Menara Api | Daan Yahya/Republika

Sastra

Menara Api

Puisi Aris Setiyanto

Oleh ARIS SETIYANTO

Berjalan Kaki ke Rumah

sebentar-sebentar,
kau memintaku untuk memotret
sekarang kita sedang berjalan
dari jantung kota
menuju Ling Hok Bio
kau ingin aku memotret lampion juga?
papan nama jalan,
papan nama kota
aku tidak dapat lagi menjalani hidupku
inilah saat yang tepat
untuk berjalan kaki ke rumah.

***

Halo

seharusnya aku melepas mentelku
lihatlah, orang-orang bertelanjang tubuh
ke tempat ini
kita terus naik dan turun
di bangunan ini
seperti tak dapat menemukan
lukisan untuk dibawa pulang.

*** 

Menara Api

kau berjalan begitu jauh
dari dukuh, menara api
tak kunjung menjadi tinggi
aku ingin menyibak hujan abu
sehingga gunung api
lekas mewujudkan diri.

***

Musawal

Musawal tiba lebih cepat
dari pada empat video call tak terjawab
dengan angkutan kota
pada dukuh ini
'apakah kau akan mengambilnya hari ini?'
suatu pagi, ayahku pernah menyembahkan
tongkat-tongkat bambu itu
kepada punggung kesepian
namun kau tak pernah datang
di kehidupan yang kedua.

***

Hari Terakhir Sebelum Puasa

dua kilo semen
dan kepala yang menimang kesakitan
kau masih ingin aku mendorong juga,
pakerjaan berebut dan menata
pada hari terakhir sebelum puasa ini,
aku terbaring di neraka.

***

Muazin

suatu hari,
akan datang seorang muazin
kepada hatimu
ia akan mengangkatmu dari tidur siang
dan membasuh tubuhmu
serupa wudhu.

***

Sepasang Sepatu

perkenankan aku menjadi sepasang sepatu,
aku ingin menjadi
yang selalu kau hargai
lebih dari orang-orang yang kau bawa

di kursi penumpang,
seluruh dosa tertuju

perkenankan aku menjadi sepasang sepatu,
aku ingin terus berjalan
bersamamu.

***

Cuti Bersama

pulang tadarusan,
kau bersembahyang di kakiku
kau minta aku selamatkan
dari kesepian
lantaran kekosongan,
hari-hari yang hampa
tanpa pelanggan
aku mungkin membawamu ke rawa
kita akan mendayung perahu
namun, bagaimana dengan aku?
yang selama ini.

***

Pemandangan Klise

saat hilal berangsur mekar,
banyak kepala yang muncul ke altar mesigit
dan kau tak pernah menemukannya
selama ini, mereka
tinggal di dalam keabadian
meneladan hati mereka sendiri
mereka tak akan segera pulang
melaksanakan tadarusan
dan sedikit mengobrol hingga larut usia.

***

Makan Malam

sepasang mata
menatap nanar
seporsi seblak,
jatah makan

telahkah ibu dan adik perempuannya makan?

dua malam ini,
ia lebih banyak memikirkan rumah
ketimbang nasibnya sendiri
nasab orang malang.

***

Reklame

resah hati?
basuhi hatimu dengan wudhu
menjelangi lantunan terindah
berapa lamakah kaki-kaki itu tak menjejak di rumah-Nya?
menyembahkan diri di atas sujud

resah hati?
raih kitab yang usang itu
berselimutkan debu-debu
yang bemuatan dunia
dan jawaban atas hati
yang melompong adanya.

***

Rutinitas Pagi Hari

sementara ibu menjaga nyala api
aku mulai terjaga kemudian berdiang
setelah malam menjatuhkan dirinya
pagi selalu sedingin hati
selepas ini, musti merasuki kamar mandi
membasuh diri agar kiranya tak aniaya
kata-kata adalah pukulan paling menyakitkan

sementara ayah dan ibu berangkat ke ladang
aku ke sekolah, berjalan kaki
angkot dan ojek begitu mewah bagi kaki-kakiku yang acap bengkak
menanggung jarak setengah air mata
meski demikian,
lebih baik untuk membayar uang bulanan
buku-buku yang terus diberikan
minggu depan tak perlu turut liburan
lebih baik membantu ibu di ladang.

***

Surat Penolakan

buat : Tri Lestari

Tar, aku berhenti menulis puisi
kata-kata yang lahir dari hatiku
mereka tukar dengan surat penolakan
dan olok-olok perihal ketidakmampuan
kini aku berbaring di atas surat-surat itu
kekosongan begitu lancang
kesepian melindas hatiku

Tar, setelah kau pun mengelak atas cintaku
usah kau datang malam ini
agar tak saksikan kematian
aku telah kehilangan kepalaku
dasar gedung telah meleburkannya
aku tak pernah jatuh begitu dalam
selain mencintaimu selama ini.

***

Sesuatu yang Telah Diajarkan Punggung

saat aku berkata aku tak di rumah
aku di rumah
menyembunyikan tubuh dan kepalaku
dari amuk musim
juga mulut-mulut yang sepakat memenjarakan
kedamaian kecil dalam hatiku
sesuatu yang telah diajarkan punggung
waktu mengubah apa pun
tapi tak demikian dengan dendam
ia telah jadi berada
aku masih di sini saja, di jalanan
aku hanya debu di depan matanya yang benderang
kau tak akan paham arti persahabatan
sampai kau meminjamkan uang
kemudian ditinggal dan dilupakan. 

Aris Setiyanto, menulis puisi. Tinggal di Temanggung, Jawa Tengah.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Biografi Syekh Abdul Qadir al-Jailani

Syekh Abdul Qadir al-Jailani masyhur sebagai pelopor sufisme thariqati.

SELENGKAPNYA

Leuweung Sancang

Cerpen Khairatunnisa’

SELENGKAPNYA

KH Khalil Bangkalan, Ulama Pejuang dari Madura

KH Khalil Bangkalan memiliki sejumlah murid yang di kemudian hari menjadi ulama-ulama besar.

SELENGKAPNYA