ILUSTRASI Nabi SAW pernah menshalatkan jenazah tokoh kaum munafik. | DOK WIKIPEDIA

Kisah

Ketika Rasulullah Shalatkan Jenazah Tokoh Munafik

Rasulullah SAW menshalatkan jenazah Abdullah bin Ubay, pentolan kaum munafik.

Nabi Muhammad SAW pernah memsholatkan mayat seorang pentolan kaum munafik yang bernama Abdullah bin Ubay bin Salul. Mengetahui niatan Rasulullah SAW melakukan hal itu, para sahabat sempat terkejut.

Mereka tidak menyangka bahwa tokoh “musuh dalam selimut” Muslimin itu akan memperoleh perlakuan demikian dari al-Musthafa.

Seperti diceritakan KH Zainul Mu’in Husni dalam tulisannya di Tanwirul Afkar, sosok Abdullah bin Ubay memiliki rekam jejak yang buruk. Begitu banyak dosa yang dilakukannya menimbulkan keresahan di tengah umat Islam. Bahkan, tidak sedikit kelakuannya yang menyasar pribadi Rasulullah SAW.

Bukan sekali-dua kali dirinya berujar kebencian mengenai Rasul SAW. Pernah ia berkata kepada Nabi SAW dengan nada kebencian, “Gemukkan anjingmu, biar nanti dia memakanmu!” Salah satu perilakunya memecah belah persatuan Muslimin tampak jelas dalam peristiwa Perang Bani Mushtaliq.

Kala itu, Abdullah bin Ubay memanas-manasi perselisihan antara seorang Anshar dan Muhajirin. Kejadian itu direkam dalam Alquran surah al-Munaafiquun ayat ketujuh dan delapan.

Mereka yang berkata (kepada orang-orang Anshar), ‘Janganlah kamu bersedekah kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah sampai mereka bubar (meninggalkan Rasulullah).’ Padahal milik Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami. Mereka berkata, ‘Sungguh, jika kita kembali ke Madinah (kembali dari perang Bani Mushtaliq), pastilah orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari sana.’ Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui.”

Banyaknya perangai buruk si mendiang membuat para sahabat bertanya-tanya, mengapa Nabi SAW bersedia menjadi imam shalat jenazah Abdullah bin Ubay?

Banyaknya perangai buruk si mendiang membuat para sahabat bertanya-tanya, mengapa Nabi SAW bersedia menjadi imam shalat jenazah Abdullah bin Ubay? Malahan, beliau sempat hadir di rumah duka kala detik-detik menjelang tokoh munafik tersebut menghembuskan nafas terakhir.

Dalam riwayat Imam Muslim, putra Umar bin Khattab meriwayatkan kisah berikut dari ayahandanya. Tatkala Abdullah bin Ubay dilanda sakaratulmaut, anaknya yang bernama Abdullah datang menghadap Rasulullah SAW. Berbeda dengan bapaknya itu, Abdullah ini merupakan seorang sahabat yang saleh dan taat kepada Nabi SAW.

Maka, kedatangannya kepada beliau didasari perintah agama Islam, yakni bakti seorang anak kepada orang tua. Ternyata, ayahnya itu meminta jubah yang biasa dipakai Rasulullah SAW. Berangkatlah beliau ke rumah Abdullah bin Ubay.

Ya Muhammad, sungguh aku merasakan ajalku tiba. Ingin sekali aku kini memakai jubah yang biasa engkau pakai.

“Ya Muhammad, sungguh aku merasakan ajalku tiba. Ingin sekali aku kini memakai jubah yang biasa engkau pakai…,” pinta pentolan kaum munafik itu.

Di sebelah Nabi SAW, Umar bin Khattab menahan murka. Sambil wajahnya memerah, ia memberi isyarat kepada Rasul SAW agar tidak memberikan jubahnya kepada orang itu.

Namun, Rasulullah SAW menuruti kemauan Abdullah bin Ubay. Maka, ia merasakan sakaratulmaut sembari mengenakan jubah kesayangan Nabi SAW.

“Ya Muhammad, bersediakah engkau menshalatkan jenazahku nanti?” tanya Ibnu Ubay.

“Ya,” jawab Nabi SAW.

“Wahai Rasulullah, engkau akan menshalatkan Abdullah bin Ubay!?” seru Umar, “sungguh, ia pernah berkata begini dan berbuat begitu.”

Umar terus menyebut-nyebut ulah Abdullah bin Ubay semasa hidupnya, tetapi segera dicegah Rasulullah SAW. “Mundurlah, Umar,” sabda beliau.

“Sungguh, andai aku tahu bahwa jika aku beristighfar untuk Abdullah lebih dari 70 kali, maka Allah akan mengampuninya, niscaya akan kulakukan,” jelas beliau lagi.

Maka, matilah Abdullah bin Ubay. Kemudian, Nabi SAW memimpin shalat jenazah untuknya.

Dalam perjalanan pulang, Rasulullah SAW menjelaskan kepada Umar bahwa betatapun jubah kesayangannya dipakaikan untuk si mendiang, itu tidak akan memberi faedah apa pun kepada Abdullah bin Ubay. Kedudukan seorang yang telah meninggal hanya ditentukan oleh ridha atau tidaknya Allah Ta’ala, dengan melihat pada amalan yang bersangkutan selama hidup di dunia.

Kedudukan seorang yang telah meninggal hanya ditentukan oleh ridha atau tidaknya Allah.

Selang beberapa saat kemudian, turunlah wahyu dari Allah SWT. Itu adalah surah at-Taubah ayat ke-84. Artinya: “Dan janganlah engkau (Muhammad) melaksanakan shalat untuk seseorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik), selama-lamanya dan janganlah engkau berdiri (mendoakan) di atas kuburnya. Sesungguhnya mereka ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.”

Ayat di atas membenarkan permintaan Umar agar Rasul SAW tidak menshalatkan jenazah Abdullah bin Ubay.

Tentang turunnya ayat ini, Umar di kemudian hari mengatakan, “Aku pun akhirnya berpikir, kok berani-beraninya aku berkata seperti itu kepada Rasulullah (mencegah Nabi SAW dari menshalatkan orang munafik).”

Terlepas dari kondisi setelah turunnya ayat tersebut, perlakuan Rasulullah SAW kepada Abdullah bin Ubay menunjukkan tingginya akhlak. Beliau lebih memilih untuk melepas kepergian orang yang memusuhinya dengan tenang, bukan mengungkit-ungkit kesalahan masa lalu di hadapannya.

Di Yogya, Air Tercemar Hingga Jauh

Ratusan warga Yogya mengantre periksakan air.

SELENGKAPNYA

Bunuh Empat Anak-Anak, Israel Dikecam

Hamas dan Jihad Islam menjanjikan serangan balasan terhadap Israel.

SELENGKAPNYA

Anies Kritik Subsidi Kendaraan Listrik, Luhut Berang: Temui Saya!

Kebijakan mengenai subsidi kendaraan listrik diklaim sudah melalui studi.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya