
Kisah
Kala Tokoh Musyrik Terpesona Keindahan Alquran
Terpesonanya tokoh musyrik ini akan Alquran ternyata tidak berarti hatinya menerima Islam.
Sejak diangkat menjadi utusan Allah SWT, Nabi Muhammad SAW mengemban kewajiban untuk menyiarkan agama tauhid kepada seluruh manusia.
Di Makkah al-Mukarramah, kota tempat kampung halaman beliau, dakwah Rasulullah SAW menghadapi banyak penentang. Bagaimanapun, mereka tidak mampu meredam pancaran syiar Islam yang kian hari kian terang.
Bila sebelumnya orang-orang yang berislam hanyalah mereka yang dianggap sebagai masyarakat kelas bawah, kini realitasnya berubah. Tidak sedikit tokoh Quraisy yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebut saja, Abu Bakar, Utsman bin 'Affan, Zubair bin Awwam, 'Abdurrahman bin 'Auf, Sa'ad bin Abi Waqqash, dan Hamzah bin 'Abdul Muththalib.
Bila sebelumnya orang-orang yang berislam hanyalah mereka yang dianggap sebagai masyarakat kelas bawah, kini realitasnya berubah. Tidak sedikit tokoh Quraisy yang beriman.
Kenyataan itu menggentarkan orang-orang musyrikin. Pemuka-pemuka mereka lantas berembuk di Dar an-Nadwah untuk menentukan langkah antisipasi. Salah seorang dari para tokoh itu ialah Walid bin Mughirah.
Ia pun mengusulkan agar elite kafir Quraisy bernegosiasi dengan Muhammad SAW. Harapannya, sosok yang bergelar al-Amin itu mau mengurangi dakwah Islam di tengah masyarakat Makkah. Bila mau, beliau akan diberi posisi yang tinggi oleh mereka. Sebaliknya, kalau menolak, orang-orang ini akan bertindak lebih keras lagi, termasuk kepada Muslimin.
Para tokoh Quraisy lalu mengirim 'Utbah ibn Rabi'ah, salah seorang tokoh dari Bani 'Abdul Manaf, guna membujuk Rasulullah SAW. Sehari-hari, lelaki yang biasa disapa Abu al-Walid itu terkenal pandai bernegosiasi. Maka pemuka-pemuka musyrikin berharap, ia sukses meyakinkan Nabi SAW agar mengurangi atau bahkan menghentikan sama sekali dakwah Islam.
Berangkatlah 'Utbah menemui Rasulullah SAW. Saat itu, ia melihat Nabi SAW sedang mendirikan shalat di Masjidil Haram. Usai itu, beliau menyendiri di dekat Ka' bah.
"Wahai Anak Saudaraku," sapa 'Utbah kepada Nabi SAW, "aku datang kemari untuk mengungkapkan pesan para tetua Quraisy kepadamu. Belakangan ini, aktivitasmu meresahkan mereka."
"Tentu saja, engkau termasuk orang-orang terpandang di antara kami dari segi nasab dan keturunan," lanjut' Utbah, "tetapi tidakkah engkau lihat apa yang telah engkau lakukan? Dengan dakwahmu, engkau telah memecah-belah persatuan masyarakat. Engkau hinakan tokoh-tokoh kita. Engkau katakan mereka bodoh karena menyembah berhala. Engkau hina tuhan-tuhan mereka. Engkau hina agama nenek moyang mereka."
'Utbah lalu menyampaikan penawaran dari para senior Quraisy kepada Nabi SAW.
"Wahai Anak Saudaraku, jika semua upayamu ini engkau lakukan karena menginginkan harta, kami bersedia mengumpulkan seluruh harta kami untuk diberikan kepadamu. Kalau engkau ingin kedudukan, kami akan angkat engkau menjadi pemimpin. Bahkan kalau engkau ingin menjadi raja, kami akui engkau sebagai raja. Atau bila engkau ternyata selama ini kerasukan jin, kami akan carikan dukun-dukun terbaik dengan obat paling mujarab untukmu," tutur 'Utbah.
Kemudian, Rasul SAW merespons, "Sudah selesaikah bicaramu, wahai Abu al-Walid?"
"Sudah."
"Kalau begitu, dengarkanlah ini," ujar Nabi SAW.
Kemudian, beliau membacakan beberapa ayat Alquran, yakni surah Fushshilat. 'Utbah pun menyimaknya.
Hampir saja, utusan musyrikin Quraisy itu mengungkapkan terpesonanya ia akan ayat-ayat suci itu. Namun, ia enggan mengakuinya. Tiba-tiba, ia menempelkan jarinya pada mulut Nabi SAW sebagai isyarat agar beliau menghentikan lantunan Alquran.
Tanpa berkata apa-apa, 'Utbah langsung pergi meninggalkan Rasulullah SAW. Begitu kembali kepada kaumnya, ia berkata, "Demi Allah, aku baru saja mendengar suatu perkataan yang belum pernah aku dengar selama ini. Demi Allah, yang disampaikan Muhammmad itu bukanlah syair, bukan mantra dukun, dan bukan pula sihir."
Orang-orang yang mengerubunginya kebingungan mendengar itu. 'Utbah pun meneruskan keterangannya.
"Wahai orang-orang Quraisy! Menurutku, biarlah Muhammad melakukan apa-apa yang ia mau. Sungguh, dakwahnya akan menjadi sesuatu yang besar. Jika seluruh Arab menghentikannya, biarlah mereka yang melakukannya. Namun, jika nanti seluruh Arab tunduk padanya, sungguh, kemuliaannya adalah kemuliaan Quraisy juga," jelasnya.
"Engkau telah tersihir oleh Muhammad!" seru Walid bin Mughirah.
"Tidak! Aku hanya mengutarakan pendapatku pribadi mengenai dia," timpal 'Utbah.
Demikianlah. Tampak adanya sedikit perbedaan pendapat di antara dua senior musyrikin Quraisy itu. Bagaimanapun, masing-masing diikat perasaan yang sama, yakni fanatisme kesukuan dan kecemasannya bahwa risalah Islam akan menggusur status quo paganisme --yang membuat mereka sebagai kalangan terpandang di tengah masyarakat Makkah.
Pada akhirnya, 'Utbah menemui ajalnya di Perang Badar. Ia tewas di tangan Ali bin Abu Thalib dan Hamzah, paman Nabi SAW. Adapun Walid bin Mughirah mati dalam usia 75 tahun, yakni sekira tiga bulan pascahijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah.
Sejarah Permulaan Penulisan Sirah
Penulisan biografi atau Sirah an-Nabawiyah menjadi perhatian para sarjana sejak abad-abad pertama Hijriyah.
SELENGKAPNYA