
Teraju
Dilema Atas Karya Pramoedya
Pramoedya pada masa Lekra begitu keras mengkritik posisi seterunya.
Oleh MUHAMMAD SUBARKAH
Pada hakikatnya sastra itu bersifat ideologis!" Pernyataan ini ditegaskan sastrawan sekaligus pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Maman S Mahayana. Jawaban ini dikatakan Maman setelah diajukan pertanyaan tentang ada tidaknya muatan atau pesan ideologis di berbagai karya Pramoedya Ananta Toer (ditulis pendek dengan panggilan ‘Pram’—Red).
Maman menegaskan, hakikat sastra yang pasti bersifat ideologis itu terjadi lantaran karya sastra itu jelas merupakan produk ide, gagasan, dan pemikiran. Alhasil, semua karya sastra pada dasarnya mengandung muatan ideologi paling tidak pandangan hidup pihak pengarangnya.
"Ideologi dalam pengertian di sini berkaitan dengan sikap pengarang pada keyakinan terhadap agama (kepercayaan), terhadap sikap budaya masyarakat, politik, atau perasaan kebangsaan," ujar Maman.
Adanya kenyataan seperti itulah, ketika dikaitkan dengan hasil karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer, situasinya berubah menjadi menarik. Dan, kenyataan ini semakin terasa bila kemudian mengacu pada sikap sebagian umat Islam yang masih tetap merasa ‘risi’ ketika memperbincangkan karya mantan tokoh Lekra dan pimpinan Bintang Timur ini. Sampai sekarang terlihat jelas kalangan Islam masih banyak yang bersikap antipati terhadap karya Pram itu.
Kenyataan ini semakin terasa bila kemudian mengacu pada sikap sebagian umat Islam.
****
Maman mengakui, memang tak gampang menghilangkan stigma soal masa lalu Pram ini. Namun, kata dia, untuk menyamaratakan bahwa seluruh umat Islam masih trauma ketika melihat atau membaca karya Pram, hal itu juga terasa berlebihan.
Apalagi, di kalangan umat Islam sendiri banyak sekali kelompok atau firkah-nya yang kadang punya pendapat berbeda, bahkan kerap bertolak belakang.
“Publik (kaum Muslim) yang mana? Muhammadiyah, NU, FPI, masyarakat Islam, pesantren, perkotaan, atau kaum intelektual Islam di negeri ini? Saya pikir, klaim itu asumsi belaka yang tidak berdasar. Jika ada sejumlah orang (yang kebetulan beragama Islam) menuduh karya-karya Pram cenderung sinis dalam menggambarkan tokoh-tokoh Islam, pandangan itu tidaklah mewakili sikap umat Islam (Indonesia) secara keseluruhan,” kata Maman.
Menurut Maman, soal pandangan pada hasil karya Pramoedya itu juga berkaitan dengan perkara tafsir. Bagaimanapun, hakikat karya sastra yang menampilkan/ketaksaan (ambigu) menggiring pembacanya memaknai karya itu berdasarkan pengalaman baca dan penafsirannya. Di sinilah kemudian, pemaknaan karya sastra (yang baik) cenderung beragam, tidak seragam, tidak satu tafsir, meski acuannya teks yang sama.
Meski begitu, Maman menyatakan bisa dimengerti bila Pram dianggap cenderung sinis terhadap Islam. Namun, asumsi ini juga harus ditanya balik, yakni dari sisi Pram yang sebelah mana? Dan, agar lebih ‘sistematis’, hal itu perlu dilihat dari tiga fase perjalanan kepengarangan dia dalam konteks sejarah kesusastraan Indonesia.
Bisa dimengerti bila Pram dianggap cenderung sinis terhadap Islam.
Fase pertama, sejak beberapa cerita pendeknya dipublikasikan akhir dasawarsa 1940-an (1947-1949) dan terbitnya novel Keluarga Gerilya (1950) sampai tahun 1957-an. Pada kurun ini, Pram banyak menghasilkan cerpen dan novel serta berbagai artikel yang dimuat di surat kabar dan majalah.
“Fase kedua terjadi sejak Pram resmi diangkat sebagai anggota Pleno Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dalam Kongres underbouw PKI. Pada fase ini, karya-karya Pram hampir seluruhnya berupa karya nonfiksi,’’ ujar Maman.
Sedangkan, karya nonfiksinya hanya dua, yakni cerita pendek (cerpen) berjudul Paman Martil yang terbit berkaitan dengan perayaan Ulang Tahun PKI tahun 1965 dan dimuat di rubrik budaya “Lentera Bintang Timur”. Cerpen ini berbicara mengenai semangat berkorban rakyat jelata dalam mengusir kolonialisme Belanda.
Sedangkan, satu karya Pram yang lain pada fase ini adalah cerita bersambung “Gadis Pantai” yang dimuat di Bintang Timur, 21 Juli–24 Oktober 1962.
Dalam cerita ini, dikisahkan gambaran seorang perempuan pesisir, gadis pantai, dipaksa ‘dijual’ ayahnya kepada seorang Bendoro, yang konon sudah dua kali ibadah haji dan khatam Alquran. Namun, secara keseluruhan yang menjadi sasaran kritik Pram bukan (agama) Islam, melainkan perilaku orang Islam yang feodal dengan segala kepriayiannya.
“Menurut saya, jika hendak menelusuri sikap Pram pada kebudayaan Islam, atau orang-orang Islam, kehidupan politik, atau serangan terhadap lawan-lawan politiknya, esai-esai Pram yang dimuat di ruang budaya Lentera, Bintang Timur, jauh lebih eksplisit ketimbang menelusuri lewat karya-karya fiksinya,” kata Maman Mahayana.
Secara keseluruhan yang menjadi sasaran kritik Pram bukan (agama) Islam.
Pernyataan Maman sejalan dengan apa yang ditulis sastrawan penandatangan Manifes Kebudayaan, Bokor Hutasuhut (Majalah Horison, Agustus 2006). Menurut dia, pada pertengahan tahun 1950-an, dia sempat berdecak kagum kepada karya Pram yang saat itu terbit, yakni Keluarga Gerilya dan Mereka yang Dilumpuhkan.
Pram dalam diskusi sesama rekan pengarang, kemudian ditempatkan sebagai pengarang terkuat dan berbakat besar dari Angkatan 45, dan karyanya sarat dengan semangat kemanusiaan. Pram pada tahun-tahun ini kemudian masuk Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang menjadi underbouw PKI. Pram menduduki posisi penting di lembaga ini dan kemudian pada 1962 diserahi mengasuh Lembaran Kebudayaan Bintang Timur.
Pada saat itulah, Pram kemudian membuat luka hati kepada umat Islam dan mereka yang menentang komunis. Tokoh ulama dan sastrawan Islam terkemuka, Buya Hamka, menjadi salah satu sosok yang diserangnya. Bukan hanya sekadar keras, melainkan melalui tulisan di rubrik “Lentera” itulah serangan Pram terasa kencang, bahkan banyak disebut ‘kurang ajar’.
Bokor Hutasuhut menulis serangan rubrik “Lentera” yang dipimpin Pram dilakukan secara sistematis. Sastrawan dan ulama karismatik, Buya Hamka, dituduh sebagai plagiator karena ‘mencuri’ karangan orang lain. “Pada saat itu, Lekra/PKI mengampanyekan betapa bobroknya akhlak haji, kiai, sebagaimana misalnya tertuang dalam naskah karya karangan Utuy Tatang Sontani (sastrawan Lekra lainnya)," tulis Bokor.
Pada saat itu, mereka yang kontra terhadap idelogi sastra ‘realisme sosial’ sontak membela Hamka. Kritikus sastra HB Jassin dengan berani tampil menyatakan pendapat dengan argumentasi yang kuat menentang tuduhan kotor itu.
Menurut Jassin, karya Hamka, yakni novel Tenggelamnya Kapal Van der Wick bukan hasil plagiat. “Hamka hanya terpengaruh Al-Manfaluthi," tegas Jassin.
Bagi Jassin, tudingan seperti itu dilakukan dengan tujuan menghancurkan nama baik Hamka. Terkini, atas tuduhan Pram ini, Jassin pun sempat saling berkirim surat untuk memperdebatkannya.
Sastrawan dan ulama karismatik, Buya Hamka, dituduh sebagai plagiator.
Menurut Bokor, sosok Pram kemudian makin terkenal pada awal 1965. Lima bulan sebelum Gestapu PKI/Kudeta 1 Oktober, Pram mencanangkan aba-aba bahwa 1965 adalah tahun pembabatan total (Bintang Timur, 9 Mei 1965).
Lekra/PKI makin sering menggunakan ungkapan ‘Ibu Pertiwi Hamil Tua’. Pembabatan total terhadap musuh-musuh revolusi adalah merintis jalan supaya ibu pertiwi yang hamil tua selamat melahirkan bayi yang dikandungnya: negara komunis menggantikan NKRI.
“Sebagaimana diucapkan Muchtar Lubis (pemimpin koran Merdeka) sewaktu mengembalikan hadiah Magsyasya: Kata-kata yang dipergunakan Pramoedya terhadap sastrawan dan seniman nonkomunis sungguh kejam dan keji, seperti ‘Pembabatan Total’ yang berarti mereka harus dihapuskan dan tak lagi berfungsi sama sekali sebagai sastrawan atau seniman,’’ tulis Bokor Hutasuhut dalam tulisannya.
Bokor juga menegaskan, meski sempat terindikasi memimpin ‘penindasan’, Pram sampai akhir hayatnya tidak pernah meminta maaf pada sejarah secara terbuka. "Memang kita tidak boleh mengingat masa lalu hingga melupakan hari esok. Tapi, melupakan begitu saja sejarah dan memaafkan apa saja yang terjadi dalam kandungan sejarah itu juga tindakan keliru," tegas Bokor.
*****
Sementara itu, sastrawan Ahmadun Y Herfanda mengatakan, Pram melalui karyanya memang melakukan kritik terhadap perilaku sebagian umat Islam. Dan, ini dapat dipahami sebab faktanya memang sebagian umat Islam banyak berperilaku menyimpang dari ajaran agama yang seharusnya teguh dipegangnya.
“Sikap ini juga dilakukan banyak sastrawan lainnya yang juga notabene adalah beragama Islam. Seperti halnya dengan Pram. Danarno, misalnya, mengkritik soal haji. Penyair Sutardji C Bachri pun banyak mengkritik perilaku yang tak baik sebagian kamu Muslim itu. Jadi, tak hanya Pram yang melakukan kritikan seperti itu,” kata Ahmadun.
Menurut Ahmadun, bila dikaji secara lebih ‘dingin’ dan ‘jernih’, Pram sebenarnya tidak bersikap sinis terhadap Islam sebagai sebuah agama. Kalaupun saat itu keras mengkritik sastrawan Muslim, seperti Buya Hamka, atau sastrawan lainnya, seperti HB Jassin, itu lebih karena adanya perbedaan serta pertarungan ideologi dalam kesusatraan. Pram saat itu berada dalam kubu realisme sosial melakukan kritik keras kepada kelompok sastra aliran humanisme sosial.
Pram sebenarnya tidak bersikap sinis terhadap Islam sebagai sebuah agama.
“Jadi, kalau saya lihat ‘pertarungan Pram’ dengan kubu sastrawan lain, seperti kelompok Manifesto Kebudayaan yang ditokohi HB Jassin dan Yakob Sumardjo, lebih karena sekadar pertarungan politik saja. Kedua kelompok itu berebut pengaruh, namun kemudian seiring datangnya pemberontakan PKI 1965, kelompok Pram dan Lekranya itu kalah telak. Nah, setelah itu kemudian muncul opini yang sepotong-sepotong soal Pram. Akibatnya, yang terlihat lebih dominan gambaran negatifnya, yakni segala tindakan dia pada kurun waktu 1960-1965. Maka, di sini wajar bila ada pihak yang masih sinis terhadap sosok Pram tersebut,” kata Ahmadun.
Ahmadun menegaskan, setelah sempat berjumpa langsung dengan Pram tudingan bahwa Pram memang bersikap sinis terhadap ajaran agama Islam, juga tak seluruhnya benar. Apalagi, semua tahu keluarga Pram adalah sosok keluarga Muslim yang kuat.
“Saya sempat beberapa kali datang ke rumah Pram pada waktu bulan Ramadhan. Saat itu menjelang buka puasa. Di sana saya ditanya dia, apakah Anda berpuasa? Nah, ketika waktu berbuka puasa tiba, kami makan bersama Pram dan keluarga di rumah dia. Jadi, di sini saya lihat sendiri Pram tidak sinis atau anti terhadap Islam. Bahkan dari informasi yang saya terima, Pram meninggal dalam ‘keadaan Islam’. Ini faktanya," kata Ahmadun.
Diakui Ahmadun, memang bagi sebagian umat Islam merasa tindakan Pram sewaktu zaman jayanya Lekra dan PKI sangat keterlaluan. Dia gampang dan gamblang menyerang pihak lain yang tak sepaham.
“Namun, kemudian almarhum Buya Hamka sudah memaafkannya meski dia menjadi korban kritik Pram yang keras itu,” ujarnya menandaskan.
Disadur dari Harian Republika Edisi 1 November 2013
Cegah Politisasi Puasa
Puasa itu membela yang lemah karena dilemahkan dan membantu yang miskin.
SELENGKAPNYAMisteri Hubungan Jawa dengan Imperium Utsmani
Sistem kepangkatan di dalam pasukan Pangeran Diponegoro juga dibuat sesuai dengan Turki Utsmani.
SELENGKAPNYADari Pameungpeuk Dibuai Pesisir Garut
Desa Pameungpeuk berdekatan dengan beberapa pantai yang indah.
SELENGKAPNYA