
Resonansi
Kapan Kita akan Belajar?
Belajar untuk tidak korupsi.
Oleh ASMA NADIA
Sidang kode etik Polri di Kepolisian Daerah Sumatra Utara memutuskan untuk memecat atau memberhentikan tidak dengan hormat AKBP Achiruddin Hasibuan, yang membiarkan putranya melakukan tindak penganiayaan di depan matanya.
Selain itu, ia dijadikan tersangka pembiaran penganiayaan yang dilakukan anaknya. Penganiayaan yang dilakukan Aditya Hasibuan, anak sang mantan perwira menengah kepolisian, terjadi pada akhir Desember 2022. Namun, penanganannya sempat mandek selama empat bulan.
Kasus kemudian kembali diproses setelah rekaman penganiayaan tersebar di media sosial. Pada video tersebut, terlihat Aditya menandang, memukul, juga meludahi Ken yang sudah terkapar di lantai.
Kasus kemudian kembali diproses setelah rekaman penganiayaan tersebar di media sosial.
Dalam video tersebut, sang ayah terlihat ikut menyaksikan bahkan melarang orang yang hendak menghentikan penganiayaan. Sekalipun diklaim pihak Aditya sebagai duel satu lawan satu, sidang kode etik tidak menganggapnya demikian.
Kapolda Sumut Irjen RZ Panca Putra Simanjuntak memohon maaf atas kejadian ini, “Saya sampaikan permohonan maaf saya kepada ibu dan bapak serta keluarga Ken, terkait perilaku anggota saya yang tidak sepantasnya dan tidak sewajarnya.”
Kasusnya tidak berhenti di sini. Kepala Bidang Humas Polda Sumut Kombes Hadi Wahyudi memberi informasi tambahan, Polda Sumut kini juga mengadakan penyelidikan atas dugaan penimbunan solar bersubsidi di sebuah gudang di dekat rumah Achiruddin.
Humas Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga menginformasikan telah memblokir rekening Achiruddin dan anaknya untuk mendalami dugaan pencucian uang. Ada transaksi puluhan miliar rupiah di sana yang tidak sesuai profil sang anggota Polri.
Pemecatan ini menambah panjang daftar anggota kepolisian yang melanggar kode etik. Sebelumnya, 56 anggota Polri diperiksa terkait tewasnya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat di Kediaman Ferdi Sambo.
Ada transaksi puluhan miliar rupiah di sana yang tidak sesuai profil sang anggota Polri.
Dari jumlah tersebut, 31 personel diduga melanggar kode etik profesi dan lima di antaranya telah dipecat. Belum reda kasus ini, muncul berita lain yang viral di media.
Seorang polisi berpangkat bintara, belum perwira, Aiptu Mustahir menjadi buah bibir setelah sang istri, Yuyun Kamaruddin, memamerkan fotonya di media sosial dengan moge Harley Davidson dan mobil Hummer. Yuyun kerap mengunggah fotonya saat berwisata.
Foto lain juga memperlihatkan pekarangan rumah yang terdapat kolam renang. Setelah menjadi viral, foto-foto flexing yang diunggah di akun Facebook miliknya dihapus. Akibat ulah sang sang istri, sosok Aiptu Mustahir pun menjadi sorotan.
Sang polisi disebut memiliki sejumlah aset dengan jumlah miliaran rupiah, jauh dari penghasilannya di kepolisian yang sesuai pangkatnya berkisar Rp 2.454.000 hingga Rp 4.032.600 per bulan.
Bahkan, berdasarkan pengakuan warga, sang bintara disebut memiliki beberapa ekskavator selain mengoleksi mobil mewah, di antaranya Hummer, Rubicon, CRV, Pajero Sport, Hardtop, Fortuner, Hilux, hingga sedan City.
Terkait hal tersebut, polisi yang bertugas di Satuan Brimob Polda Sulsel itu menyangkal benda-benda mewah yang digunakan berfoto oleh istrinya sebagai miliknya. Pasangannya hanya berfoto di properti atau kendaraan milik orang lain. Terlepas fakta sebenarnya, kejadian ini cukup menimbulkan masalah.
Berbagai berita di atas mengembalikan ingatan kita pada kasus penganiayaan anak pejabat pajak, Mario Dandy Satrio terhadap David, putra pengurus GP Ansor yang terjadi 20 Februari 2023. Tindak kekerasan itu lalu berbuntut panjang.
Nama ayah Mario Dandy, Rafael Alun Trisambodo terseret karena dinilai memiliki harta kekayaan tak wajar dan tidak sesuai jabatannya. Rafael diketahui memiliki harta Rp 56 miliar. KPK memanggil Rafael untuk dimintai keterangan terkait harta kekayaannya yang bernilai fantastis.
Terlalu banyak peristiwa. Terlalu banyak contoh yang seharusnya tidak dipertontonkan. Membuat siapa pun akan bertanya-tanya, kapan kita akan belajar?
Terlalu banyak peristiwa. Terlalu banyak contoh yang seharusnya tidak dipertontonkan. Membuat siapa pun akan bertanya-tanya, kapan kita akan belajar? Jika tidak ada yang belajar, ‘teladan’ seperti apa lagi yang akan dipertunjukkan ke khalayak ramai?
Belajar untuk jujur dan tidak mengambil hak atau penghasilan di luar gaji resmi. Belajar untuk tidak korupsi.
Apalagi, yang terjadi saat ini lebih parah karena koruptor yang seharusnya menutup diri dan menyembunyikan harta tak wajar mereka, justru seperti sibuk memamerkan hasil kejahatannya.
Semoga cukup sampai di sini. Indonesia merindukan viralnya lebih banyak contoh baik.
Semoga ke depan, tak ada lagi oknum aparat yang secara kasatmata berlomba memamerkan kesewenangan atau kekayaan, yang mereka peroleh dari upaya tak halal. Meski ketidakberkahan pada akhirnya, menenggelamkan anak dan keluarga mereka dalam kehancuran.
KH Khalil Bangkalan, Ulama Pejuang dari Madura
KH Khalil Bangkalan memiliki sejumlah murid yang di kemudian hari menjadi ulama-ulama besar.
SELENGKAPNYA