
Refleksi
Kembali kepada Kesucian
Tujuan puasa adalah mencapai derajat takwa.
Oleh NURCHOLIS MADJID
Tujuan puasa adalah mencapai derajat taqwa. Ini dikatakan dalam sebuah ayat Alquran yang memerintahkan orang yang beriman untuk berpuasa (QS al-Baqarah [2]: 183). Istilah takwa ini sering diartikan sebagai "takut kepada Allah".
Penerjemahan ini tentu saja benar, tetapi ada segi lain yang sangat penting, yang juga termuat dalam makna terdalam kata takwa ini, yaitu segi kesadaran akan yang Ilahi (rabbaniyah), yaitu pengalaman dan perasaan akan kehadiran yang Ilahi, yang digambarkan dalam banyak ayat Alquran, di antaranya yang menegaskan bahwa 'Milik Allah timur dan barat: ke mana pun kamu berpaling, di situlah kehadiran Allah..." (QS 2: 115).
Pengalaman akan kehadiran Allah inilah yang menggambarkan fenomena mengenai orang yang beriman, yang "...apabila disebut nama Allah, tergetar hatinya dan bila ayat-ayat-Nya dibacakan kepada mereka, bertambah kuat keimanannya..." (QS 8: 2).
Orang yang beriman adalah orang-orang yang konsisten berpegang teguh pada agama. Mereka dijanjikan oleh Allah kebahagiaan hidup "...mereka yang berkata 'Tuhan kami adalah Allah,' kemudian tetap berpegang teguh (pada agama), mereka tak perlu khawatir, tak perlu sedih." (QS 46: 13).
Tujuan puasa adalah mencapai derajat takwa.
Alquran menyebut, inilah orang-orang yang menjadikan takwa pengalaman akan kehadiran Yang Ilahi itu dan keridhaan Allah sebagai asas hidup mereka. Allah mengatakan, "Manakah yang terbaik? Mereka yang mendirikan bangunannya atas dasar takwa dan keridhaan Allah, ataukah yang mendirikan bangunannya di atas tanah pasir di tepi jurang lalu runtuh bersamanya ke dalam api neraka..." (QS 9: 109).
Dalam jangka panjang tujuan puasa adalah menjadikan takwa ini sebagai asas dan pandangan hidup yang benar. Ayat di atas menegaskan bahwa asas hidup yang selain takwa dan keridaan Allah itu salah, yang diibaratkan dengan orang yang "mendirikan bangunan di atas tanah pasir di tepi jurang lalu runtuh bersamanya ke dalam api neraka".
Tentang takwa ini, menarik melihat bahwa takwa adalah kesejajaran "iman" dan "tali hubungan dengan Allah" --yang merupakan dimensi vertikal hidup yang benar.
Karena itu pengertian takwa bersifat ruhaniah, yang masih harus diterjemahkan dalam segi-segi konsekuensial yang mengikutinya (misalnya dalam kaitan iman dan amal-saleh, yang disimbolkan dalam "takbirat al-ihram" dalam shalat yang bersegi keruhanian, dan "salam" yang bersegi komitmen sosial).
Dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 2-4, digambarkan lima ciri dari orang yang bertakwa ini: yaitu (1) Mereka yang beriman kepada yang gaib; (2) mendirikan salat; (3) menafkahkan sebagian rezeki; (3) yang beriman kepada wahyu yang telah Allah sampaikan (Alquran) dan wahyu sebelum Alquran; dan (5) mereka yang yakin akan Hari Akhirat. Kelima ciri takwa ini adalah an-sich ciri dari orang yang beriman.
Karena itu pengertian takwa bersifat ruhaniah, yang masih harus diterjemahkan dalam segi-segi konsekuensial yang mengikutinya.
Dari kelima unsur yang menjadi ciri ketakwaan itu, unsur pertama, beriman kepada yang gaib, mendapatkan peneguhan utama dalam ibadah puasa, karena puasa adalah ibadah yang paling pribadi, personal, private, tanpa kemungkinan bagi orang lain sepenuhnya melihat, mengetahui, apalagi menilainya.
Seperti dikatakan dalam sebuah Hadits-Qudsi, menuturkan firman Allah, "...Puasa adalah untuk-Ku semata, Akulah yang menanggung pahalanya". Jadi seperti juga takwa yang bersifat ruhani, puasa itu juga harus diawali atau berpangkal pada ketulusan niat yang juga privat.
Sehingga dikatakan oleh Sakandari dalam kitab al-Hikam, bahwa amal perbuatan adalah bentuk lahiriah yang nampak mata, dan ruhnya ialah adanya rahasia keikhlasan (yang amat private) di dalamnya.
Kembali ke takwa, maka pangkal takwa adalah keimanan yang mendalam kepada Allah dan kesadaran tanpa ragu sama sekali akan kehadiran-Nya dalam hidup dan segala kegiatan manusia. Sehingga puasa sebagai ibadah yang sangat private ini merupakan latihan dan sekaligus peragaan kesadaran ketuhanan: peragaan akan pengalaman kehadiran Yang Ilahi.
Inilah tujuan pokok puasa yang kemudian melimpah kepada nilai-nilai hidup yang menjadi konsekuensinya, yang menjadikan adanya hikmah kemanusiaan dari ibadah puasa ini, sebuah hikmah yang dilatih dengan "menahan diri" makna literal dari shiyam atau shaum, dari puasa itu sendiri.
Maka dengan menanggung derita sementara ini (dengan menahan diri jasmani, nafsani dan rohani) ada proses penyucian yang akan memperkuat segi-segi kelemahan manusiawi (apalagi "manusia adalah pembuat kesalahan," erare humanum est, begitu kata pepatah Latin).
Kelemahan manusiawi yang amat mencolok adalah kecenderungannya mengambil hal-hal jangka pendek.
Kelemahan manusiawi yang amat mencolok adalah kecenderungannya mengambil hal-hal jangka pendek, karena daya tariknya, dan lengah terhadap akibat buruk jangka panjang (lihat, QS. 75: 20).
Terhadap hal kelemahan manusiawi ini, Tafsir Yusuf Ali mengatakan, "Manusia suka tergesa-gesa dan segala yang serba tergesa-gesa. Dengan alasan ini ia menyandarkan imannya pada hal-hal yang fana, yang datang dan pergi, dan mengabaikan segala yang sifatnya lebih abadi, yang datangnya perlahan-lahan, yang tujuannya yang sebenarnya baru akan terlihat sepenuhnya di akhirat kelak".
Karena itulah puasa dapat dipandang sebagai bulan suci, dan bulan penyucian diri pribadi yang ada secara berkala. Melalui bulan suci dan penyucian ini diharapkan kita dapat membersihkan kembali diri dari kekotoran kezaliman selama bulan-bulan sebelumnya.
Bulan puasa ini adalah rahmat Allah yang memberi jalan berkala untuk lepas dari alam inferno, alam neraka, alam sengsara dalam kehidupan manusia (mengikuti bahasa Dante, penyair Abad pertengahan yang menulis buku syair Divina Comedia), memasuki alam penyucian.
Purgatorio, dengan jalan pertobatan dan latihan-latihan kerohanian selama sebulan puasa ini, untuk suatu tujuan paradiso, lahir kembali dalam alam surgawi, yang dalam bahasa Islam disebut fitrah. Paradiso (bahasa Latin, bahasa Arabnya firdaus) adalah surga: hidup bahagia, penuh kedamaian "Dan Allah memanggil ke tempat tinggal yang damai; Ia akan membimbing siapa saja yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus" (QS. 10: 25). Memang, salah satu segi kebahagiaan hidup ialah tegaknya nilai-nilai kemanusiaan, yang intinya ialah kedamaian ini.
Memang, salah satu segi kebahagiaan hidup ialah tegaknya nilai-nilai kemanusiaan, yang intinya ialah kedamaian ini.
Dalam tafsir atas QS. 10: 25 ini, Abdullah Yusuf Ali mengatakan, "...Daripada segala kesenangan dalam kehidupan benda yang serba fana dan tiada pasti ini, ada lagi kehidupan yang lebih luhur. Ke sana Tuhan selalu menyerukan. Itulah yang disebut tempat yang damai. Di sana tak ada rasa takut, tak ada rasa kecewa dan tak ada rasa duka. Dan semua dipanggil, dan mereka akan dipilih, mereka yang mencari keridhaan Allah, bukan yang mencari keuntungan dunia kasar."
Oleh karena itulah surga disebut juga Dar al-Salam, "Negeri Perdamaian" di mana penghuninya saling menyapa dengan ucapan, "Damai, damai!" (Salam, salam).
Orang yang menjalankan ibadah puasa sesuai dengan tuntunan, dengan sendirinya akan dapat mengembalikan jiwanya kepada kesucian atau alam paradiso, yakni kebahagiaan karena lepas dari dosa.
Disadur dari Harian Republika edisi 6 Maret 2001. Nurcholish Madjid (1938-2005) adalah mantan rektor Universitas Paramadina. Ia salah satu budayawan dan pemikir Muslim paling berpengaruh di Indonesia.
Sejarah Permulaan Penulisan Sirah
Penulisan biografi atau Sirah an-Nabawiyah menjadi perhatian para sarjana sejak abad-abad pertama Hijriyah.
SELENGKAPNYAShalat Tahajud Berjamaah, Benarkah Makruh?
Riwayat lain dari Imam Ahmad memberi sinyal bahwa hukum shalat Tahajud berjamaah boleh dilakukan.
SELENGKAPNYA