antaranya adalah prinsip persamaan dalam kemanusiaan; musyawarah mufakat untuk menyelenggarakan negara; kebebasan berpendapat; serta persatuan di atas kemajemukan dan toleransi. Wujud prinsip-prinsip itu dapat dilihat dari bagaimana suatu masyarakat Islam membentuk tatanan kota.

Istilah madaniyah yang menjadi judul buku tersebut merujuk pada kata madinah yang dalam bahasa Arab berarti ‘kota.’ Menurutnya, kota menjadi pusat suatu peradaban. Bila kota itu memfasilitasi kemajuan masyarakat, maka peradaban dapat dikatakan akan terus lestari.

Dari kata madinah pula, turun istilah masyarakat madani yang dapat diartikan sebagai civil society. Penulis yang menempuh pendidikan doktoral di Universitas al-Azhar (Mesir) itu bermaksud menunjukkan kesempurnaan Islam.

Agama ini bukanlah semata-mata sistem kepercayaan, tetapi juga tatanan peradaban bagi umat manusia. Kemaslahatan Islam tidak eksklusif bagi kaum Muslimin saja, melainkan juga semesta karena agama ini bersifat rahmatan lil ‘alamin.

Selain Tatbiq al-Diyanah, ada pula karya-karyanya yang lain. Yang cukup fenomenal adalah ensiklopedi yang ditulisnya berjudul Da'irah Ma'arif Qarn Al-'Isyrin (Ensiklopedia Abad ke-20). Naskah awalnya pernah dimuat secara bersambung dalam koran Ad-Dustur.

Kitab yang terdiri atas 10 jilid itu diselesaikannya seorang diri hingga sempurna pada 1918. Di dalamnya, Farid Wajdi memaparkan seluk-beluk dunia modern dan signifikansinya yang sedang dihadapi umat Islam pada waktu itu.

Farid Wajdi memaparkan seluk-beluk dunia modern dan signifikansinya yang sedang dihadapi umat Islam pada waktu itu.

Di ranah keilmuan Islam, dia menekuni bidang fiqih. Sebagai ahli fiqih, Farid Wajdi tetap meneruskan pandangan-pandangannya yang berpihak pada kemajuan. Contohnya, dia pernah memfatwakan bahwa Alquran dapat dialihbahasakan maknanya dari Arab ke non-Arab. Maka maraklah naskah-naskah Alquran terjemahan.

Di luar itu, sikapnya cukup tegas dalam mencegah praktik-praktik bidah yang beredar di tengah kaum Muslimin. Baginya, bidah tidak dapat diterima karena bertentangan dengan Alquran dan Hadis.

Lebih lanjut, dia juga menyayangkan bahwa umat Islam kerap jauh dari esensi ajaran agama ini. Praktik-praktik yang ada di lapangan tidak jarang berlainan dengan gambaran Islam yang sesungguhnya. Hal itulah yang kerap dimanfaatkan kalangan orientalis untuk menilai Islam dengan pelbagai cap yang bernada sinisme.

Pada akhirnya, karya-karya intelektual Farid Wajdi juga dimaksudkannya untuk menangkal tulisan-tulisan kubu orientalis yang demikian.

Karena melihat Islam dengan kaca mata yang adil sekaligus kritis dan modern, pemikirannya menjadi acuan bagi banyak orang yang mendambakan kemajuan agama tersebut. Salah seorang pengagumnya adalah Hasan al-Banna. Pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin itu senang menghadiri majelis-majelis yang diselenggarakan Farid Wajdi.

Presiden pertama RI, Sukarno, diketahui sering mengutip pandangan-pandangan Farid Wajdi.

Presiden pertama RI, Sukarno, diketahui sering mengutip pandangan-pandangan Farid Wajdi di pelbagai pidato dan karangannya. Berdasarkan pembacaannya, sang proklamator itu lantas mengajukan gagasan pentingnya kebebasan.

Menurutnya, umat Islam terlebih lagi yang di Indonesia akan berkembang bila menghargai kebebasan semangat, akal, dan pengetahuan. Agar menjadi umat yang berkemajuan, pandangan jumud harus disingkirkan, sembari menggelorakan tiga kebebasan itu.

Pada periode 1933-1952, Farid Wajdi menjadi pemimpin redaksi majalah Nurul Islam yang diterbitkan pihak Universitas al-Azhar. Sama seperti ketika di Prancis, dia mengelola media tersebut sebagai saluran penyebaran paham modernisme Islam. Dia ingin memelihara kemurnian tauhid umat Islam dengan mengingatkan para pembaca agar menjauhi syirik dan khurafat.

Pada saat yang sama, mereka didorong untuk mengikuti perkembangan dunia modern, tanpa harus seturut dengan pandangan hidup materialistis. Ya, ulama kenamaan ini termasuk yang mengecam paham serba-benda itu yang begitu menguasai pola pikir masyarakat Barat, bahkan sampai sekarang.

Saat berusia 73 tahun, Farid Wajdi memeroleh gelar doktor dari Universitas al-Azhar. Satu tahun kemudian, dia berhak menyandang sebutan profesor dari kampus yang sama.

Ketika Rasulullah Shalatkan Jenazah Tokoh Munafik

Rasulullah SAW menshalatkan jenazah Abdullah bin Ubay, pentolan kaum munafik.

SELENGKAPNYA

Amalan Tukang Sepatu, Kalahkan Ratusan Ribu Jamaah Haji

Tukang sepatu ini belum pernah sekalipun mengunjungi Tanah Suci untuk berhaji.

SELENGKAPNYA

Akibat untuk Orang Munafik

Abdullah bin Ubay mendapatkan akibat dari provokasi yang dilakukannya terhadap Nabi SAW.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya