
Mujadid
Sang Pahlawan Muslim Aljazair
Abdul Qadir bin Muhyiddin al-Hasani adalah pahlawan Aljazair yang disegani kawan maupun lawan.
Pada masa kolonialisme Barat, yang merentang antara abad ke-18 hingga 20 Masehi, berbagai perjuangan bersemi di negeri-negeri Muslim. Khususnya di Afrika Utara, terdapat heroisme tokoh-tokoh Islam yang berjihad melawan penjajahan Prancis.
Salah seorang di antara mereka adalah Abdul Qadir bin Muhyiddin al-Hasani alias Abd el-Kader ibn Muhieddine. Reputasinya menginspirasi banyak bangsa. Bukan hanya sesama Muslim, orang-orang humanis di Amerika dan Eropa pun mengaguminya.
Terbukti, beberapa daerah di sana diberi nama sesuai penghormatan bagi sang pejuang. Misalnya, sebuah kota di negara bagian Iowa, Amerika Serikat (AS), yakni Elkader. Bahkan, inilah satu-satunya kota di Negeri Paman Sam yang namanya mengambil dari nama seorang Arab.
Salah seorang di antara mereka adalah Abdul Qadir bin Muhyiddin al-Hasani alias Abd el-Kader ibn Muhieddine. Reputasinya menginspirasi banyak bangsa.
Sang alim berjulukan “Elang Padang Pasir” ini juga dikenang sebagai seorang sufi. Memang, perjuangan melawan penjajah di Afrika Utara, termasuk Aljazair, kerap diwarnai kiprah gerakan-gerakan tasawuf lokal.
Di Aljazair, Prancis mulai merangsek terutama sejak 1830-an. Paris dapat melumpuhkan pertahanan Turki Utsmaniyah, sebagai daulah Muslim yang mulanya menguasai wilayah Afrika Utara itu. Sehingga, berakhirlah masa 313 tahun kekuasaan kekhalifahan Islam tersebut di sana.
Sejak itu, suku-suku Muslim setempat terus membendung serangan penjajah meskipun beberapa kabilah suku berber di antaranya justru bergabung dengan pihak musuh sebagai tentara sewaan.
Di antara kelompok-kelompok pejuang itu ialah para pengikut Tarekat Qadiriyah. Mereka sesungguhnya berasal dari banyak suku, termasuk Bani Hasyim. Kelompok inilah yang kemudian dipimpin Muhyiddin (Muhieddine) al-Hasani.
Pada 22 November 1832, balatentara Prancis menduduki Wahran, sekitar 400 kilometer arah barat Aljir. Para tokoh Bani Hasyim meminta Muhyiddin al-Hasani yang saat itu sudah berumur 75 tahun untuk mengomandoi serangan gerilya.
Begitu malam datang, al-Hasani mengalami mimpi berjumpa dengan Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Dalam mimpinya, pendiri Tarekat Qadiriyah itu mengimbau dirinya untuk menyerahkan kepemimpinan kepada putranya, Abdul Qadir.
Keesokan harinya, putra kedua al-Hasani itu diangkat menjadi amirul mukminin untuk memimpin orang-orang Tarekat Qadiriyah dan Muslimin setempat. Waktu itu, Abdul Qadir masih berusia 24 tahun.
Perawakannya sedang, tidak pendek dan juga tidak terlalu tinggi. Orang-orang memujinya bukan hanya lantaran dirinya anak seorang mursyid tarekat, tetapi juga kecerdasan dan ketampanannya.
Di medan pertempuran, pemuda kelahiran Guittena (kini termasuk Provinsi Mu’askar, Aljazair) itu selalu tampil luwes dan tangguh. Mengikuti jejak ayahnya, ia pun sangat religius, terdidik, serta fasih berpidato.
Untuk sementara waktu, pasukan yang dipimpin Abdul Qadir dapat menahan militer Prancis. Putra Muhyiddin al-Hasani itu kemudian mengonsolidasi bukan hanya pasukannya, melainkan juga suku-suku pribumi di Mu’askar dan sekitarnya. Awalnya, kepemimpinannya sempat dicemooh beberapa kabilah non-jamaah Qadiriyah. Bahkan, ada yang menjulukinya “si pemimpin kerdil yang ambisius".
Namun, dengan penuh kesabaran dan mengerahkan seluruh kemampuan diplomasinya Abdul Qadir akhirnya dapat meyakinkan mereka untuk turut serta dalam barisan perjuangan. Hanya satu tahun sejak baiat pada 1832, ia pun berhasil mendirikan sebuah negara baru di Aljazair barat dengan dukungan para pengikutnya.
Hanya satu tahun sejak baiat pada 1832, ia pun berhasil mendirikan sebuah negara baru di Aljazair barat dengan dukungan para pengikutnya.
Mulai saat itu, titel amir (bahasa Prancis: emir) atau ‘kepala negara’ melekat pada namanya. Bagaimanapun, kondisi politik Aljazair pada waktu itu masih kacau-balau.
Seusai Prancis mengusir Hussein Dey yang merupakan gubernur terakhir Aljazair-Utsmaniyah ke Naples pada 1830, rakyat setempat terpecah-belah. Banyak kelompok lokal masing-masing mengeklaim sebagai penguasa baru.
Berdaya pemersatu
Menghadapi keadaan demikian, Amir Abdul Qadir terus berupaya mempersatukan mereka. Setelah berhasil di Mu’askar, ia pun menjalankan politik diplomasi dengan berbagai wilayah lain, termasuk Mostaghanem.
Khusus untuk kota tersebut, surat dikirimkannya kepada Qaid Ibrahim, seorang bekas pejabat Utsmaniyah yang mengangkat dirinya sendiri sebagai gubernur setempat. Dalam suratnya, ia mengingatkan lawan politiknya itu untuk mengutamakan persatuan di atas perbedaan dalam melawan musuh bersama: Prancis.
Hendaknya kita semua menyatukan kekuatan untuk melawan musuh.
“Mari kita orang-orang Arab, Turki, Kouloughlis (campuran Turki dan pribumi Afrika Utara), serta Moor (berber) hidup sebagai saudara, sama-sama menyembah Tuhan Yang Esa. Hendaknya kita semua menyatukan kekuatan untuk melawan musuh,” demikian tulis Abdul Qadir, seperti dikutip dalam buku A History of Algeria karya James McDougall (2017).
Aliansi dengan Qaid Ibrahim dipandangnya sangat penting karena sekaligus menyudahi pertikaian yang terjadi di masa silam. Para pendukung bekas pejabat Utsmaniyah itu, hemat dia, kini perlu dirangkul.
Abdul Qadir mengakui, mereka memiliki sistem administrasi yang jauh lebih baik daripada miliknya. Begitu pula dengan tata kelola keuangan dan jaringan diplomasi luar negeri.
Di atas itu semua, seperti yang ditegaskannya dalam surat untuk Qaid Ibrahim, seluruh elemen Aljazair harus bersatu padu demi mengusir kolonialisme Prancis.
Melawan penjajah
Akhirnya, Qaid Ibrahim berhasil diyakinkan. Persatuan yang diperlukan pun terwujud. Bahkan, pada Februari 1834 Prancis mengakui secara de facto kedaulatan negara yang dibentuk Abdul Qadir di Aljazair barat. Kedua belah pihak kemudian menyepakati perjanjian damai setelah Pertempuran Macta yang dimenangkan pasukan gerilya Aljazair pada 28 Juni 1835.
Hasil dari kesepakatan itu, Prancis membuka konsulatnya di Mu’askar. Sebaliknya, Abdul Qadir pun diizinkan untuk mendirikan perwakilan di kota-kota pendudukan Prancis, seperti Oran dan Arzew.
Namun, hingga dua tahun berikutnya letupan-letupan konflik terus terjadi antara Prancis dan Aljazair. Perjanjian Tafna lantas ditandatangani, tetapi klausul-klausulnya cenderung begitu ketat dalam mengatur arus masuk-keluar antarwilayah kedua belah pihak.
Saat itu, Prancis sebenarnya cukup terdesak. Sebab, nyaris dua per tiga wilayah bekas provinsi Turki Utsmaniyah itu sudah dikuasai Abdul Qadir.
Sementara itu, arus emigrasi dari Prancis ke Aljazair terus melonjak. Hingga akhir 1830-an, Aljir dihuni sekitar 14 ribu orang Eropa, 12 ribu Muslim, dan enam ribu orang Yahudi. Artinya, perluasan wilayah menjadi pilihan utama bagi si penjajah.
Apalagi, ambisi Prancis untuk menjadikan negeri tersebut sebagai koloni produktifnya masih saja membara. Maka dari itu, pada Oktober 1839 Paris memerintahkan gubernur jenderal Valee untuk memulai ekspansi militer demi merebut seluruh Aljazair.
Dalam korespondensinya, Abdul Qadir mempertanyakan komitmen Prancis terhadap perdamaian, seperti terpatri dalam Perjanjian Tafna.
Abdul Qadir tidak langsung menyerukan perang total, tetapi terlebih dahulu menulis surat kepada raja Prancis. Dalam korespondensinya, pemimpin Muslim tersebut mempertanyakan komitmen Prancis terhadap perdamaian, seperti terpatri dalam Perjanjian Tafna. Ia juga menegaskan, tidak akan ragu menumpas setiap pasukan penjajah.
Ada nuansa keyakinan penuh dari Abdul Qadir dalam suratnya itu. Yang luput dari perhatiannya adalah, Prancis sesungguhnya telah berhasrat besar untuk menjajah sebagian (besar) Benua Afrika dan Timur Tengah.
Berbagai persiapan pun telah dilakukan, termasuk dalam soal persenjataan modern dan strategi. Kolonisasi atas Aljazair “hanyalah” satu fase dari rencana besar tersebut.
Valee ternyata gagal mengalahkan pasukan gerilya yang dipimpin Abdul Qadir. Pada 1840, posisinya digantikan oleh Thomas-Robert Bugeaud. Inilah mulainya puncak kolonialisme Prancis atas Aljazair.
Setelah tiga tahun berjuang, Abdul Qadir dan pasukannya kian tersudut sehingga terpaksa meminta perlindungan kepada negara tetangga, Maroko. Sultan Maroko Abdurrahman kemudian memaklumkan perang terhadap Prancis sebagai suatu langkah politis demi menggaet popularitas di tengah komunitas Muslim.
Namun, pada 14 Agustus 1844 kapal perang bangsa Eropa itu dapat memborbardir Pelabuhan ash-Shawirah dan Tangier di Maroko barat. Sultan Abdurrahman pun mengibarkan bendera putih.
Hingga 1847, hubungan antara Abdul Qadir dan penguasa Maroko itu kian memburuk. Bahkan, Prancis kemudian menyaksikan perang saudara antarkedua kubu yang sama-sama Muslimin itu. Pertempuran berpusat di Rif, Maroko utara. Bagi Abdurrahman, keberadaan pendukung Abdul Qadir di sana seolah-olah menjadikan adanya “negara dalam negara.”
Karena semakin terdesak, Abdul Qadir pun menyingkir dari daerah tersebut dengan menyeberangi Sungai Muluwiyya.
Namun, di ujung sungai itu ternyata pasukan Prancis telah menunggunya. Komandan Aljazair itu menyadari kondisinya kini sudah terkepung total.
Dirinya menolak opsi perang mati-matian yang ditawarkan beberapa penasihatnya. Maka pada 20 Desember 1847, atas inisiatif sendiri Abdul Qadir bersurat kepada Jenderal Louis Juchault de Lamoricière.
Ia menyatakan siap menyerah dengan syarat jaminan keamanan untuk anak-anak, perempuan, kalangan budak, serta harta benda milik kaumnya.
Dalam suratnya itu, ia juga menegaskan hanya mau diasingkan ke Iskandariah (Mesir) atau Acre (Palestina), bukan tempat lain. De Lamoricière berjanji memenuhi semua permintaan itu.
Jaksa Tuntut Teddy Minahasa Hukuman Mati
JPU menilai Teddy terbukti melanggar Pasal 114 Undang-Undang No 35 Tahun 2009
SELENGKAPNYAPahlawan Muslim di Pembebasan Kota Tutsar
Majzaah dikenang sebagai salah seorang pahlawan Muslim dalam penaklukan Persia.
SELENGKAPNYAAbu Hurairah, Sang Penghafal Ribuan Hadis
Abu Hurairah menjadi sahabat Nabi Muhammad SAW yang menghafal banyak hadis.
SELENGKAPNYA