Pengurus masjid Jogokariyan, Yogyakarta, Ustadz HM Jazir ASP. | Dok Republika

Opini

Masjid, Pemuda, dan Masa Depan Islam Indonesia

Oleh KH MUHAMMAD JAZIR ASP

 

Mendung kedukaan masih memayungi masyarakat Indonesia terkait berpulangnya Ustaz Muhammad Jazir ASP, sang pelopor pemberdayaan masjid. Tak sedikit pula mutiara pesan yang diwariskan pada Muslim Indonesia. Berikut salah satunya, dikutip dari buku "Manifesto Masjid Nabi: Rumah Allah yang Memihak Rakyat" yang disunting oleh pustakawan Yogyakarta Yusuf Maulana:

Secara ideologis, saya punya keyakinan bahwa Indonesia bukanlah negara Islam. Indonesia itu Muslim State, bukan Islamic State. Saya berpegang teguh pada konsep Masyumi. Lain halnya dengan NII (Negara Islam Indonesia), yang gerakannya saya pandang sebagai sebuah ‘kecelakaan’. NII lahir bukan karena sedari awal umat Islam menyokong. Pandangan ini pernah saya tulis di majalah Kiblat edisi tahun 1983. 

Sampai hari ini pun saya masih memegang hasil Kongres Umat Islam I yang menghasilkan keputusan bahwa perjuangan umat Islam di Indonesia adalah perjuangan parlementer. Menerima demokrasi tapi demokrasinya adalah demokrasi yang sesuai dengan Pancasila, bukan demokrasi liberal. Saya menganggap demokrasi perwakilan itu sebagai ijma para ulama yang menghadiri Kongres Umat Islam. 

Ada sebuah disertasi dari mahasiswa Jepang yang memetakan aktivis pemuda masjid Indonesia. Saya dikelompokkan sebagai tokoh-tokoh yang neo-Masyumi bersama Yusril dan Jimly. Sebagian nama yang lain dikelompokkan sebagai neo-NII. 

Keberadaan kelompok pergerakan Islam atau harakah memang tidak bisa dielakkan. Dulu, masjid kampus bisa menjadi pemersatu, yang dari sini para aktivisnya kemudian membangun masjid-masjid kampung. Hasilnya, masjid-masjid kampung berkembang. Bandingkan yang terjadi pada hari ini, yaitu ketika masjid kampus menjadi tempat gesekan antar-harakah. Imbasnya pun turut dirasakan di masjid-masjid kampung.

Aktivis masjid kampus hingga era 1980-an dan paruh awal 1990-an menyadari bahwa mereka memiliki keterbatasan dalam ilmu Islam. Untuk itu, mereka mau belajar tentang Islam. Gerakan Back to Mosque yang dicetuskan Bang Imad (Imaduddin Abdulrahim) sungguh luar biasa karena masjid kampus benar-benar bisa mempersatukan semua kelompok. Masjid kampus melahirkan anak-anak muda yang menjadi muwahhid. Karena itulah di dalam logo BKPMI ada kalimat la ilaha illallah. 

Pergerakan BKPMI sendiri bisa diistilahkan meliputi kelompok langit dan bumi. Yang berbasis langit berupa matahari adalah Muhammadiyah dan Persatuan Islam; yang berupa bulan bintang adalah Masyumi. Sedangkan yang berbasis bumi ada Nahdlatul Ulama. Pemuda masjid itu ibarat syajaratun thayyibah; ia menjembatani gerakan bumi dan langit.

Dasarnya secara ideologis adalah surat Ibrahim ayat 24-25. “Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan, sebatang pohon yang akarnya menghujam ke bumi dan batangnya menjulang ke langit dan buahnya keluar setiap musim. Tidak mengenal waktu atas izin Tuhannya.”

Inilah gambaran tentang pemuda masjid. Di sini kuncinya. Akarnya ke NU, sebagai representasi bumi. Ke langit ada matahari dan bulan bintang ada Muhammadiyah dan Masyumi. Nah, yang berada di tengahnya itulah pemuda masjid. Jadi, kita menyambung antara yang di bumi dan yang di langit dan itu berhasil disatukan pada dekade 1980-an. Alhasil, dari masjid kampus ke masjid kampung sehingga masjid-masjid terbuka bagi semua kelompok dan tidak lagi teridentifikasi ke salah satu pihak saja.

Tahun 1980 Litbang Kementerian Agama melakukan penelitian tentang dampak mengendurnya ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah. Dari penelitian itu disimpulkan bahwa mengendurnya ormas Islam memunculkan yayasan-yayasan keislaman dan Islamic Center.

Yayasan Islam dan Islamic Center muncul ketika ada kesadaran umat dalam memakmurkan masjid. Waktu itu sampai ada pernyataan dari pejabat di Kementerian Agama, “Sekarang tidak perlu NU-NU-an atau Muhammadiyah-Muhammadiyahan. Yang penting di masjid!” Pernyataan semacam itu menjadi representasi pemikiran masa itu. Alhasil, masjid-masjid pun menjadi netral secara afiliasi karena tidak di NU ataupun Muhammadiyah. Badan hukumnya yayasan-yayasan yang kemudian memunculkan Islamic Center. Mereka tidak mau digolongkan sebagai NU ataupun Muhammadiyah.

Itulah hasil dari gerakan Bang Imad, Back to Mosque. Sungguh luar biasa. Betapa tidak, bermunculan yayasan dan Islamic Center yang tidak lagi mengikuti pakem bahwa kalau sebuah masjid bukan NU maka Muhammadiyah, begitu pula sebaliknya. Maraknya yayasan Islam dan Islamic Center, pada waktu yang bersamaan, mematikan kegiatan struktur terbawah organisasi seperti NU dan Muhammadiyah. Pada dekade itu baik ranting-ranting NU dan Muhammadiyah bisa dikatakan mati. 

Struktur ormas Islam di tingkat bawah kembali bergeliat dan bahkan berbenturan keras selepas kekuasaan Orde Baru jatuh. Amien Rais membentuk Partai Amanat Nasional yang berbasis Muhammadiyah; Abdurrahman Wahid atau Gus Dur membentuk Partai Kebangkitan Bangsa. Struktur-struktur di bawah NU ‘dihidupkan’ lagi untuk selanjutnya berhadapan dengan Muhammadiyah.

Di era pasca-Orde Baru pula masjid-masjid diwarnai dengan kemunculan gerakan Islam atau harakah. Sebelum itu, kalangan harakah sebenarnya sudah hadir, terutama di masjid-masjid kampus. Dekade 1980-an saya sudah berinteraksi dengan mereka, bahkan tak sedikit di antaranya adalah junior atau binaan saya di pemuda masjid. 

 

Kemunculan para aktivis gerakan

Islam itu bermula dari program Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) yang didirikan oleh Mohammad Natsir. Pak Natsir inilah yang mengirimkan jebolan pesantren-pesantren untuk kuliah di Arab Saudi dengan dibiayai oleh Rabithah ‘Alam Islami. Pak Natsir adalah salah satu pendiri dan pejabat teras di organisasi yang berkedudukan di Mekah itu. Setelah para mahasiswa itu lulus dari Saudi, mereka ‘dititipkan’ di DDII. Saya terlibat di DDII Yogyakarta yang ketika itu diketuai oleh AR Baswedan. Saya ditempatkan di bagian dakwah kampus, dan penempatan ini ada andil Pak Natsir.

Pak Natsir adalah sosok yang saya cukup dekat dengannya. Ketika menghadapi kebimbangan dalam mengambil keputusan di DDII, saya berkonsultasi dengan beliau. Suatu ketika saya mendapatkan undangan melawat ke Iran untuk mengikuti peringatan revolusi Islam di bawah Ayatollah Khomeini. Saya diundang bersama KH R Abdullah bin Nuh, Husein al-Habsyi, dan Mudzakkir. “Tidak usah berangkat. Itu Syiah,” ujar Pak Natsir.

Akhirnya tiket saya serahkan ke seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM yang baru lulus dan belum punya kegiatan. Lelaki asal Pekalongan inilah yang menggantikan saya ke Iran. Namanya Ahmad Baraqbah. Sepulang dari Iran, dia kembali lagi ke sana menimba ilmu selama tujuh tahun. Balik ke Indonesia, ia menjadi imam kalangan Syiah.

Sementara itu, banyak alumni dari Arab Saudi yang berkiprah di DDII membawa paham Salafi. Ada Chomsaha Sofwan yang lebih dikenal publik sebagai Abu Nida. Nama lainnya adalah Ahmad Faiz Asifuddin yang aktif di Ihya’ As-Sunnah. Boleh dikatakan, awal keberadaan gerakan Salafi di Indonesia ada andil saya dalam memfasilitasinya. Mereka bisa masuk ke kampus-kampus dan akhirnya ke kampung-kampung. Saya membantu Abu Nida mencarikan tanah untuk pesantren yang didirikannya, yang akhirnya menempati tanah Sultan Ground di Piyungan, Bantul, DI Yogyakarta.

Sampai pada masanya keberadaan kelompok dakwah maupun harakah Islam yang bermacam-macam justru memperlemah peran masjid kampus dan bahkan berimbas hingga ke masjid kampung. Beberapa tahun ke belakang, remaja-remaja masjid kampung mulai takut karena masjid tempat mereka beraktivitas mulai diwarnai kalangan kelompok dakwah atau harakah yang satu sama lain malah saling menjatuhkan. 

Masjid Jogokariyan pun pernah mengalaminya ketika ada kelompok pengajian yang masuk dan ingin mendesakkan corak pemikirannya yang keras. Saya kenal sosok pendiri kelompok pengajian ini, termasuk rekam jejak di masa lalunya. Saya tidak ingin rakyat melihat masjid kami sebagai tempat perebutan pengaruh antarkelompok. Padahal, dampaknya adalah muncul ketakutan untuk terlibat di aktivitas masjid. Masjid seharusnya bisa menyatukan, menjadi tempat bernaung semuanya. Sayangnya, kalangan harakah sering kali tidak bisa bersatu di antara sesama mereka.

Di samping itu, masjid menjadi pusat kesejahteraan rakyat. Harus kita buktikan bahwa konsep Islam itu riil membuat masyarakat senang, makmur, dan sejahtera. Mereka tidak takut dengan Islam, yang semua itu harus diwujudkan sampai tingkat bawah di masjid. Inilah keyakinan saya ketika membangun revolusi kemasjidan. 

Oleh karena itu, di Masjid Jogokariyan tidak boleh ada kelompok-kelompok luar yang masuk dan tiba-tiba membuat kebijakan berbeda dari peran masjid yang semestinya sehingga umat pun kebingungan.

Para aktivis masjid mestinya paham tentang proses berislam di umat. Segala tingkatan umat Islam haruslah diterima. Ada yang baru belajar shalat, ada yang mau belajar mengaji, namun ada juga bercita-cita mendirikan negara Islam. Ketika berada dalam satu masjid, semuanya harus sejalan dan tidak boleh dipecah. 

Itulah yang kami bangun di Masjid Jogokariyan. Bertahap jalannya sehingga ketika semua masjid bisa melakukan pembinaan maka akan bermunculan pemimpin-pemimpin dari masjid nanti yang menyatukan rakyat. Dalam konteks ini, diksi yang kami pergunakan di Jogokariyan adalah ‘rakyat’, bukan ‘umat’, supaya lebih akrab lagi dengan masyarakat. Dan diksi ‘rakyat’ dulu digunakan oleh Sarekat Islam sehingga jadilah rakyat masjid. Kalau ‘umat’ itu merujuk pada umat Muhammadiyah, umat NU, dan lain sebagainya.

Kita seharusnya meniru Rasulullah ﷺ yang memulai dakwah dengan tidak membentuk organisasi. Beliau mula-mula membentuk jamaah dalam satu kawasan, dimulai dari Yatsrib. Nabi tidak mendirikan organisasi dengan cabang di mana-mana. Yang dibangun adalah sebuah komunitas dengan aksi nyata. Ketika Islam diamalkan, terbentuklah perkampungan yang tenang lagi sejahtera. Jogokariyan menjadi laboratorium pemikiran saya tentang bagaimana Islam secara aplikatif di dalam kehidupan bermasyarakat. Nabi pun memulainya dari kampung yang kecil yang jamaahnya tak banyak sehingga saling kenal. Kalau model bergeraknya demikian, insyallah tumbuhlah masjid-masjid yang ada di negeri kita. Berikutnya, insyaallah Indonesia akan menjadi negeri islami. 

Jadi, cara mewujudkannya tidak dengan berdebat memenangkan gagasan kelompok. Entah memakai konsep Hizbut Tahrir yang mengharuskan adanya khilafah, atau konsep Ikhwanul Muslimin, Salafi, dan seterusnya. Tidak begitu memulai pembentukan masyarakat islami. Tapi, kita buat saja langsung riil per wilayah atau blok. 

Ada Jogokariyan, ada Firdaus, dan masjid-masjid lainnya. Pada akhirnya akan terbangun kampung islami yang ketika bersatu dan bertambah besar cakupannya bisa membentuk negeri islami. Jadi, kita melakukannya tidak dengan konsep mendeklarasikan berdirinya negara Islam. Bukan begitu yang saya pahami, yang berpendirian bahwa Indonesia itu Muslim State, bukan Islamic State.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat