Leuweung Sancang | Daan Yahya/Republika

Sastra

Leuweung Sancang

Cerpen Khairatunnisa’

Oleh KHAIRATUNNISA

Dingin. Itu yang dirasakan Ira sejak membuka matanya. Pagi tadi, Ia mencatat sejarah baru. Sang gadis kota yang biasa bangun ketika matahari telah bertakhta, harus bangun sebelum fajar menyapa.

Cukup terpaksa memang, tetapi ia tak bisa menolak dengan mengoceh atau menarik kembali selimutnya seperti yang ia lakukan pada mamanya di kota, karena sekarang ia tengah berada di rumah kakeknya. 

Sang kakek yang merupakan sesepuh desa sangat religius dan disegani warga kampung Leuweung Sancang karena kharisma beliau. Ira bergidik setiap kali mengingat jika ia pernah dimarahi oleh kakeknya dulu.

Ya dulu sekali, ketika Ira masih kecil dan ketika itu pula ia terakhir pulang kampung. Hingga saat ini, ketika dirinya sudah menyandang gelar sarjana, ia baru bisa mengunjungi rumah kakek dan neneknya.

Kampung Leuweung Sancang terletak di pedalaman Kota Garut. Jarak tempuhnya dari Depok atau Jakarta  menuju rumah Ira memakan banyak waktu. Bukan karena jarak Jakarta-Garut, melainkan karena letaknya yang memang terpencil dan jauh dari keramaian kota.

Usai menunaikan shalat Subuh berjamaah bersama kakek dan nenek di masjid desa, Ira bergegas pulang dengan langkah tergesa. Mentari yang mulai memancarkan cahaya mulai menerangi kampung Leuweung Sancang. 

 
Ira bergidik tiap kali mengingat jika ia pernah dimarahi oleh kakeknya dulu.
 
 

Ketika itu pula Ira baru sadar ternyata ada banyak keindahan yang tersaji di sana. Pohon-pohon yang menjulang tinggi nan hijau, pegunungan yang nampak asri di kejauhan serta lalu lalang warga desa yang memulai aktifitas paginya cukup menarik Ira untuk membidik semuanya dalam jepretan kamera digital kesayangannya.

"Nek.. Ira izin jalan-jalan dulu ya."

"Henteu pergi ka tebih na atuh neng, uih na henteu kalamian ....(jangan pergi terlalu jauh, pulangnya juga jangan kelamaan)."

Ira tak menghiraukan perkataan sang nenek, ia terburu-buru melangkah menuju jalanan desa. Dan lagi, sang nenek lupa jika Ira tidak bisa bahasa Sunda sama sekali. Ira sangat senang dan puas karena banyak yang menarik baginya untuk dipotret yang kemudian akan ia jadikan bahan postingan di blognya. Kakinya mulai melangkah menuju hal-hal yang menarik baginya. Lalu-lalang warga, pegunungan di kejauhan, asap-asap yang mengepul dari dapur warga, dan pepohonan yang rindang nan hijau.

Ira mengernyitkan alis ketika hendak memotret pepohonan rindang dan besar yang berjajar saling berdekatan, ia menangkap sosok laki-laki mengintip dari balik pohon besar. Laki-laki itu tiba-tiba tersenyum pada Ira.

Ia menunjukkan dirinya. Celana jeans keperakan dengan kaus biru pudar dan sepatu Nike yang senada dengan celananya. Sepertinya ia bukan warga sini, caranya berpakaian menjelaskan hal itu. Laki-laki itu memberi isyarat dengan kepalanya agar Ira mengikutinya. 

 
Ira mengernyitkan alis ketika hendak memotret pepohonan rindang dan besar yang berjajar saling berdekatan.
 
 

Tanpa berpikir panjang, Ira mengikuti laki-laki itu. Ira tak menaruh curiga sama sekali hingga ia baru sadar bahwa ia telah dibawa ke dalam hutan yang dipenuhi pohon besar. Laki-laki itu tersenyum pada Ira, seakan berkata tidak apa-apa. Ira percaya saja, ia tetap mengikuti langkah laki-laki tersebut meski mereka kini semakin jauh ke dalam hutan.

Dan, betapa takjubnya ia ketika menemukan keindahan yang terpendam dalam hutan tersebut. Dengan segera Ira memotretnya. Kekayaan flora dan fauna hutan tersebut membuat Ira terpukau tiada henti.

"Fotografer?"

Ira menoleh. Laki-laki tadi tersenyum pada Ira. Ah, senyumannya. Mengapa Ira baru sadar bahwa laki-laki di hadapannya itu sangat menawan.

Ira mengangguk. "Blogger juga," jawabnya. Ia kembali sibuk memotret. Kanan kiri semuanya sayang jika tidak diabadikan. Serangga-serangga hutan yang warna-warni, jejamuran yang merumpun indah, serta bunga-bunga hutan yang baru kali ini Ira melihatnya.

Laki-laki itu duduk di atas akar pohon besar yang mencuat ke atas. Ia tersenyum memperhatikan Ira yang seperti anak kecil baru memegang kamera. Ira menoleh pada laki-laki itu, diam-diam ia memotretnya. Ira tersenyum kecil.

"Dari kota?"

Ira mengangguk, "Kamu?"

"Sama, tapi aku sudah lama tinggal di sini." Ira ber-oh. "Fotografer jugakah?"

Laki-laki itu tersenyum dan mengangguk. "Blogger juga, sama seperti kamu."

"Oh ya?"

Laki-laki itu menunjuk pada sekeliling. "Indah, bukan? Aku senang tinggal di sini." Tinggal? Ira mengerutkan alis, apakah pria ini salah menggunakan kata. "Namaku Ira, nama kamu?"

Pria itu hanya tersenyum. Bukan menyebutkan nama, ia malah mengalihkan pembicaraan. Mereka mengobrol panjang lebar tentang dunia fotografi dan lensa. Obrolan itu terus mengalir tanpa Ira sadari waktu telah bergulir dengan cepat.

"Sebentar lagi terik, kamu harus segera pulang."

Ira menyayangkan hal itu. Padahal, ia masih ingin berlama-lama di sana. Pemandangan yang sangat indah, sayang jika ditinggalkan begitu saja. Bersama pria itu juga pastinya. Ira masih ingin berbincang lebih lama lagi bersama pria itu.

 
Ira menyayangkan hal itu. Padahal, ia masih ingin berlama-lama di sana.
 
 

"Ayo, aku antar."

Akhirnya, Ira pasrah. Di jalan menuju pulang--lebih tepatnya keluar dari hutan, Ira mencoba untuk mengingat jalan agar suatu saat ia bisa kembali ke tempat tadi.

"Jalannya tidak bisa diingat."

Ira tertegun. Apakah tingkahnya sangat ketara?

"Jangan ke tempat itu lagi jika tidak bersamaku."

"Kenapa?"

"Berbahaya, kamu bisa tersesat."

Ira hanya mengangguk. Dalam hatinya ia sedikit senang karena berarti ia bisa bertemu dengan pria ini lagi. Ketika jalanan desa mulai terlihat, langkah kaki Ira mengecil.

"Kamu belum memberi tahu namamu, juga alamat blog-mu."

"Kamu ingin tahu?"

Ira mengangguk, "Gak boleh ya?"

"Aku takut kamu menyesal."

"Kenapa?"

Laki-laki itu menghentikan langkahnya. Ia terdiam sejenak. "Namaku, Jesa. Najesa Pratama."

"Ira..." Suara teriakan neneknya membuat Ira menoleh. Neneknya sempoyongan menghampiri Ira yang masih berdiri di bibir hutan. Ia segera memukul keras punggung Ira. Ira  kaget dan bingung dengan tingkah neneknya itu.

"Ada apa Nek?"

Bukannya menjawab, neneknya malah menyeret tangan Ira. Ia membawa cucunya pulang ke rumah. Di sana, sang kakek telah menunggu di halaman rumah.

"Dari mana saja kamu?" Sang kakek bertanya dengan nada khawatir bercampur marah. "Besok langsung pulang ke Jakarta, kakek yang akan mengantarkanmu."

Ira masih diam kebingungan. Sebenarnya, apa yang terjadi hingga ia harus pulang ke Jakarta secepatnya. Apakah Ira melakukan kesalahan? Apakah terjadi sesuatu dengan mama atau papanya? Apa yang sedang terjadi. Ira benar-benar tidak mengerti.

 
Ira masih diam kebingungan. Sebenarnya, apa yang terjadi hingga ia harus pulang ke Jakarta secepatnya.
 
 

Ketika masuk ke dalam rumah, kakeknya menyodorkan segelas air yang telah ia bacakan sesuatu kemudian meniupnya. "Minum ini."

Ira mengambil dan meminumnya tanpa banyak bertanya. Meski sebenarnya, pikiran Ira masih dipenuhi dengan tanda tanya.

"Kakek akan menceritakannya setelah kamu tidak di sini." Sepertinya kakek paham dengan apa yang dipikirkan Ira.

Benar saja, keesokan harinya ketika pagi masih membiru dan embun hinggap di daun layu, Ira telah diantar oleh sang kakek menuju pertigaan Cigodeg. Dari sana, ia akan naik bus menuju Jakarta. Sebenarnya, pikiran Ira masih dipenuhi tanda tanya. Namun, entah mengapa ia hanya diam dan patuh pada semua perintah kakek dan neneknya.

Di jalan, ia teringat pada pria yang  bersamanya di hutan kemarin. Tunggu, mengapa ia lupa nama pria itu. Padahal, dengan jelas kemarin ia mendengarnya. Na.. Ira memutar otaknya dengan keras. Namun.. Na.. Na siapa?. Ia benar-benar lupa. Ah sudahlah, hal itu tak begitu penting sekarang. Yang terpenting adalah mengapa dia harus pulang secepat ini? Bukankah ia baru tiba kemarin lusa?

 
Di jalan, ia teringat pada pria yang bersamanya di hutan kemarin.
 
 

Setibanya di Jakarta, Ira kaget karena mama dan papanya yang langsung menjemput. Bukan Pak Rahman, sopir pribadinya. Ira bertambah kaget ketika mamanya memeluk Ira dengan erat.

"Kamu gak papa sayang?"

Ira yang kebingungan hanya menggeleng. Ia ingin bersuara, "Memangnya ada apa dengan aku?" Namun, letih menguasai dirinya. Setibanya dirumah, Sang Mama masih terus mendekapnya.  Ia diperintahkan untuk langsung istirahat.

"Ma, ada apa sebenarnya? Memangnya Ira kenapa? Ira gak kenapa-kenapa kan, kenapa Ira tiba-tiba disuruh pulang? Ada apa sebenarnya?" Pertanyaan itu hanya berputar di otak Ira. Entah kenapa ia tidak bisa menyuarakan semua itu.

Ira menghirup napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Teka-teki apa yang tengah bermain dengannya. Usai menyirami diri dan menenangkan pikiran, Ira mengambil kamera ungunya. Seketika itu pula ia mengingat nama pria yang bersamanya di hutan kemarin. Dengan cepat ia meraih laptop dan langsung mencari blog atas nama Najesa Pratama.

"Ini dia." Ira tersenyum girang ketika ia menemukan apa yang ia cari. Sesuai dugaan, blog tersebut dipenuhi dengan hasil foto seorang Najesa serta beberapa artikel. Di sana juga terpampang foto pria tampan itu tersenyum di bawah air terjun yang entah di belahan Indonesia bagian mana. Ira mencari postingan terbaru pada blog itu, tetapi anehnya postingan terakhir hanya pada tanggal 13 Agustus 2017, tiga tahun yang lalu. 

Ira mengernyitkan alis, apakah Najesa mempunyai blog baru atau dia telah berhenti dari profesinya sebagai blogger? Ira tertegun sejenak, ia melirik beberapa artikel yang muncul di line iklan.

Ketika ia menemukan artikel tentang hutan Leuweung Sancang, entah mengapa ia sangat tertarik untuk membacanya. Padahal, judul artikelnya tidak mengenakkan dan sudah tiga tahun yang lalu. Namun, artikel itu berada di high line blog Jesa.

"Lagi, Sebuah Mayat Ditemukan di Hutan Leuweung Sancang, Garut" begitulah judul artikel itu. Karena merasa penasaran, ia membacanya. Dan, seketika bola matanya membulat ketika ia menemukan nama yang baru saja ia ingat. Najesa Pratama.

"Mayat tersebut telah dievakuasi oleh pihak berwenang dan identitasnya telah diketahui. Mayat yang sudah berumur satu minggu tersebut ternyata adalah mayat dari seorang fotografer ternama kota Garut, yakni Najesa Pratama. Pihak keluarga..."

Wajah Ira pucat pasi. Tubuhnya tiba-tiba lemas, pikirannya seakan bertambah kacau ketika melihat foto terakhir dari mayat tersebut. Bercelana jeans silver, kaus biru pudar dengan sepatu Nike yang senada dengan celananya. Ira masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Tangannya yang gemetar perlahan membuka kamera dan menggeser potret demi potret yang ada di sana.

 
Tangannya yang gemetar perlahan membuka kamera dan menggeser potret demi potret yang ada di sana.
 
 

Dan ketika ia tiba pada potret di mana ia memotret sosok Najesa, Najesa yang jelas-jelas ia potret menghilang dari foto tersebut. Ira mengingatnya dengan jelas bahwa itu adalah foto di mana ia memotret sosok Najesa. Akar pohon itu tiba-tiba hampa, padahal kenyataannya ada sosok Najesa yang duduk di sana.

Tangan Ira lemas, kameranya terjatuh begitu saja. Ia hendak mencari air. Sayangnya, ia harus berjalan ke dapur. Perlahan, dengan langkah yang benar-benar lemas dan dipaksakan, Ira berjalan menuju dapur. Dengan gemetar, ia meneguk segelas air yang tak bisa ia isi dengan penuh karena getaran tubuhnya.

Telepon genggamnya tiba-tiba berdering. Ada panggilan dari kakeknya.

"Apa kamu sudah bisa mendengar cerita yang sebenarnya?" lirih sang kakek dari seberang sana.

"I-iya kek," Ira berusaha agar kondisinya yang tengah gemetar hebat tak diketahui oleh kakeknya di seberang sana.

"Pria yang bersamamu tadi," Kakek Ira menarik napas, "bukan manusia."

Ctarrr....

Gelas dan HP di tangan Ira jatuh dan pecah seiring munculnya tangan pucat pasi yang menepuk pundaknya.

Khairatunnisa’ lahir di Sumenep pada 12 Juli 2000. Ia saat ini menempuh pendidikan di Institut Agama Islam Negeri Madura.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Menara Api

Puisi Aris Setiyanto

SELENGKAPNYA

KH Khalil Bangkalan, Ulama Pejuang dari Madura

KH Khalil Bangkalan memiliki sejumlah murid yang di kemudian hari menjadi ulama-ulama besar.

SELENGKAPNYA

Serba-serbi Membeli Makanan Bayi 

Makanan bayi halal paling sering tidak mengandung bahan pengawet.

SELENGKAPNYA