Di bawah kepemimpinan Sultan Selim I, Turki Utsmaniyah berhasil memperluas wilayah kekuasaan hingga Suriah, Mesir dan Hijaz | DOK WIKIPEDIA

Kronik

Misteri Hubungan Jawa dengan Imperium Utsmani

Sistem kepangkatan di dalam pasukan Pangeran Diponegoro juga dibuat sesuai dengan Turki Utsmani.

Oleh ACHMAD SYALABY ICHSAN

Hubungan antara kerajaan-kerajaan Jawa dan Kekhalifahan Turki Utsmani masih menjadi misteri. Relasi keduanya memang tak seperti kontak dengan Aceh Darussalam yang masih bisa dibuktikan dengan beragam dokumen korespondensi. Meski rasanya amat kental, bukti-bukti yang menyokong itu masih sumir.

Beberapa potongan cerita klasik masyarakat Jawa menyebutkan Rum, yakni sebutan Turki Utsmani oleh masyarakat Jawa. Deden A Herdiansyah dalam Jejak Kekhalifahan Turki di Nusantara menyebutkan, Kitab Musarar Ian Jaya Baya menceritakan awal mula terbentuknya masyarakat Jawa.

Kitab ini menjelaskan, Sultan Rum Kanjeng Sultan Algabah menerima wangsit untuk membudayakan Tanah Jawa. Lewat wangsit itu, dia mengutus seorang pelarian dari Arab bernama Ajisaka atau Jaka Sengkala untuk memimpin ekspedisi ke Jawa.

Setelah gagal pada ekspedisi pertama, Sultan Algabah kembali melanjutkan ambisinya pada ekspedisi kedua dan ketiga. Dalam ekspedisi tersebut, sultan mengirim Patih Amirulsyamsu dan 20 ribu orang Keling dari India.

Setelah pekerjaan menghidupkan Jawa selesai, rombongan ekspedisi kembali ke negerinya bersama Patih Amirulsyamsu dan Said Jamhur Muharam. Sementara itu, Ajisaka melanjutkan hidupnya di Jawa bersama orang-orang Keling.

photo
Pengunjung mengamati karya saat pameran sastra rupa Gambar Babad Diponegoro di Jogja Gallery, DI Yogyakarta, Selasa (5/2/2019). Pameran sastra rupa dari naskah Babad Diponegoro yang ditulis langsung oleh Diponegoro saat diasingkan di Manado itu sebagai media mengenalkan tokoh Pangeran Diponegoro melalui imajinasi para seniman. ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/foc.- (ANTARA FOTO)

Perang Jawa (1825-1830) juga menguak adanya nama yang kemungkinan besar terinsipirasi dari Turki Utsmani. Pangeran Diponegoro bahkan menyebut dirinya Kanjeng Sultan Ngabdulkamid. Lengkapnya, Sultan Ngabdulkamid Erucakra Kabirulmukmina Khalifatul Rasululullah Hamengkubuwono Senapati Ingalaga Sabilullah ing Tanah Jawi.

Menurut Riflecks, nama Ngabdulkamid terinspirasi dari Abdul Hamid I, Sultan Turki Utsmani yang menyatakan diri sebagai penguasa seluruh dunia. Diponegoro bertujuan menempatkan dirinya sebagai Abdul Hamid II yang bernisbat dengan Sultan Abdul Hamid I.

Sistem kepangkatan di dalam pasukan Pangeran Diponegoro juga dibuat sesuai dengan Turki Utsmani. Pangkat militer paling tinggi adalah Alibasah, yaitu panglima yang membawahi pasukan (infanteri dan kavelari), setara dengan jabatan komandan divisi dalam pasukan Janissari.

Jabatan ini dipegang oleh empat orang, yakni Alibasah Kerto Pengalasan (Tumenggung Wirodirejo), Alibasah Pangeran Sumonegoro (Komandan di Kulonprogo), Alibasah Kasan Besari, adik Kiai Mojo, Alibasah Muhammad Ngusman. Panglima tertinggi militer dipegang oleh Sentot Prawirodirdjo yang lebih dikenal dengan nama Sentot Alibasah.

Setelah pangkat Alibasah, ada pangkat Basah yang dipercayakan kepada Basah Mertonegoro, Basah Ngabdul Latip, dan Basah Gondokusumo.

Pangkat selanjutnya adalah Dulah (Agadulah), komandan militer yang membawahi 400 orang prajurit, setara dengan datasemen. Pangkat paling rendah adalah Seh, yang membawahi pasukan setara dengan kompi.

Dari semua fakta tersebut, tidak diragukan lagi jika Diponegoro memiliki pengetahuan tentang Utsmani.

 
Dari semua fakta tersebut, tidak diragukan lagi jika Diponegoro memiliki pengetahuan tentang Utsmani.
 
 

Salah satu yang meyakini adanya hubungan antara kedua peradaban tersebut, yakni KH Susetyo, salah satu abdi dalem Keraton Yogyakarta. Kepada Republika, Kiai Yoyoh, sapaan akrabnya, mengatakan, ada manuskrip catatan Keraton Yogyakarta mengenai Konco Kaji Selusin. Kelompok imam berjumlah 12 orang yang bertugas menjadi penasihat agama.

Menurut Kiai Yoyoh, dua belas imam tersebut aslinya berasal dari Turki. Mereka didatangkan sejak Sultan Muhammad al-Fatih berkuasa. Dua belas imam itu diutus untuk menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa.

Artinya, ujar dia, hubungan antara Utsmani dan Jawa sudah dimulai sejak era Kesultanan Demak. Keberadaannya dipertahankan hingga sekarang.

 
Hubungan antara Utsmani dan Jawa sudah dimulai sejak era Kesultanan Demak. Keberadaannya dipertahankan hingga sekarang.
 
 

Kiai Yoyoh menjadi salah satu dari penerus Kaji Selusin tersebut. Dia pun kerap memimpin penyelenggaraan shalat di keraton. "Keraton Yogya malah punya sanad ke sana. Sahih," ujar dia.

Meski begitu, Kiai Yoyoh tidak bisa me mas tikan pada masa pemerintahan siapa surat tersebut sampai. Menurut dia, Konco Kaji Selusin pun sudah tidak murni berasal dari Turki meski diwariskan secara turun-temurun. "Sampai hari ini sudah campur-campur," ujar dia.

photo
Panji Kanjeng Kiai Tunggul Wulung menyerupai pedang Zulfiqar (Ilustrasi) - (Wikipedia)

Tidak hanya itu, Kekhalifahan Utsmani juga disebut menitipkan bendera kepada Keraton Yogyakarta. Saat berpidato pada Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI di Yogyakarta pada 9 Februari 2015, Sri Sultan Hamengkubuwono X menyatakan, adanya hubungan Kerajaan Demak dengan Turki Utsmani yang dibuktikan dengan penyerahan bendera.

 
Pada 1479, Sultan Turki mengukuhkan Raden Patah sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa. Perwakilan Kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa dengan menyerahkan bendera La ilaha illallah.
SRI SULTAN HAMENGKUBUWONO X
 

"Pada 1479, Sultan Turki mengukuhkan Raden Patah sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa. Perwakilan Kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa dengan menyerahkan bendera La ilaha illallah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain kiswah Ka'bah dan bendera bertuliskan Muhammadadur Rasulullah berwarna hijau. Duplikatnya tersimpan di Keraton Yogyakarta sebagai pusaka. Penanda keabsahan Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat sebagai wakil kekhalifahan saat itu dari Turki," kata Sri Sultan.

Kiai Yoyoh mengamini pidato sultan. Dia menjelaskan, ada bendera dari Turki Utsmani yang disimpan di Keraton Yogyakarta hingga sekarang. Di dalam bendera berbahan beludru itu, Kiai Yoyoh menjelaskan, tertera lambang bulan sabit dan tulisan berbahasa Arab.

Menurut dia, bendera itu dibawa ke Yogya karta selepas Turki Utsmani dibubarkan Kemal Attaturk. Bendera hitam yang disebut Kiai Tunggul Wulung itu diedarkan pihak keraton saat musibah mendera. 

photo
Panji Perang Utsmani menyerupai pedang Zulfiqar - (worldhistory)

Berburu gelar sultan

Hubungan internasional ma syarakat Jawa diduga dimulai sejak masa Kesultanan Demak. Deden Herdiansyah mengutip HJ De Graaf dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Peralihan dari Majapahit ke Mataram menulis tentang keberadaan jamaah yang berpengaruh sehingga dapat mengadakan hubungan dengan pusat-pusat Islam internasional di luar negeri (di Tanah Suci, dan bila perlu khilafah Turki). Ini yang membedakan pemerintahan negara Keraton Majapahit dengan Kesultanan Demak.

De Graaf juga menyebut, hubungan Turki Utsmani dengan Kesultanan Demak terkait dengan gelar sultan yang disandang Sultan Trenggana. Gelar sultan untuk Raja Demak ketiga itu di berikan oleh Syekh Nurullah, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung Jati dengan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin.

Mengutip cerita Jawa, De Graaf mengungkapkan, Syekh Nurullah telah pergi ke Tanah Suci Makkah. Kepergian tersebut tergolong istimewa mengingat buruknya hubungan pada waktu itu. Jika berita ini benar, dia tentu mendengar jika Sultan Turki, Sultan Salim I Akbar, pada 1517 telah merebut Mesir.

Sultan itu pun mengangkat diri sebagai khalifah. Adanya pemusatan kekuasaan dalam dunia Islam ini me nyebabkan Syekh Nurullah telah kembali ke Nusantara dan karena terpengaruh oleh internasionalisme Islam- menganjurkan kepada Raja Demak untuk bertingkah laku sebagai raja Islam yang benar. Gelar dan nama bahasa Arab itu dapat dianggap sebagai sahnya niat untuk menjadikan Demak sebagai ibu kota Kerajaan Islam.

photo
Film Sultan Agung (Ilustrasi) - (Ist)

Prosesi penerimaan gelar sultan Raja Mataram, Den Mas Rangsang, yang pada kemudian hari dikenal sebagai Sultan Agung menemui jalan berliku. Pada 20 Oktober 1638, Den Mas Rangsang mengirim utusan kepada orang-orang Inggris yang berada di Banten.

Sultan menitipkan hadiah berupa sebilah pedang dan keris. Utusan itu membawa pesan sang raja, yaitu sebuah permintaan agar orang-orang Inggris itu bersedia membawa utusan raja yang akan melakukan perjalanan ke Makkah sebagai penumpang di kapal Inggris.

Pada 1639, utusan itu mulai berlayar dari Banten menuju Makkah melalui Surat, India. Sesampainya di Surat, perjalanan dilanjutkan dengan menaiki kapal milik orang-orang Islam. Saat pulang dari Makkah, sang utusan raja juga melalui rute yang sama dan berakhir di Banten.

Perjalanan kepulangan mereka menuju Mataram pada 27 Januari 1641 dikawal Kiai Narantaka atas perintah Sultan Banten. Setelah tiba di Mataram, utusan raja mempersembahkan gelar baru untuk Den Mas Rangsang yang diberikan oleh Syarif Makkah. Gelar tersebut adalah Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani. Sebelumnya, Raja Banten juga sudah menerima gelar Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Qadir dari Syarif Makkah pada 1638.

Permintaan gelar kedua raja tersebut menimbulkan pertanyaan karena yang menjadi penguasa dunia Islam adalah Turki Utsmani, bukan Syarif Makkah. Beberapa sejarawan pun mengungkapkan pendapatnya.

Raja Mataram ataupun raja Banten menganggap lebih penting untuk mengikat hubungan dengan pemilik legitimasi keturunan Rasulullah (Syarif Makkah) ketimbang menyerahkan diri mereka sebagai wilayah vasal kepada kekuasaan Turki Utsmani. Tidak hanya itu, faktor letak wilayah dan konfrontasi dengan Portugis juga berpengaruh pada pertalian antarkerajaan Islam, baik dengan sesama kekuasaan lokal maupun dengan kekuasaan internasional.

Ketika itu, kerajaan-kerajaan Islam yang terletak di pesisir dan terlibat dalam jalur perdagangan rempah-rempah harus berhadapan dengan Portugis. Kerajaan-kerajaan tersebut memiliki kesadaraan untuk melakukan perlawanan. Segala upaya dilakukan untuk mendukung perjuangan mereka, termasuk dengan menjalin kerja sama dengan kekuasaan Islam, baik lokal maupun internasional.

 
Aceh dan Jambi adalah contoh kerajaan yang meletakkan harapan pada Imperium Utsmani dalam upaya menghadapi musuh, terutama penjajah Barat.
 
 

Aceh dan Jambi adalah contoh kerajaan yang meletakkan harapan pada Imperium Utsmani dalam upaya menghadapi musuh, terutama penjajah Barat. Demi mendapatkan bantuan, kedua kerajaan itu tidak ragu untuk memosisikan kedaulatannya di bawah Utsmani.

Kondisi ini berbeda dengan kerajaan Islam yang tidak terletak di wilayah pesisir. Dukungan militer bukan menjadi orientasi hubungan kerja sama mereka dengan kekuasaan lain.

Orientasi utama kerajaan-kerajaan itu adalah membangun dan memperkuat legitimasi kekuasaannya baik di dalam masyarakat, musuh lokal, maupun berhadapan dengan kekuatan asing. Hal itu dinilai menjadi latar belakang pengiriman utusan Kerajaan Banten dan Kerajaan Mataram ke Makkah untuk mendapatkan gelar sultan.

Disadur dari Harian Republika Edisi 27 Januari 2020

Dari Pameungpeuk Dibuai Pesisir Garut

Desa Pameungpeuk berdekatan dengan beberapa pantai yang indah.

SELENGKAPNYA

Kala Tokoh Musyrik Terpesona Keindahan Alquran

Terpesonanya tokoh musyrik ini akan Alquran ternyata tidak berarti hatinya menerima Islam.

SELENGKAPNYA

Tradisi Kuliner Ramadhan, Bubur Lodeh Masjid Kauman Bantul

tradisi memasak Bubur Lodeh berasal dari abad ke-16 saat masjid ini berdiri.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya