Opini
Cegah Politisasi Puasa
Puasa itu membela yang lemah karena dilemahkan dan membantu yang miskin.
USEP SETIAWAN, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Republik Indonesia
Aristoteles (384-322 SM) menyebut manusia sebagai “zoon politicon” atau makhluk politik. Manusia membutuhkan berbagai sarana dan media untuk mengaktualisasikan syahwat politiknya. Politik identik dengan kekuasaan.
Makin luas pergaulan seseorang, makin tinggi tegangan atau tautan politis yang mengalir di urat darah kehidupannya. Sebentar lagi, umat Islam berpuasa Ramadhan. Bangsa Indonesia memasuki Ramadhan 1444 H sambil menyongsong Pemilu 2024.
Pemilu sebagai ajang kontestasi politik dari organisasi politik, sekaligus arena pertarungan politik manusia sebagai pribadi. Pemilu memberi ruang bagi manusia Indonesia menampilkan kepentingannya di panggung politik kekuasaan negara.
Ramadhan adalah bulan puasa dari segala bentuk nafsu duniawi dan ukhrawi bagi umat Islam. Tak boleh makan, minum, dan berhubungan badan suami istri pada siang hari.
Puasa juga berarti menahan godaan, seperti melihat, mendengar, dan mencium hal yang bukan haknya. Sebaiknya, umat sebagai makhluk politik menempatkan puasa sebagai momentum pengendalian diri. Bagaimana korelasi puasa (Ramadhan) dengan politik?
Puasa politik
Berpolitik adalah fitrah manusia. Semua manusia normal melakukan kegiatan politik. Guru saya bilang, bahkan seorang bayi yang baru lahir pun sudah berpolitik. Dengan tangisannya, sang bayi memengaruhi lingkungan agar memperhatikan dirinya.
Ibunya segera merangkul sang bayi dan memberikan ASI sampai tangisannya berhenti. Itu kegiatan politik kelas pemula. Memengaruhi sekitar adalah kegiatan politik. Dipengaruhi lingkungan sekitar juga dapat disebut sebagai dampak kegiatan poltik.
Saling memengaruhi dalam kegiatan kompleks manusia yang menyangkut relasi orang per orang atau kelompok per kelompok. Persaingan atau kerja sama dalam pertarungan politik inilah realitas masyarakat manusia. Semua itu mesti jeda oleh puasa Ramadhan.
Makna puasa untuk menahan nafsu, termasuk nafsu memengaruhi dan menguasai. Hal itu harus dibatasi, bahkan dihentikan supaya puasa tak kehilangan makna. Makna puasa Ramadhan akan luntur jika masih banyak manusia melakukan kampanye atas diri ataupun organisasinya.
Tidak termasuk menahan nafsu, jika masih menebar gambar dan ajakan untuk mengenal lalu memilihnya. Spanduk, baliho, flyer, dan aneka alat peraga lainnya pada bulan Ramadhan dapat “merusak” makna puasa.
Puasa disulap menjadi komoditas politik yang dikalkulasi dampaknya terhadap peningkatan polularitas, yang mengarah pada elektabilitas politiknya.
Sebagai komoditas, puasa tak ubahnya barang dagangan yang nilai makna hakikinya telah luruh sedemikian rupa. Makna puasa bergeser menjadi arena perdagangan komoditas politik yang banal diselimuti nafsu duniawi semata.
Karena itu, dianjurkan kepada umat Islam yang sekaligus makhluk politik, sepanjang Ramadhan untuk menurunkan spanduk, baliho, dan sebagainya agar tak mencederai makna puasa. Tahan nafsu meraih kekuasaan selama dan setelah Ramadhan.
Politisasi puasa
Di sisi lain, kita kerap menyaksikan kebiasaan aktor-aktor politik yang menjadikan puasa Ramadhan yang dipolitisasi. Misalnya, safari Ramadhan, buka puasa bersama, menyantuni anak yatim, membantu fakir miskin, dan kegiatan sosial lainnya.
Lengkap pula dengan liputan media massa dan media sosialnya. Puasa tak menghendaki sikap riya. Maraknya iklan di televisi, koran-koran, dan majalah, baik cetak maupun daring menjadi hal yang telanjang dari komersialisasi puasa.
Perusahaan menjual makanan dan minuman gencar mempromosikannya produknya melalui iklan media massa. Anda boleh haus atau lapar pada siang hari. Selepas Maghrib, kami siap menghidangkan aneka menu makanan dan minuman.
Puasa dijual sepenguyahan atau setegukan pangan duniawi yang kerdil dan nyaris tunamakna yang hakiki. Semangat yang dikembangkan selama dan setelah Ramadhan mestinya mengendalikan nafsu politik. Hikmah Ramadhan itu melaksanakan politik berkeadilan.
Puasa dijual sepenguyahan atau setegukan pangan duniawi yang kerdil dan nyaris tunamakna yang hakiki.
Ramadhan mestinya berdampak baik pada kehidupan politik bangsa. Umat sebagai makhluk politik harus bisa menempatkan hakikat kebenaran sebagai rujukan dari pilihan politiknya. Puasa itu membela yang lemah karena dilemahkan dan membantu yang miskin.
Ramadhan mengajarkan untuk menyaring informasi dengan saringan kejujuran. Ramadhan menjadikan segala niat dan hajat baik harus dilaksakanan pada waktu yang tepat. Ramadhan dapat mencegah penindasan dan pengisapan manusia oleh manusia lain.
Ramadhan akan menelurkan ekonomi yang berkeadilan dan berkedamaian sejati. Tanpa kebenaran dan kejujuran, puasa sekadar kewajiban individual yang manfaatnya kurang dirasakan pada perbaikan kehidupan umat manusia. Selamat melaksanakan ibadah puasa Ramadhan 1444 H.
Dari Pameungpeuk Dibuai Pesisir Garut
Desa Pameungpeuk berdekatan dengan beberapa pantai yang indah.
SELENGKAPNYASejarah Permulaan Penulisan Sirah
Penulisan biografi atau Sirah an-Nabawiyah menjadi perhatian para sarjana sejak abad-abad pertama Hijriyah.
SELENGKAPNYAKala Tokoh Musyrik Terpesona Keindahan Alquran
Terpesonanya tokoh musyrik ini akan Alquran ternyata tidak berarti hatinya menerima Islam.
SELENGKAPNYA