
Safari
Dari Pameungpeuk Dibuai Pesisir Garut
Desa Pameungpeuk berdekatan dengan beberapa pantai yang indah.
Ada saja yang melarang perjalanan melalui jalur selatan Garut hari itu. Beberapa hari terakhir pada Agustus 2014, kata mereka, sudah banyak yang mengalami kecelakaan.
Jalur selatan Garut memang dinilai cukup rawan pada musim yang tak menentu beberapa bulan terakhir. Mulai dari tanah longsor, hujan, kabut, hingga jalur licin dan sempit yang berkelok-kelok.
Pesan itu tidak lantas menciutkan perjalanan kami menikmati semua pesona yang ditawarkan Kabupaten Garut, Jawa Barat. Usai menikmati keindahan Kota Garut dengan semua yang berkenaan dengan Swiss van Javanya, kami rencanakan perjalanan selanjutnya.
Menembus kaki gunung, menuruni lembah, menyapa tirai kabut yang menggelayut di beberapa kaki gunungnya. Perjalanan yang akan mempertemukan kami dengan pesona pesisir selatan Garut, puluhan pantainya yang indah.
Jalan berliku melipir di banyak kaki gunung. Sulit jika disebutkan satu per satu kaki gunung apa saja yang kami lalui. Sama sulitnya jika juga harus kami hitung berapa kelok yang kami jumpai sepanjang perjalanan. Terus mengingat pesan berhati-hati warga Garut kota, perjalanan tetap kami lalui dengan riang.
Sesekali, jendela kendaraan kami buka membiarkan harum wangi kebun teh menyusup masuk kendaraan. Banyak perkebunan teh sepanjang perjalanan mulai dari Cikajang, Cisaruni, hingga beberapa kebun teh yang dikelola perseorangan.

Persisnya, 86 kilometer perjalanan kami lalui saat itu. Tibalah di satu kecamatan yang sebelumnya saya anggap lucu namanya. Pameungpeuk, entah karena pelafalannya yang memang begitu berirama Sunda atau memang nama yang begitu unik didengar.
Pameungpeuk, satu kecamatan di selatan Kabupaten Garut. Garut sendiri memiliki total 42 kecamatan. Membuatnya terlihat gemuk, hingga wacana pemekaran wilayah Garut Selatan menjadi hal yang seksi dibahas.
Kota lama di selatan
Rencana kami bermalam di pusat Desa Pameungpeuk memang membawa kesan bertambah. Selain dari sinilah lokasi beberapa pantai terbilang cukup dekat, desa ini juga memiliki sejarah yang begitu mendalam.
Barulah saya tahu bahwa Pameungpeuk menggoreskan kisah penyebaran Islam di selatan Garut, hingga kolonialisme Belanda yang membuka pelabuhan besar sebagai dermaga distribusi yang diangkut dari selatan Jawa Barat dan Priangan Timur.
"Bangunan ini (kecamatan--Red) yang kita tempati sekarang adalah bekas kantor Kawedanan semasa Hindia Belanda," ujar Camat Pameungpeuk Asep Giridaya yang menerima kedatangan kami pada sore itu.
Kawedanan (ke-wedana-an, bentuk bahasa Jawa) adalah wilayah administrasi kepemerintahan yang berada di bawah kabupaten dan di atas kecamatan, berlaku pada masa Hindia-Belanda. Kawedanan Pameungpeuk membawahi beberapa kecamatan, seperti Caringin, Mekarmukti, Cikelet, Cikalong, hingga Cisompet.
Alun-alun Pameungpeuk, kata Asep, juga menuturkan banyak kisah. Selain tempat administratif semasa Hindia Belanda, lokasi ini juga menjadi basis latihan tentara Jepang semasa 1942-1945.
Saksi sejarah, kata camat, masih ada yang hidup sampai sekarang. Mulai dari romusha, hingga barisan tentara muda yang dikenal dengan istilah Seinendan. Beberapa pesisir pantai di Pameungpeuk, tambah Asep, tak luput dijadikan markas persembunyian berupa gua karang.

***
Geus Dipeupeuk, jadi Pameungpeuk
Dari informasi beberapa sesepuh setempat, saya mencoba menelusuri beberapa kisah yang menceritakan asal mula desa Pameungpeuk. Satu cerita yang diyakini turun temurun, Pameungpeuk awalnya merupakan satu dari bagian wilayah kekuasaan kerajaan Pajajaran (1030-1579 M).
Dulunya, desa ini masih bernama Desa Negara, berkaitan keberadaan Gunung Nagara yang memang tak jauh keberadaannya dari Desa Pameungpeuk.
Istilah Pameungpeuk barulah berawal saat Pajajaran tutup buku dan sebagian wilayahnya, termasuk Garut, menjadi bagian dari kekuasaan Sumedang Larang pada pertengahan abad ke-16. Di saat itulah, penyebaran Islam juga mulai masif masuk.
Satu cerita, Raja Sumedang Larang Prabu Geusan Ulun mendapat wasiat dari sang ayah, Pangeran Santri. Prabu Geusan Ulun diwasiati agar jika sang ayah nanti mangkat agar jasadnya dibuang ke aliran sungai.
Jika jasad sang ayah tersangkut pada satu aliran sungai itu maka di timbunlah sungai dengan batu-batuan dalam istilah Sunda disebut dipeupeuk ku batu. Artinya, jika tidak ada peristiwa pembendungan tersebut, boleh jadi Kawedanan Pameungpeuk masihlah sebuah aliran sungai yang airnya jernih mengalir ke pantai Garut selatan.
Cerita yang kemudian mengantarkan saya meniti aliran sungai, Sungai Mandalakasih namanya. Sungai yang jernih mengalir di pinggiran Desa Pameungpeuk sebelah utara alun-alun desa. Sungai Mandalakasih, ujar para orang tua setempat, merupakan sungai yang dulu bernama Sungai Cipalebuh.
Konon, nama Cipalebuh diambil dari kata lebuh, kata dalam bahasa sunda yang berarti tercebur. Lebih berkaitan dengan banyaknya prajurit Prabu Geusan Ulun yang tercebur saat membendung aliran sungai.

Hebatnya, ternyata sisa dari batu peupeuk itu masih ada dan bisa dilihat hingga sekarang. Meski tidak utuh dan besar-besar, setidaknya masih dapat ditemui di sekitaran tepian Sungai Mandalakasih.
Tumpukan batu peupeuk itu masih diamankan di sekitar pekarangan rumah milik Asep Kusyana. Batu peupeuk berada di Kampung Kaum Kaler, di belakang masjid utama Alun-alun Pameungpeuk.
"Iya betul, batu peupeuk itu diyakini yang sekarang menjadi batu yang ditumpuk-tumpuk itu," ujar Asep, sang pemilik batu.
Sejak 20 tahun menghuni rumah yang ditumpangi batu itu, banyak para peneliti datang. Baik dari mahasiswa, arkeolog, hingga wisatawan.
Namun, menurut Asep, belum ada yang memberikan informasi lebih jelas tentang kesejatian batu bersejarah tersebut. Hanya yang membuat dugaan itu menguat, letak batu itulah yang berada tepat pada siku berbeloknya aliran Sungai Cipalebuh atau Mandalakasih.
***
Fenomena Aneh di Pantai Sayang Heulang
Secara administrasi wilayah, kecamatan Pameungpeuk hanya memiliki satu pantai, pantai Sayang Heulang. Pantai ini sudah lama menjadi objek wisata pantai Garut yang terkenal dengan ombaknya yang besar.
Pantai ini terletak di Desa Mancagahar. Hanya dua kilometer dari pusat Desa Pameungpeuk.

Ombak besar bergulung-gulung menjadi cerminan tiap pantai yang berada menghadap langsung Samudra Hindia. Begitu juga dengan Pantai Sayang Heulang. Pantai yang memanjang ke arah timur, berpasir putih, dan masih terlihat asri.
Dari pintu masuk, cobalah sejenak meniti tepi pantai ke arah timur sepanjang dua kilometer. Satu yang spesial dari Pantai Sayang Heulang adalah satu tempat yang dikenal dengan nama Curugan.
Curugan berada pada lanskap pantai karang dengan latar jembatan gantung yang sudah tua. Terdapat tempat pertemuan air laut dengan sungai. Pantai Sayang Heulang memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah sekitarnya. Kondisi itu membuat fenomena yang sangat jarang, air pantai justru mengalir ke aliran sungai.
Sekretaris Desa Mancagahar Erik Setiawan mengakui, curugan itulah yang membuat spesial Pantai Sayang Heulang.
Fenomena keterbalikan aliran air itu konon hanya dimiliki dua tempat di dunia. Satu di Pameungpeuk dan satu lagi di Chicago, Amerika Serikat. "Memang dahsyat," ujarnya.
Disadur dari Harian Republika edisi 12 Oktober 2014
Reportase oleh Angga Indrawan
Editor : Nina Chairani
Di Dermaga Pulau Santolo
Pulau Santolo menyimpan banyak saksi sejarah yang berdiam diri sejak era Hindia Belanda.
SELENGKAPNYAAgar-Agar Pantai Garut, Setipis Kertas
Agar-agar kertas merupakan bahan baku pembuat dodol puding.
SELENGKAPNYASejarah Permulaan Penulisan Sirah
Penulisan biografi atau Sirah an-Nabawiyah menjadi perhatian para sarjana sejak abad-abad pertama Hijriyah.
SELENGKAPNYA