
Nasional
Tes Calistung Buat Anak Bisa Baca, Bukan Gemar Baca
Orang tua menyambut baik penghapusan tes calistung untuk masuk SD.
JAKARTA – Keputusan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menghapus tes baca, tulis, hitung (calistung) untuk masuk jenjang sekolah dasar (SD) direspons positif beberapa pihak. Langkah itu dinilai menyudahi ‘salah kaprah’ selama ini yang mengharuskan anak bisa calistung di usia dini.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melihat tes calistung untuk masuk ke jenjang SD selama ini telah mendorong guru-guru PAUD mengajarkan calistung yang melampaui batas, yang seharusnya diajarkan pada anak usia empat hingga enam tahun. Hal itu memang membuat anak bisa membaca di usia dini, tapi tidak gemar atau cinta membaca untuk ke depannya.
“Sehingga banyak anak saat ini bisa membaca di usia dini, tapi bukan gemar atau cinta membaca untuk ke depannya. Hal yang dipaksakan sebelum waktunya juga berpotensi kuat membebani mental anak-anak yang harusnya baru mengenal huruf dan angka serta berhitung ringan dengan menggunakan benda-benda yang dikenal anak,” ujar Sekretaris Jenderal FSGI, Heru Purnomo, dalam keterangannya, Kamis (30/3).

Menurut Heru, alasan itulah yang membuat FSGI mendukung kebijakan Merdeka Belajar Episode ke-24 Kemendikbudristek, yang mana salah satunya menghapuskan tes calistung dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) SD. Dia mengatakan, kebijakan itu sekaligus menjadi kepastian hukum bagi penyelenggaraan seleksi PPDB untuk jenjang SD.
“Artinya, jika ada SD yang melakukan tes calistung dalam PPDB, satuan pendidikan tersebut telah melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan Peraturan Mendikbudristek Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru,” kata dia.
Heru menyebutkan, umumnya tes calistung dilakukan oleh sekolah berbasis masyarakat atau SD swasta. Sebab, untuk SD negeri atau sekolah milik pemerintah kententuannya sangat jelas, yakni hanya menggunakan usia anak. Calistung, kata dia, semestinya dimulai ketika anak berusia tujuh tahun atau saat anak memasuki usia SD. Karena itu, tidak tepat jika tes calistung diterapkan saat anak mendaftar SD.
“Umumnya anak-anak baru bisa fokus untuk belajar hitung-hitungan ketika mereka memasuki usia 6-7 tahun. Sebab, di usia ini sensorik dan motorik anak sudah siap untuk mempelajari angka-angka dengan baik,” ujar Heru.

Untuk itu, dalam salah satu rekomendasi yang diberikan, FSGI mendorong Kemendikbudristek dan dinas-dinas pendidikan untuk mengedukasi para guru dan orang tua terkait kebijakan meniadakan tes calistung untuk jenjang SD. Menurut Heru, itu berarti pandangan umum bahwa saat anak masuk SD sudah mampu calistung harus diubah.
Mendikbudristek Nadiem Makarim sebelumnya resmi menghapus tes calistung sebagai syarat masuk jenjang SD. Keputusan tersebut menjadi bagian dari kebijakan Merdeka Belajar Episode ke-24 yang mendasari transisi PAUD ke SD/MI/sederajat.
Menurut dia, kemampuan calistung yang sering dibangun secara instan masih dianggap sebagai satu-satunya bukti keberhasilan belajar. Tes calistung bahkan masih diterapkan sebagai syarat PPDB SD/MI/sederajat.
Nadiem menyebut, hal itu membuat saat ini kemampuan yang dibangun pada anak di PAUD masih sangat berfokus pada calistung. Untuk mengakhiri miskonsepsi tersebut, Nadiem menghapus tes calistung untuk masuk ke jenjang sekolah dasar. “Satuan pendidikan perlu menghilangkan tes calistung dari PPDB pada SD/MI/sederajat,” kata Nadiem.
Satuan pendidikan perlu menghilangkan tes calistung dari PPDB pada SD/MI/sederajat.NADIEM MAKARIM, Mendikbudristek
Dihapusnya tes calistung sebagai syarat masuk SD juga mendapat tanggapan positif dari orang tua. Salah satu tanggapan positif datang dari Emmy Suaida, ibu dua anak yang berdomisili di Kepanjen, Kabupaten Malang. Putri sulung Emmy, Naura Kamila Azzahwa, kini hampir berusia lima tahun dan sudah masuk ke jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD).
“Setuju, karena sebenarnya tahap membaca itu pada masa SD. Anak TK memang masih dalam tahap bermain. Mungkin di TK cukup pengenalan saja, tapi kalau anaknya bisa mengikuti, itu lebih bagus,” kata Emmy kepada Republika.
Akan tetapi, Emmy menyoroti pula sisi lain dari kebijakan tersebut. Guru yang mengajar di SDN 1 Jatikerto, Kabupaten Malang, itu menyampaikan bahwa buku bacaan di SD cukup tebal dengan materi yang tahapannya bukan pramembaca. Bahkan, buku untuk siswa kelas I SD.
Itu membuat guru kewalahan apabila murid di SD belum bisa membaca. Demikian pula orang tua, pasti bingung jika anaknya tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah. Emmy berharap kurikulum Merdeka yang baru mulai diterapkan di beberapa kelas dapat mengatasi kendala itu.

Orang tua lain yang berdomisili di Depok, Azarine Hana Bastiyani, juga setuju dengan peraturan yang menghilangkan calistung sebagai syarat masuk SD/MI/sederajat. Menurut perempuan 32 tahun itu, syarat demikian dapat memberatkan bagi anak.
Azarine memiliki putri bernama Khaliluna Zaafarani Pranetya yang sekarang sudah duduk di bangku TK A. Bagi Azarine, porsi kegiatan di TK idealnya 70 persen bermain dan 30 persen belajar. Dia yakin, anak usia 4-5 tahun perlu lebih banyak mengasah kreativitas.
“Sayang kalau harus dilewatkan dengan belajar yang porsinya terlalu berat. Setidaknya, dalam masa PAUD atau TK mereka hanya mengenal, misalnya, mengenal angka atau huruf, tanaman, benda-benda, dan lainnya. Metodenya pun bisa diolah sedemikian menyenangkan sehingga anak bisa enjoy dalam belajar,” ujar Azarine.
Apabila calistung jadi syarat masuk SD, berpotensi membuat sebagian orang tua menuntut anak menguasai kemampuan itu saat buah hatinya duduk di bangku TK B. Azarine kurang sepakat, sebab tingkat kematangan anak dalam menerima pelajaran berbeda-beda.
Tidak jarang orang tua juga rela membayar lebih untuk kursus calistung anak. Jika demikian, anak yang belum siap secara mental terkadang menangis tantrum sehingga les menjadi tidak kondusif dan materi yang diberikan tidak diterima dengan baik oleh anak. Itu karena sebagian orang tua khawatir anaknya belum bisa menguasai calistung ketika masuk SD.
Pesantren Tahfidz Tuna Netra di Bandung
27 santri tuna netra mengikuti pesantren tahfidz Alquran.
SELENGKAPNYASang Pahlawan Muslim Aljazair
Abdul Qadir bin Muhyiddin al-Hasani adalah pahlawan Aljazair yang disegani kawan maupun lawan.
SELENGKAPNYA