Kisah
Akibat untuk Orang Munafik
Abdullah bin Ubay mendapatkan akibat dari provokasi yang dilakukannya terhadap Nabi SAW.
“Musuh dalam selimut.” Kiranya, ungkapan itu tepat untuk menggambarkan karakteristik orang-orang munafik. Pada zaman Nabi Muhammad SAW pun, keberadaan mereka bagaikan duri dalam daging.
Ambil contoh, ketika peristiwa Perang Bani Mushtaliq terjadi pada bulan Syaban. Walaupun tergolong pertempuran kecil, konflik itu menampakkan betapa bahaya muslihat yang diembuskan kaum munafik.
Kejadian bermula ketika Rasulullah SAW memperoleh informasi, Harits bin Abu Dhirar sedang menghimpun pasukan. Tujuan pimpinan Bani Musthaliq itu ialah melancarkan serangan kepada Muslimin di Madinah.
Maka dari itu, Nabi SAW pun segera menugasi seorang sahabat beliau, Buraidah bin al-Husaib, guna mencari kebenaran kabar tersebut. Buraidah langsung menuju sumber “A-1”, yakni Harits bin Abu Dhirar langsung.
Setelah memperoleh cukup informasi, sang sahabat Rasul SAW segera kembali ke Madinah. Dikabarkannya bahwa benar Bani Musthaliq sedang menggalang kekuatan untuk menyerang umat Islam.
Rasulullah SAW pun menghimpun tentara Muslim untuk bersiap-siap jihad. Dalam rombongan ini, turut serta pula orang-orang munafik. Tentu saja, dalam hati mereka tidak murni niat fii sabilillah.
Nabi SAW menugaskan Abu Bakar ash-Shiddiq untuk memimpin lini pasukan Muslim dari kalangan Muhajirin. Adapun kaum Anshar dipimpin Sa’ad bin Ubadah. Berjalanlah rombongan ini hingga sampai ke oasis bernama Muraisi', tidak jauh dari wilayah Bani Mushtaliq.
Berjalanlah rombongan ini hingga sampai ke oasis bernama Muraisi', tidak jauh dari wilayah Bani Mushtaliq.
Sesudah mengumpulkan perbekalan, pasukan Muslim mengepung benteng Bani Mushtaliq. Pihak-pihak anti-Islam yang tadinya datang hendak memberikan pertolongan langsung melarikan diri. Dari Bani Mushtaliq, sebanyak 10 orang terbunuh, sedangkan dari pihak Muslimin hanya seorang yang jadi korban.
Setelah terjadi saling serang dengan panah, tak ada jalan lain bagi Bani Mushtaliq kecuali menyerah. Mereka, termasuk kaum wanitanya, dibawa sebagai tawanan perang. Begitu juga dengan harta-harta bergerak milik mereka, yakni kuda-kuda perang, unta, dan binatang ternak yang lain.
Dalam pasukan tersebut, Umar bin Khathab mempunyai orang upahan yang bertugas menuntun kudanya. Selesai pertempuran, orang ini berselisih dengan seorang dari kalangan Anshar—tepatnya Bani Khazraj—ihwal perkara air. Bahkan, keduanya saling berkelahi karena tak ada yang mau mengalah.
Orang Khazraj itu berkata, "Saudara-saudara Anshar, bantulah aku!" Adapun si orang sewaan Umar berkata pula, "Saudara-saudara Muhajirin, tolonglah aku!"
Abdullah bin Ubay menyambut gembira adanya keributan antara orang Anshar dan Muhajirin itu.
Bagaikan tikus yang melihat keju, seorang tokoh kaum munafik, Abdullah bin Ubay, menyambut gembira adanya keributan antara orang Anshar dan Muhajirin itu.
Dengan lihai, ia memprovokasi dan mengadu-domba antara dua kubu yang terlibat perkelahian. Bahkan, dirinya sampai menuduh Rasulullah SAW sebagai penyebab “kesengsaraan” kaum Anshar dan, karena itu, wajib dibunuh.
Berita ihwal kejadian ini sampai kepada Rasulullah SAW, yang ketika itu baru selesai menghadapi musuh. Umar yang sedari tadi menunggu orang upahannya menjadi naik pitam. "Ya Rasulullah, perintahkan kepada Bilal supaya membunuhnya (Abdullah bin Ubay)," kata al-Faruq.
Rasulullah SAW menunjukkan keteladanan. Beliau tetap tenang dan berkata, “Wahai Umar, bagaimana kalau sampai menjadi pembicaraan orang dan mereka mengatakan bahwa Muhammad membunuh sahabatnya sendiri?"
Ucapan beliau itu mengingatkan Umar bahwa, bagaimanapun, Abdullah bin Ubay turut serta dalam ekspedisi ke wilayah Bani Mushtaliq ini bersama pasukan Muslimin. Maka, orang-orang Arab luar Madinah akan mengambil kesan bahwa Nabi SAW “tega” menghabisi nyawa sesama pasukannya.
Pada saat yang sama, Rasulullah SAW mengambil langkah tegas sehingga masalah tidak berlarut-larut. Oleh sebab itu, beliau memerintahkan agar kaum Muslimin segera meninggalkan tempat tersebut. Maka meredalah keributan yang tadi terjadi.
Abdullah bin Ubay juga mendengar berita yang disampaikan orang kepada Nabi. Ia segera menemui Rasul SAW, hendak membantah adanya kabar sahih bahwa dirinya berkata provokatif. Bahkan, dengan serampangan ia bersumpah atas nama Tuhan untuk menyelamatkan mukanya.
Dengan serampangan ia bersumpah atas nama Tuhan untuk menyelamatkan mukanya.
Perkataan Ibnu Ubay tidak berarti apa-apa bagi keputusan Rasul SAW. Akhirnya, rombongan Muslimin kembali ke Madinah dengan membawa rampasan perang dan orang-orang tawanan Bani Mushtaliq. Salah seorang tawanan ialah putri Harits bin Abu Dhirar yang bernama Juwairiyah.
Sesampainya di Madinah, Ibnu Ubay terus gelisah. Bukannya bertobat, ia justru memanas-manasi Muslimin untuk terus ingat peristiwa di Muraisi'. Tidak lama kemudian, turunlah wahyu kepada Rasulullah SAW, yakni Alquran surah al-Munaafiquun ayat ketujuh dan delapan.
“Mereka yang berkata (kepada orang-orang Anshar), ‘Janganlah kamu bersedekah kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah sampai mereka bubar (meninggalkan Rasulullah).’ Padahal milik Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami. Mereka berkata, ‘Sungguh, jika kita kembali ke Madinah (kembali dari perang Bani Mushtaliq), pastilah orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari sana.’ Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui.”
Kaum Muslimin mengira, dengan turunnya ayat-ayat itu maka Abdullah bin Ubay akan dijatuhi hukuman mati. Mendengar rumor publik demikian, putra tokoh munafik itu mengambil sikap tegas.
Berbeda dengan ayahnya, Abdullah merupakan seorang sahabat Nabi SAW yang saleh.
Berbeda dengan ayahnya, Abdullah—demikian nama pemuda ini—merupakan seorang sahabat Nabi SAW yang saleh dan taat. Maka, anak Abdullah bin Ubay itu meminta izin bertemu dengan Rasulullah SAW.
Di hadapan beliau, berkatalah ia, “Ya Rasulullah, saya mendengar Tuan ingin supaya Abdullah bin Ubay dibunuh. Kalau memang begitu, tugaskanlah pekerjaan itu kepada saya. Akan saya bawakan kepalanya kepada Tuan. Saya khawatir Tuan akan menyerahkan tugas ini kepada orang lain. Kalau sampai orang lain itu yang membunuhnya, maka saya takkan dapat menahan diri, membiarkan orang yang membunuh ayah saya itu berjalan bebas. Jika demikian (membalaskan dendam), tentu saya akan masuk neraka.”
Kemudian, Nabi SAW menjawab, “Kita tidak akan membunuhnya. Bahkan, kita harus berlaku baik kepadanya, harus menemaninya baik-baik selama ia masih bersama dengan kita."
Nyatalah bahwa Rasul SAW memilih pemaafan. Sikap beliau itu mengundang respek besar.
Nyatalah bahwa Rasul SAW memilih pemaafan. Sikap beliau itu mengundang respek besar bahkan dari kabilah tempat Abdullah bin Ubay berasal. Sebaliknya, tokoh munafik itu semakin panas hati walaupun kian tak berkutik pula.
Sejak itu, apabila Ibnu Ubay hendak bermain api, kaumnya sendiri yang akan menegurnya. Sebagian mereka bahkan menyatakan, sisa hidupnya itu adalah karena sifat pemurah Rasulullah SAW.
Dalih Infak Eks Rektor Unila untuk Membantah Dakwaan Suap
Karomani juga meminta JPU KPK mengembalikan asetnya yang disita.
SELENGKAPNYAMenyiapkan Kematian
Hakikat hidup sebenarnya tidak ada lain kecuali menyiapkan kematian.
SELENGKAPNYARumus Bahagia
Menurut Alquran, ada enam rumus komunikasi spiritual yang membuat hidup bahagia.
SELENGKAPNYA