
Safari
Di Dermaga Pulau Santolo
Pulau Santolo menyimpan banyak saksi sejarah yang berdiam diri sejak era Hindia Belanda.
Lelaki itu melingkarkan tali tambang erat-erat di sebongkah batu besar. Ia tak mau perahunya lari ke mana-mana. Dan, perahu kecilnya bersandar di dermaga Pantai Cilautereun, Cikelet, Garut Selatan.
Jarak pantai ini tak kurang dari tujuh kilometer pusat Desa Pameungpeuk. Ia baru saja memarkir perahu kusamnya. Ia jejerkan rapi bersama perahu-perahu kecil milik nelayan lain.
Husnia (50 tahun), lelaki itu, adalah seorang nelayan. Malam mencari ikan, sedangkan paginya mengantarkan wisatawan ke sebuah pulau wisata. Pulau Santolo namanya. Dengan Kurnialah saya rogoh kocek Rp 50 ribu untuk berlima diantarkan ke pulau bersejarah tersebut.
Pulau Santolo merupakan pulau dengan peninggalan kolonial. Di sanalah terdapat sebuah sisa dermaga yang dibuat Hindia Belanda sebagai dermaga pengangkutan rempah-rempah.
Tarif menyeberang ke Pulau Santolo hanya butuh Rp 10 ribu untuk jasa antar pergi-pulang.Namun, dalam kesempatan itu saya meminta Husnia lebih dulu berkeliling seputaran pantai. Tak mengapa katanya, lagi pula pengunjung Santolo sedang sepi saat itu.
Perahu kecil kami berputar mengelilingi indah pasir putih Santolo yang terlihat dari kejauhan. Pantai Santolo sangat memukau. Terlebih jika menengok ke sisi utara, beberapa gunung dan bukit terlihat berdiri saling berlapis. Di balik bukit itulah Kota Garut.
Tak lebih dari 15 menit tibalah kami di Pulau Santolo, pulau bersejarah itu. Beberapa peninggalan yang tersisa masih dapat terlihat. Dinding-dinding sisa dermaga terlihat kokoh meski sebagian telah runtuh diterjang ombak atau sisa peristiwa tsunami Laut Selatan beberapa waktu silam.

Di Pulau Santolo terdapat sebuah dam/bendungan berbentuk persegi dengan luas 100x50 meter. Ketebalan dindingnya mencapai satu meter. Dinding berbahan batu karang. Merupakan sebuah bekas tempat parkir perahu-perahu Hindia Belanda sebelum berlayar menuju laut lepas di Samudra Hindia.
Sisa dam itu kini dijadikan beberapa wisatawan untuk melepaskan hobinya memancing. Sebab, di kolam bekas dermaga itu pula airnya begitu jernih dan tenang. Beberapa ikan laut berenang menggosokkan tubuhnya di lumut-lumut yang menempel di dinding dermaga.
Puluhan hingga ratusan wisatawan menjadikan Pulau Santolo ini sebagai target kunjungan. Selain arsitektur derrmaganya yang cantik, di lokasi ini wisatawan juga bisa berjalan di atas batu karang yang tingginya sejajar dengan air laut.
Artinya, bila terlihat dari kejauhan, siapa pun yang berdiri di atas karang terlihat seperti berjalan di atas air. Pesona Santolo memang tiada banding.
Nasib puing dermaga tua
Di sisi timur, kecantikan dinding dermaga menunjukkan nada tegas bahwa pelabuhan kecil ini dibangun penuh keseriusan. Satu bagian dari dinding itu merupakan pintu air, tempat mengatur ketinggian air di dermaga.
Sayangnya, kecantikan pintu air itu sedikit pudar mengetahui aksi nakal masyarakat setempat puluhan tahun silam. "Kalau dulu, alat pengatur ketinggian air masih ada, seperti keran besar dari bahan baja," ujar Kurniaman (64), salah satu warga setempat.
Tepatnya, ujar Kurniaman, perusakan dermaga terjadi pada 1970-an. Tidak hanya beberapa besi di pintu air. Dahulu, kata dia, dinding-dinding dermaga itu dikelilingi rel besi untuk melintas lori yang membawa muatan kapal. Sisa rel tersebut sudah hilang tak berbekas.
Begitulah kondisi Pulau Santolo dengan keberadaan dermaganya yang jauh dari perhatian. Padahal, sudah barang tentu pelabuhan ini demikian cantik saat pertama kali dibuat.
Berdasarkan penelusuran sejarah, dermaga Santolo dibangun pada rentang 1910-1913 sebagai jalur pembantu pengangkutan distribusi rempah Priangan Timur.
Santolo juga dikenal luas dalam sejarah dunia. Berdasarkan banyak buku terbitan Eropa, keberadan Pelabuhan Santolo masih tercatat penting.
Di dermaga sekecil itu, Santolo tetap mampu menampung 50 perahu berkapasitas angkut hingga mencapai beban lima ton.

***
Unik di Pantai Santolo
1. Tempat Pelelangan Ikan
Pantai Cilautereun, pantai yang terpisah hanya 100 meter dari Pulau Santolo diburu para wisatawan juga karena keberadaannya yang memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Bangunan TPI sendiri sudah tak lagi digunakan karena persoalan sewa tempat yang tak sanggup dipenuhi nelayan. Tapi, jangan khawatir, ikan hasil tangkapan laut masih diperjualbelikan di pelatarannya. Harga langsung dari nelayan dijamin paling murah. Bangunan TPI sendiri konon merupakan bangunan bekas tempat penumpukan rempah semasa kolonial.
2. Kuliner Ikan Bakar
Di Pantai Santolo, tak lengkap jika tak mencicip kuliner yang populer, aneka ikan bakar. Sebut saja semua penganan ikan laut, semuanya ada di Santolo. Mulai dari Kakap, Kerapu, Tuna, Tongkol, hingga Gurita.
3. Mata Lembu
Jangan takut dulu mendengar namanya. Makanan satu ini justru paling dicari wisatawan selama liburan di Pantai Santolo. Mata Lembu merupakan sejenis kerang laut yang banyak ditemui sepanjang pantai Garut. Disebut Mata Lembu karena kerang ini memiliki bagian penutup tubuh menyerupai mata sapi (lembu). Kuliner yang disajikan usai direbus, cukup berteman saus atau kecap. Nikmatnya bikin ketagihan.
4. Tempat Peluncuran Roket
Pantai ini juga terdapat sebuah stasiun tempat peluncuran roket milik Lapan (Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional). Jika bertemu momen yang pas, pengunjung juga dapat menyaksikan saat-saat peluncuran roket yang selalu dimeriahkan warga sekitar yang menyaksikan.
***
Gemuruh Karang Paranje
Butuh lebih dari 10 hari mendeskripsikan setiap detil keindahan yang ada di pantai Garut. Itu karena Garut sendiri memiliki sedikitnya 10 pantai yang membentang dari barat hingga timur. Keindahannya mewakili semua pesan, merugilah bagi mereka yang datang ke Garut tanpa menjejak atau mencicip gulungan ombak pantainya.

Saya pun mendatangi satu pantai yang tak kalah cantiknya. Memiliki karakter yang berbeda bukan bentangan pasir putih. Ini Pantai Karang Paranje, pantai yang berkarakter gugusan karang yang kokoh berbaris menentang gulungan ombak pantai selatan.
Pantai Karang Paranje berada di Desa Karyasari, Kecamatan Cibalong, sekitar 10 kilometer ke arah Sancang dari Desa Pameungpeuk. Merupakan pantai cantik dengan kumpulan karang besar. Pantainya pun berpasir hitam mengandung biji besi, berbeda dengan deret pantai sekelilingnya.
Memasuki area pintu masuk pantai, suara gemuruh sudah terdengar. Membuat hati makin tidak sabar. Suara gelegar itu datang dari deburan ombak yang mengantam gunungan karang. Atau, boleh jadi, merdu suara itu dari dentuman arus pantai yang menyelinap di antara sela-sela gunungan karang.
Memasuki pantai Karang Paranje, lebih dulu meniti jembatan yang memisahkan area daratan dengan pantai. Di sisi kanan-kiri jembatan, terdapat danau alami yang digunakan masyarakat untuk menangkap ikan. Kawasannya masih alami, sepi pengunjung.
Angin pantai bertiup kencang karena nyaris tak ada pohon kelapa. Tanaman yang tumbuh subur adalah pandan bidur yang daunnya dimanfaatkan masyarakat sebagai anyaman.

Jadilah Karang Paranje memiliki keunikan dan daya tarik tersendiri. Pantai ini juga menjadi rekomendasi untuk menikmati suasana sore hari. Menghadap lepas laut, eksotisme itu bertambah sesaat menanti matahari terbenam.
Di antara gunungan karang, terdapat sebuah paviliun yang sengaja dibangun. Membuat Pantai Karang Paranje menjadi replika Pantai Tanah Lot, Bali.
***
Seinendan dari Pameungpeuk
Wajah keriput yang tetap dipaksanya tersenyum. Segelas teh tawar hangat dipegang tangannya yang sudah gemetar. Teh tanpa gula yang dibuat sang anak yang merawatnya di usia senja. Saya bertamu ke kediaman Roin Sobana (86 tahun). Pria tua itu adalah sumber sejarah lisan, pelaku sejarah perjalanan Pameungpeuk pada saat pendudukan Jepang.
Tubuhnya tak segagah tentara. Posturnya tak tinggi, mungkin hanya 150 cm. Satu lagi yang kurang, ia tidak fasih berbahasa Indonesia. Bahasa Sunda adalah satu-satunya bahasa yang dikuasainya. Tak mengapa, ada Sekretaris Desa Pameungpeuk Dimyati yang menamani kedatangan saya. Cukup berperan sebagai penerjemah.
Roin merupakan bekas seinendan, barisan tentara muda yang dibentuk Jepang pada 1942-1945. Cerita Roinlah yang mengembalikan suasana Pameungpeuk saat banyak beberapa bangunan penting dihancurkan Jepang. Dari Roin pula diketahui bahwa Pameungpeuk merupakan basis yang diperhitungkan sebagai produsen tentara Indonesia berseragam Jepang.
"Alun-alun Pameungpeuk dijadikan tempat latihan berperang," ujarnya.
Latihan yang dikenangnya mendalam. Sesama pemuda Pameungpeuk dibuat berkelahi satu sama lain. Siapa pun yang kalah, hukuman lebih berat, bisa jadi cambuk bakal menantinya.
Roin pun mengenang saat para seinendan berjalan kaki satu hari satu malam dari Pameungpeuk menuju Garut. Berjalan kaki saat jalur belum semulus sekarang. Jurang, tanah longsor, hingga binatang buas bisa jadi ancaman.
Roin juga menginformasikan beberapa bangunan penting yang sampai sekarang masih berdiri. Seperti bangunan SDN 1 Pameungpeuk yang dulu digunakan sebagai sekolah rakyat. Bangunan sekolah yang didirikan Hindia Belanda pada 1912 dengan nama Vervoleg Schooll.
"Bangunan tua lainnya sudah banyak yang hilang, seperti penjara, gudang makanan, dan beberapa bangunan pemerintahan lainnya," ujarnya menambahkan.
Disadur dari Harian Republika edisi 12 Oktober 2014
Reportase oleh Angga Indrawan
Editor : Nina Chairani
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Dari Pameungpeuk Dibuai Pesisir Garut
Desa Pameungpeuk berdekatan dengan beberapa pantai yang indah.
SELENGKAPNYAAgar-Agar Pantai Garut, Setipis Kertas
Agar-agar kertas merupakan bahan baku pembuat dodol puding.
SELENGKAPNYASejarah Permulaan Penulisan Sirah
Penulisan biografi atau Sirah an-Nabawiyah menjadi perhatian para sarjana sejak abad-abad pertama Hijriyah.
SELENGKAPNYA