Trowulan Majapahit - Candi Wringin Lawang | Republika/ Tahta Aidilla

Kronik

Jejak Bangsawan Muslim Majapahit di Trowulan

Sudah ada bangsawan Majapahit yang memeluk Islam pada awal abad ke-14.

Oleh FUJI EP

Kerajaan Majapahit yang berbasis di Jawa Timur diyakini merupakan kerajaan Hindu-Buddha terbesar di Nusantara. Dalam manuskrip-manuskrip kuno, kerajaan ini diceritakan memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas dari Semenanjung Malaka hingga Indonesia timur.

Sebagai kerajaan Hindu-Buddha, tak mengherankan jika banyak masyarakat Majapahit memeluk agama Hindu dan Buddha. Di luar mereka yang memeluk Hindu-Buddha, sudah ada elite masyarakat atau bangsawan Majapahit yang memeluk agama Islam pada awal abad ke-14. Bukti-bukti sejarah mengindikasikan hal itu.

Bukti paling tua yang menunjukan adanya orang Jawa yang memeluk Islam adalah batu nisan di pemakaman Trowulan dan Tralaya di Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Pemakaman tersebut letaknya di ibu kota Kerajaan Majapahit.

photo
Trowulan - Pengalian didesa Ngeliuk - (Republika/ Tahta Aidilla)

"Di pemakaman Trowulan terdapat batu nisan tua milik seorang Muslim, pada nisannya tertulis tahun 1290 Saka atau 1368 M," tulis MC Ricklefs dalam bukunya Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from Fourteen to the Early Nineteenth Centuries.

Selain itu, masih banyak batu nisan milik Muslim lainnya di sana. Batu-batu nisan tersebut adalah bukti yang sangat penting dan luar biasa. Karena batu nisan tersebut bisa menjadi bukti bahwa bangsawan Jawa mengakomodasi masyarakat yang memeluk agama Islam pada masa itu.

 
Di pemakaman Trowulan terdapat batu nisan tua milik seorang Muslim, pada nisannya tertulis tahun 1290 Saka atau 1368 M.
MC RICKLEFS
 

Padahal, pada masa itu, Kerajaan Majapahit yang menganut agama Hindu-Buddha sedang berada di puncak kejayaannya. Maharaja Sri Rajasanagara yang dikenal dengan sebutan Raja Hayam Wuruk berkuasa di Kerajaan Majapahit pada tahun 1350-1389 M. Di bawah kekuasaannya, Majapahit mencapai puncak kejayaan.

Raja Hayam Wuruk dipuji dalam syair epik Desawarnana yang lebih dikenal dengan nama Nagarakertagama karya seorang Budhis bernama Empu Prapanca (1365 M). Dalam pembukaan kakawin atau syair Nagarakertagama digambarkan bahwa Raja Hayam Wuruk sejajar dengan Siwa dan Buddha. Dia juga digambarkan sebagai bentuk kebenaran tertinggi dari agama atau filsafat apa pun.

Nagarakertagama juga menggambarkan istana Kerajaan Majapahit yang menakjubkan. Dituliskan juga tentang raja-raja, biksu, urusan kerajaan, istana, dan desa-desa di Kerajaan Majapahit.

Namun, tulisan di dalam Nagarakertagama tidak menunjukkan tentang keberadaan Islam di Tanah Jawa. Meski demikian, bukti-bukti yang ada menunjukkan anggota keluarga kerajaan sudah ada yang menjadi Muslim.

Dalam bukunya yang dipublikasikan Eastbridge pada tahun 2006, Ricklefs menegaskan, batu-batu nisan Muslim di pemakaman Trowulan dan Tralaya yang terletak di ibu kota Kerajaan Majapahit benar-benar milik Muslim. Menurut dia, batu-batu nisan tersebut memiliki desain yang khas.

Tahun pada nisan tersebut tidak menggunakan penanggalan Hijriyah, tapi penanggalan Saka yang berasal dari India dan diadopsi di Jawa. "Karena nisan ini menggunakan penanggalan Saka, jadi besar kemungkinan yang dikubur di pemakaman ini bukan Muslim dari luar Jawa," kata dia.

 
Karena nisan ini menggunakan penanggalan Saka, jadi besar kemungkinan yang dikubur di pemakaman ini bukan Muslim dari luar Jawa.
 
 

Dengan kata lain, yang dimakamkan di situ adalah orang-orang Jawa asli yang telah memeluk agama Islam. Pada beberapa batu nisan Muslim di pemakaman ini juga ditemukan lambang Matahari Majapahit. Lambang ini kemungkinan besar menunjukkan bahwa yang dikubur adalah anggota keluarga Kerajaan Majapahit atau bangsawan Majapahit.

Batu nisan di pemakaman Tralaya yang paling tua bertanggal 1298 Saka atau 1376 M. Pada nisan ini, terdapat tulisan angka Jawa kuno, dan pada sisi lainnya ada tulisan berbahasa Arab. Batu nisan lainnya di Tralaya bertanggal 1397 Saka atau 1475 M, di antaranya ada nisan yang dihiasi dengan lambang Matahari Majapahit.

photo
Makam Muslim di Troloyo, Trowulan, Mojokerto - (cagarbudayajatim.com)

Sejarawan kelahiran Prancis, Louis Charles Damais, mengamati, ortografi Arab untuk tulisan Syahadat pada tiga batu nisan, salah. Bukti ini menunjukkan, penulis Syahadat pada batu nisan itu tahu bagaimana cara mengucapkan kalimat Syahadat, tapi kurang percaya diri untuk menuliskan Syahadat menggunakan huruf Arab.

Selain itu, ada kuburan yang cukup mencuri perhatian di Trowulan karena menggunakan simbol Siwa Lingga di kedua sisinya. Sayangnya, kuburan tersebut tidak bertanggal sehingga sulit untuk diketahui sejarahnya lebih jauh.

Tentu banyak kemungkinan mengapa Siwa Lingga ada di pemakaman yang banyak terdapat kuburan Muslim. Bisa saja seseorang mengambil Siwa Lingga dari situs lain dan menancapkannya di kuburan Muslim.

 
Jika melihat makam yang menunjukkan adanya anggota keluarga kerajaan yang memeluk Islam, jelas bahwa pada masa itu kalangan bangsawan Majapahit tidak ragu dan tak mempermasalahkan menjadi orang Jawa, tapi juga seorang Muslim.
 
 

Sebagaimana diketahui Kerajaan Majapahit adalah kerajaan pramodern. Pada zaman tersebut, anggota keluarga kerajaan dan kerabat adalah simbol yang sangat bernilai. Keluarga dan kerabat kerajaan adalah identitas budaya dan sosial.

Jika melihat makam-makam yang menunjukkan adanya anggota keluarga kerajaan yang memeluk agama Islam, jelas sekali bahwa pada masa itu kalangan bangsawan Majapahit tidak ragu-ragu dan tidak mempermasalahkan dirinya menjadi orang Jawa, tapi juga seorang Muslim.

photo

Trowulan Majapahit - Candi Tikus - (Republika/ Tahta Aidilla)

Mereka mengumumkan dirinya sebagai orang Jawa melalui sistem penanggalan Saka dan lambang Matahari Majapahit pada nisan mereka. Mereka juga mengumumkan keyakinan mereka dengan mengutip ayat Alquran dan menggunakan tulisan Arab pada batu nisan mereka.

Namun, yang agak mengherankan, syair Negarakertagama karya Empu Prapanca sama sekali tidak menginformasikan tentang keberadaan Muslim di lingkungan Istana Majapahit.

Jika dalam syair itu diceritakan adanya Muslim Jawa yang dimakamkan di ibu kota Kerajaan Majapahit, tentu akan sangat mudah meyakini keberadaan Muslim Jawa pada masa itu. Sebab, Empu Prapanca tidak mungkin tidak tahu adanya Muslim dari kalangan bangsawan di Kerajaan Majapahit.

Diduga, Empu Prapanca tidak menyebut soal kehadiran Islam di Majapahit lantaran syairnya ditujukan untuk memuliakan rajanya sebagai raja Jawa, perwujudan dari semua kebijaksanaan dan ketuhanan, serta tokoh utama bagi semua rakyatnya yang memeluk berbagai agama.

 
Alasan ini sudah cukup bagi Empu Prapanca untuk tidak memasukkan tentang Islam pada syairnya.
 
 

Mungkin ada juga orang yang menduga, Empu Prapanca tidak menulis tentang Muslim dalam syair Nagarakertagama karena dia mempertim bangkan beberapa hal sehingga cerita tentang Muslim tidak ditulis dalam syairnya.

Dalam bukunya Ricklefs menjelaskan, Syahadat artinya 'saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah'. Kalimat ini secara tidak langsung menjelaskan, Muslim Jawa tidak mengakui bahwa seorang raja adalah perwujudan dewa. Alasan ini sudah cukup bagi Empu Prapanca untuk tidak memasukkan tentang Islam pada syairnya.

Kemungkinan cara umat Islam beribadah, berdoa, melaksanakan sunat, dan prosesi penguburan telah menempatkan mereka di luar batas kebiasaan masyarakat Jawa pada umumnya yang memeluk agama Hindu dan Buddha.

Karena itu, Empu Prapanca memandang mereka tidak sesuai dengan masyarakat Jawa yang ideal. "Hal ini juga bisa menjadi alasan mengapa Empu Prapanca tidak menyisipkan tentang Muslim dalam Nagarakertagama," kata Ricklefs.

Kesaksian Ma Huan

Ricklefs dalam buku Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries menjelaskan, tidak ada masyarakat Jawa yang berbondong-bondong memeluk agama Islam sebelum awal abad ke-16. Sejauh bukti-bukti yang ada, Islam telah hadir di Jawa sebelum abad ke-16 tapi tidak masif perkembangannya.

Seorang Muslim Cina bernama Ma Huan pertama kali mengunjungi pesisir utara Pulau Jawa sekitar tahun 1413-1415 M. Ma Huan adalah anggota rombongan Laksamana Cheng Ho dari Dinasti Ming yang melakukan ekspedisi ke berbagai wilayah. Ma Huan mengunjungi Pulau Jawa lagi pada tahun 1432 M.

photo
Laksamana Cheng Ho - (DOK Wikipedia)

Buku yang ditulis Ma Huan berjudul Yingyai Shenglan pertama kali diterbitkan pada tahun 1451 M. Namun, yang ada sekarang tinggal buku versi terbarunya sehingga kemungkinan ada pengurangan atau penambahan pada isinya.

Yingyai Shenglan adalah catatan perjalanan yang ditulis oleh Ma Huan. Buku ini menceritakan sejumlah negara, laut, dan pantai yang dikunjungi Ma Huan yang ikut serta dalam ekspedisi pelayaran Laksamana Cheng Ho.

Penjelasan Ma Huan tentang Jawa terjadi sekitar 40 tahun sampai 60 tahun setelah keberadaan batu nisan Muslim di Trowulan dan Tralaya. Namun, berdasarkan catatan Ma Huan, dia tidak menemukan Muslim Jawa di pesisir utara Pulau Jawa. "Negara ini terdiri atas tiga kelas masyarakat," kata Ma Huan dalam catatannya yang berjudul Yingyai Shenglan.

 
Mereka berasal dari Guangdong, Zhangzhou, dan Quanzhou serta tempat-tempat lainnya. Mereka melarikan diri dari tempat asalnya dan tinggal di Jawa. Makanan mereka bersih dan banyak di antara mereka yang memeluk agama Islam.
 
 

Pertama, kata Ma Huan, adalah orang Muslim dari wilayah Barat atau Jazirah Arab dan sekitarnya. Mereka berimigrasi ke Jawa. Mereka berdagang, pakaiannya bersih, makanannya bersih dan layak.

Kedua, orang Cina, mereka berasal dari Guangdong, Zhangzhou, dan Quanzhou serta tempat-tempat lainnya. Mereka melarikan diri dari tempat asalnya dan tinggal di Jawa. Makanan mereka bersih dan banyak di antara mereka yang memeluk agama Islam. Mereka juga melaksanakan ibadah puasa.

Ketiga, orang-orang berwajah seram dan aneh. Mereka tidak mengenakan alas kaki dan makanannya sangat kotor. Semut, ular, serangga, dan cacing pun mereka makan. Bahkan, mereka makan di tempat yang sama dengan anjing peliharaannya.

photo
Trowulan Majapahit - Candi Tikus - (Republika/ Tahta Aidilla)

Ricklefs dalam bukunya mengatakan, orang-orang seram dan jorok yang digambarkan Ma Huan tentu bertolak belakang dengan sumber-sumber sejarah lain. Sumber lain banyak yang mengatakan peradaban Jawa-Hindu sangat maju sehingga orang-orang yang digambarkan seram dan jorok itu besar kemungkinan bukan masyarakat Jawa asli.

 
Orang-orang yang digambarkan seram dan jorok itu besar kemungkinan bukan masyarakat Jawa asli.
 
 

Kemungkinan mereka adalah Suku Kalang yang diasingkan di Pulau Jawa karena memiliki kebiasaan, kebudayaan, dan kepercayaan yang berbeda dengan masyarakat Jawa pada umumnya. Mereka menganggap dirinya sebagai penyatuan antara manusia dan anjing.

Jika benar yang dilaporkan Ma Huan dalam catatannya tentang bandar-bandar atau kota-kota pelabuhan di pesisir utara Jawa, artinya kota-kota pelabuhan tersebut sudah kosmopolitan. Banyak orang dari berbagai daerah di belahan dunia singgah dan menetap di sana.

Misteri Hubungan Jawa dengan Imperium Utsmani

Sistem kepangkatan di dalam pasukan Pangeran Diponegoro juga dibuat sesuai dengan Turki Utsmani.

SELENGKAPNYA

Sejarah Permulaan Penulisan Sirah

Penulisan biografi atau Sirah an-Nabawiyah menjadi perhatian para sarjana sejak abad-abad pertama Hijriyah.

SELENGKAPNYA

Kala Tokoh Musyrik Terpesona Keindahan Alquran

Terpesonanya tokoh musyrik ini akan Alquran ternyata tidak berarti hatinya menerima Islam.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya