Sastra
Batas Harmoni
Cerpen Tuti Aryani
Oleh TUTI ARYANI
Malam itu, kerlip lampu hias berpendar keemasan, menghidupkan setiap sudut aula desa Karya Mekar. Sorak sorai, tawa riang, dan alunan musik tradisional berpadu menciptakan simfoni kebahagiaan. Pesta perayaan ulang tahun desa ke-50 yang kutata, akhirnya semarak seperti impianku. Tapi aku, di tengah riuhnya, berdiri sendiri. Sebuah hampa menggerogoti, menggerogoti hingga ke dasar tulang. Aku menunduk, memandangi rangkaian bunga Anggrek Bulan kesayanganku, yang tadinya berjajar rapi sebagai hiasan utama. Kini, ia tergeletak lemas, beberapa kelopaknya terlepas, terinjak-injak tanpa bekas oleh sepatu-sepatu yang lalu lalang. Tak ada yang menyadarinya, tak ada yang peduli. Hanya aku.
Bunga itu adalah metafora, aku tahu sekarang. Metafora untuk diriku.
Saat itu aku sadar, kebahagiaan yang kusaksikan, keceriaan yang kubangun dengan segenap jiwa, adalah hasil dari diriku yang terinjak-injak, terluka, dan tak berdaya. Aku memejamkan mata. Ingatanku terbang jauh, ke hari-hari sebelum malam ini, ke awal mula semua pengorbanan yang tak kunjung terbalas.
Aku adalah Maya, pemilik toko bunga "Taman Maya" di jantung desa Karya Mekar. Tokoku kecil, namun selalu ramai. Bukan hanya karena bunga-bunga segarnya yang beragam, tapi juga karena aku. Setidaknya, begitu yang orang-orang bilang.
“Pagi, Mbak Maya!” Sapa Bu Ratna, tetangga sebelah tokoku. Ia baru saja selesai menjemur pakaian. “Sibuk sekali, ya? Dari subuh sudah wangi bunga di sini.”
Aku tersenyum, menyirami pot mawar yang baru saja kuberi pupuk. “Ah, Bu Ratna bisa saja. Ini baru mulai. Butuh bunga untuk meja makan, Bu? Stok baru datang, segar-segar!”
“Nanti saja, Mbak. Tapi… ah, bisakah Mbak Maya nanti mampir sebentar? Anak saya, Rendra, itu, nilainya jeblok lagi. Mungkin Mbak Maya bisa memberinya semangat atau paling tidak memberinya bunga yang bisa bikin dia lebih semangat belajar?” pintanya, dengan nada yang—aku tahu—sulit kutolak.
Aku mengangguk cepat. “Tentu, Bu! Nanti sore saya mampir. Sekalian saya bawakan bunga Matahari, biar Rendra semangatnya seperti matahari!”
Bu Ratna langsung berbinar. “Ah, Mbak Maya memang malaikat penolong kami! Terima kasih banyak!”
Itu adalah rutinitas pagiku. Selalu ada yang datang, bukan hanya membeli bunga, tapi juga meminta ‘bantuan kecil’ dariku. Dan aku, dengan senang hati, selalu mengangguk. Aku percaya, kebahagiaan sejati adalah ketika kita bisa menjadi jembatan bagi orang lain. Melihat senyum di wajah mereka adalah upah terbaik. Aku tidak pernah menghitung waktu yang tersita, tenaga yang terkuras, atau bahkan sedikit keuntungan yang hilang karena terlalu banyak memberi diskon atau bonus bunga gratis. Bagiku, itu semua adalah bagian dari ‘kebersamaan’ yang kuhargai di atas segalanya.
Desa Karya Mekar adalah rumahku, dan aku merasa aku adalah pilar bagi rumah ini. Keluarga, teman, tetangga, bahkan anak-anak yang hanya lewat di depan toko—semua merasa nyaman meminta bantuan atau sekadar berbagi cerita. Aku suka peran ini. Peran sebagai si penolong, si pendengar, si pemecah masalah. Aku merasa dicintai dan dibutuhkan.
Namun, di balik senyumku yang lebar, ada sedikit kelelahan yang selalu kuusir. Semacam bisikan samar yang mengatakan, "Apakah kamu tidak lelah, Maya?" Aku selalu menepisnya, meyakinkan diri bahwa ini semua demi harmoni. Harmoni, kata itu seperti mantra bagiku.
Hari-hari menjelang perayaan ulang tahun desa ke-50, desa Karya Mekar benar-benar berubah menjadi sarang lebah. Dan aku, tentu saja, menjadi salah satu ratu lebah paling sibuk. Sebagai kepala seksi dekorasi, aku sudah berhari-hari begadang, merancang tema, memilih bunga, dan berkoordinasi dengan para sukarelawan. Mataku terasa berat, lingkaran hitam mulai samar-samar menghiasi bawah kelopak mata. Tapi setiap kali aku melihat senyum di wajah panitia lain, kelelahan itu seolah menguap.
Pagi menjelang puncak perayaan, aku sedang memeriksa kembali daftar perlengkapan ketika ponselku bergetar. Nama Sita, sahabatku sejak SD, tertera di layar.
“Halo, Sit. Ada apa?” sapaku, nada ceria kubuat sekuat mungkin.
“Mayaaa! Maaf sekali, aku benar-benar tidak bisa membantu pengadaan lampu hias itu,” suara Sita terdengar cemas, tapi ada nada ceroboh yang kukenali. “Anakku tiba-tiba demam tinggi. Aku harus membawanya ke kota sekarang.”
Dahiku berkerut. “Lho? Bukannya jadwal periksa anakmu besok? Bukannya demamnya sudah turun kemarin?” Aku ingat betul Sita bercerita anaknya sudah membaik.
“Ah, bukan! Ini demam yang lain! Yang lebih parah! Pokoknya aku harus pergi sekarang juga. Jadi… soal lampu, tolong sekali ya. Aku benar-benar mengandalkanmu. Kamu kan memang jagonya Maya, aku percaya kamu bisa!”
Percaya. Kata itu. Dia selalu menggunakannya untuk membebani aku.
Aku menarik napas dalam. Pengadaan lampu hias adalah tugas Sita sepenuhnya, dan hari ini adalah batas akhir untuk memastikan semuanya terpasang. “Tapi, Sit, aku… aku sudah ada janji dengan Pak Mardi untuk meninjau penataan panggung.”
“Sudahlah, panggung kan bisa diurus nanti. Lampu lebih penting, tahu! Kalau gelap, bagaimana mau pesta? Sudah ya, aku buru-buru. Nanti kabari kalau sudah beres!” Sita langsung menutup telepon tanpa menunggu jawabanku.
Aku menatap ponselku yang kini gelap. Sebutir peluh dingin menetes di pelipisku. Rasanya seperti ada tangan tak kasat mata yang tiba-tiba menaruh beban karung beras di pundakku. Padahal, yang seharusnya kulakukan adalah memastikan bunga-bunga dekorasi utama tidak layu dan panggung tertata rapi.
Belum sempat aku memproses kekesalan samar yang mulai merayap, ponselku kembali berdering. Kali ini, nama Dani, adikku, muncul.
“Halo, Dan?”
“Mbak! Kamu di mana? Aku butuh bantuan! Cepat ke kantorku sekarang!” Dani terdengar panik.
Aku menahan napas. “Ada apa, Dani? Aku sedang di desa, sibuk sekali mengurus perayaan.”
“Ini penting, Mbak! Sangat penting! Aku lupa mengirimkan laporan penting ke atasan. Kalau tidak dikirim sekarang, aku bisa dipecat! Kamu kan jago komputer, Mbak. Tolong cek, mana yang salah!”
Aku memijat pelipisku. “Dani, kamu bisa mengirim laporannya sendiri. Bukankah kamu sudah diajari? Dan kalaupun ada yang salah, bisa kamu cek ulang pelan-pelan. Aku tidak bisa ke sana sekarang, benar-benar tidak bisa.”
“Mbak! Demi adikmu ini! Apa gunanya punya kakak kalau tidak bisa diandalkan? Kalau aku dipecat, bagaimana aku bayar cicilan? Nanti ibu bisa kecewa lho, Mbak!”
Ancaman itu. Lagi-lagi ancaman yang sama. Kata ‘ibu bisa kecewa’ selalu jadi senjata ampuh Dani. Aku selalu ingin jadi kakak yang baik, yang selalu ada untuk adiknya. “Baiklah, baiklah. Kirim saja file-nya ke emailku. Akan kucoba bantu dari sini sambil menunggu Pak Mardi.” Aku menyerah.
“Nah, begitu dong, Mbakku sayang! Makasih banyak ya!” Suara Dani langsung berubah ceria, seolah masalah sebesar gunung es tadi sudah menguap begitu saja. Ia memutuskan teleponnya bahkan sebelum aku sempat menjawab.
Aku memandang sekeliling toko bunga. Bunga-bunga mawar, lili, dan krisan seolah ikut menyaksikan kekalahanku. Beban di pundakku terasa semakin berat, menarikku ke bawah hingga rasanya aku bisa tenggelam dalam lautan tugas dan permintaan orang lain. Kelelahan fisik itu, kini bercampur dengan lelah mental.
Malam itu, aku duduk di meja kerjaku, laptop di depanku menampilkan file laporan Dani yang rumit. Di telingaku, ponsel terselip, aku sedang menelepon vendor lampu di kota.
“Maaf, Bu, bisa kami usahakan pengiriman ekspres?” tanyaku, memohon. “Ini untuk acara besar desa kami. Kami sangat membutuhkan lampu-lampu itu.”
“Tapi ini sudah mendadak sekali, Bu,” jawab suara dari seberang. “Paling cepat besok pagi. Dan itu pun dengan biaya pengiriman dua kali lipat.”
Aku menghela napas. Dua kali lipat. Itu berarti aku harus mengeluarkan uang dari kantong pribadiku, karena anggaran desa sudah mepet. Tapi, demi kelancaran acara, aku akan melakukannya. “Baiklah, tidak apa-apa. Tolong diusahakan secepatnya ya, Bu.”
Selesai menelepon, aku beralih ke laporan Dani. Otakku sudah berasap. Aku mengutak-atik angka, mencoba mencari celah kesalahan, dan memperbaiki format. Tiba-tiba, ponselku bergetar lagi. Pesan masuk dari Sita.
“Lampunya sudah beres, kan? Kamu kan memang jagonya Maya, aku percaya kamu bisa. Aku mau istirahat nih, lelah sekali seharian mengurus anak. Besok pagi baru bisa kembali ke desa. Sampai jumpa di pesta!”
Membaca pesan itu, ada sesuatu yang merobek di dalam diriku. Sebuah luka lama yang kututup rapat, kini terasa menganga. Luka-luka kecil masa lalu, di mana kebaikanku selalu dieksploitasi tanpa timbal balik. Saat aku rela tidak jajan demi membelikan Dani mainan kesukaannya, tapi dia tidak pernah mau berbagi saat aku butuh. Saat aku rela begadang mengerjakan tugas kelompok Sita, tapi dia hanya tidur dan memuji "Kamu memang yang terbaik, Maya!".
Kata-kata Sita, "Kamu kan memang jagonya Maya, aku percaya kamu bisa," kini terasa seperti belati yang menancap. Bukan pujian, melainkan beban. Aku selalu menjadi "jagoan" mereka, orang yang "bisa diandalkan", orang yang "paling baik". Tapi, apakah mereka pernah membalasnya? Pernahkah mereka mempertimbangkan perasaanku, batasan tenagaku?
Aku menatap pantulanku di layar laptop. Wajahku pucat, mataku memerah. Untuk pertama kalinya, energi ‘tanpa batas’ yang selalu kubanggakan, terkuras habis, digantikan oleh kelelahan yang mendalam. Sebuah pertanyaan pahit muncul: Apakah ‘kebersamaan’ yang kujaga ini hanya satu arah? Apakah aku hanya sebuah alat untuk kebahagiaan orang lain?
Aku merasa… sendirian. Di tengah hiruk pikuk persiapan, di tengah harapan semua orang, aku merasa begitu sepi.
Malam perayaan tiba. Lampu-lampu hias, yang akhirnya kubayar lebih mahal dan kudapatkan dengan susah payah, menyala indah, menerangi setiap sudut aula desa. Bunga-bunga rancanganku, hasil begadang berhari-hari, terpajang megah. Aku melihat wajah-wajah bahagia, mendengar gelak tawa, dan sesaat, aku merasa puas. Ini adalah hasil kerjaku.
Tapi kepuasan itu hanya sesaat.
Aku berjalan menyusuri keramaian, mencoba menemukan sedikit kebahagiaan untuk diriku. Aku melewati area utama, tempat sekelompok bunga rancanganku yang paling indah—Anggrek Bulan putih yang langka, sengaja kupesan dari luar kota—diletakkan. Aku ingin memastikan bunga-bunga itu baik-baik saja.
Namun, yang kutemukan adalah pemandangan yang membuat hatiku mencelos. Bunga-bunga itu, yang kuhias dengan detail dan kusimpan paling terakhir, kini terinjak-injak oleh keramaian. Potnya miring, kelopak-kelopaknya lepas, batangnya patah. Aku melihat jejak sepatu di atasnya. Tak ada yang berhenti, tak ada yang melihat, tak ada yang peduli. Semua terlalu sibuk dengan kegembiraan mereka sendiri.
Momen kecil itu menjadi tetes terakhir yang memenuhi gelas. Di tengah kemeriahan yang kubangun dengan segenap hatiku, aku merasa hampa dan sendirian. Bunga-bunga itu adalah aku. Keindahan yang kuberi, kini terinjak, tak dihargai.
Aku berdiri di sana, di antara hiruk pikuk, air mata menggenang di pelupuk. Hatiku berteriak, ‘Cukup!’
Aku dihadapkan pada pilihan sulit. Apakah aku akan terus membiarkan diriku terkuras demi senyum orang lain, demi menjaga reputasiku sebagai "si baik hati" yang tak pernah menolak, bahkan jika itu berarti mengorbankan kesehatanku, kebahagiaanku sendiri? Atau aku akan mulai membangun batasan? Batasan yang mungkin membuat orang-orang kecewa, membuat mereka marah, bahkan membuat mereka menjauh. Tapi batasan itu, batasan itu, akan menyelamatkan diriku.
Pilihan itu terasa seperti jurang di depanku. Melangkah maju berarti jatuh, tapi tetap di tempat berarti mati perlahan. Aku tahu aku harus memilih.
Perayaan usai. Satu per satu warga desa pulang, membawa sisa-sisa euforia. Aku menunggu sampai aula benar-benar sepi, hanya ada aku dan sisa-sisa dekorasi yang berserakan. Anggrek Bulan yang terinjak-injak itu masih di sana, menjadi saksi bisu.
Aku duduk di salah satu kursi lipat, di antara puing-puing kebahagiaan yang orang lain nikmati. Ponselku bergetar. Pesan dari Dani.
“Mbak, terima kasih banyak ya sudah bantu laporan. Aku lolos! Besok aku mau minta bantuan lagi nih, tolong bantu aku siapkan presentasi untuk minggu depan ya. Kamu kan paling jago presentasi!”
Aku membaca pesan itu. Tidak ada amarah, tidak ada kekecewaan. Hanya sebuah ketenangan yang tiba-tiba menguasai diriku. Aku mengetik balasan:
“Syukurlah kalau laporanmu lolos, Dan. Untuk presentasi, aku akan bantu, tapi tidak besok. Besok aku butuh istirahat. Aku akan menghubungimu lusa, setelah aku cukup tidur.”
Aku tidak menunggu balasannya. Aku tahu, Dani mungkin akan protes. Mungkin ia akan merengek. Tapi untuk pertama kalinya, itu tidak lagi menakutiku.
Kemudian, aku membuka pesan dari Sita.
“Seru sekali pestanya, Maya! Lampunya keren banget! Kamu memang the best! Nanti kapan-kapan kita ngopi-ngopi ya!”
Tidak ada ucapan terima kasih tulus untuk pengorbananku, hanya pujian kosong dan ajakan yang lagi-lagi seolah menuntut perhatianku. Aku tersenyum tipis.
Aku membalasnya:
“Terima kasih, Sita. Senang pestanya berjalan lancar. Soal lampu, lain kali, tolong pastikan kamu sudah bertanggung jawab penuh ya. Itu tugasmu. Aku harus istirahat sekarang.”
Aku tahu, balasan itu bukan keluhan, melainkan pengingat halus tentang tanggung jawab. Pengingat bahwa kebaikan tidak berarti kebodohan.
Ketenangan menyelimutiku. Kekuatan internal yang baru, sebuah nyala api kecil yang kutemukan kembali di dasar hatiku, mulai menghangatkanku. Aku menyadari, ‘kebersamaan’ sejati tumbuh dari rasa saling menghargai dan batas-batas yang jelas, bukan pengorbanan buta yang menghabisiku. Aku juga menyadari, demi menjaga nyala api dalam diriku, aku harus terlebih dahulu melindungi hatiku sendiri.
Aku memandang ke arah Anggrek Bulan yang layu. Aku akan menanam kembali benih yang baru. Aku akan merawatnya. Kali ini, untuk diriku sendiri. Ini adalah awal dari perjalanan baruku. Perjalanan menjaga diri, menetapkan prioritas yang lebih sehat.
Tapi bagaimana reaksi Dani dan Sita? Akankah mereka mengerti? Atau akankah mereka melihatku sebagai orang yang telah berubah, orang yang tidak lagi ‘baik hati’ seperti yang mereka kenal? Pertanyaan itu menggantung di udara, sama seperti fajar yang samar-samar mulai menyingsing di timur, membawa janji pagi yang baru, namun juga ketidakpastian akan hari esok. Dan aku, aku harus siap menghadapi itu.
Tuti Aryani berasal dari Teluk Betung Utara, Bandar Lampung. Ia bisa dihubungi di alamat email aryanituti97@gmail.com
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
