
Internasional
Warga Palestina Kian Terancam Pemukim Yahudi
Israel mencabut undang-undang pembongkaran pemukiman Yahudi.
YERUSALEM -- Pada 2005 lalu, Pemerintah Israel mengeluarkan kebijakan mengejutkan yang memerintahkan pembongkaran permukiman Yahudi di Tepi Barat bersamaan dengan penarikan pasukan Israel dari Gaza saat itu. Aturan tersebut kini dicabut dan menambah risiko meningkatnya kekerasan antara pemukim Israel dengan warga Palestina.
Dengan dicabutnya aturan tersebut, dapat membuka jalan kembalinya pemukim Yahudi ke wilayah Tepi Barat yang sebelumnya ilegal menjadi resmi. Hal ini semakin memperdalam krisis antarpemukim dan warga Palestina.
Pencabutan aturan itu adalah langkah terbaru oleh pemerintah sayap kanan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang didominasi oleh para pemimpin pemukim dan sekutunya untuk mempromosikan aktivitas permukiman baru di wilayah tersebut. Masyarakat internasional, termasuk sekutu terdekat Israel, Amerika Serikat, menganggap permukiman di Tepi Barat adalah ilegal dan menentang pembangunan permukiman baru di wilayah pendudukan yang diklaim oleh Palestina, demi negara yang lebih merdeka pada masa depan.

Israel mengevakuasi empat permukiman dan secara sepihak menarik diri dari Gaza berdasarkan undang-undang tahun 2005. Perdana menteri pada saat itu, Ariel Sharon, berpendapat bahwa Israel tidak akan dapat mempertahankan permukiman di bawah kesepakatan masa depan dengan Palestina.
Sejak itu, warga Israel secara resmi dilarang kembali ke lokasi tersebut, meskipun militer Israel telah mengizinkan para aktivis untuk berkunjung dan berdoa di sana. Pemerintah Netanyahu telah menempatkan perluasan permukiman di atas agendanya dan telah memajukan ribuan unit perumahan permukiman baru dan secara surut mengizinkan sembilan pos terdepan di Tepi Barat.
Padahal, pekan ini Israel telah berjanji untuk membekukan sementara persetujuan permukiman baru lebih lanjut, termasuk otorisasi pos terdepan. Kesepakatan ini awalnya sebagai bagian dari serangkaian tindakan yang dimaksudkan untuk meredakan ketegangan menjelang periode sensitif yang mencakup bulan suci Ramadhan dan Festival Paskah Yahudi.
Pencabutan undang-undang itu disahkan dalam pemungutan suara, Senin (20/3/2023) malam, dengan hasil suara 31-18 di Knesset yang berisi 120 kursi. Sementara anggota parlemen yang tersisa tidak ikut memilih.
Pemungutan suara dilakukan saat pemerintah Netanyahu mendorong rencana terpisah untuk merombak sistem peradilan negara. Sekutu Netanyahu mengeklaim pengadilan memiliki terlalu banyak kekuasaan dalam proses legislatif dan bahwa Mahkamah Agung bias terhadap pemukim Yahudi.
Kelompok yang mengkritik kebijakan Netanyahu mereformasi sistem peradilan ini mengatakan, perombakan itu akan merusak sistem check and balance negara yang rumit dan mendorong Israel ke arah otoritarianisme. Mereka juga mengatakan, dengan perubahan sistem peradilan ini, Netanyahu dapat terselamatkan dari persidangan atas kasus korupsi yang menimpanya.

Itamar Ben-Gvir, seorang ultranasionalis pemukim Tepi Barat yang sekarang menjabat sebagai menteri keamanan mengatakan pada Selasa (21/3) bahwa pencabutan larangan tersebut adalah awal dari koreksi ketidakadilan bersejarah dan ia berjanji untuk melanjutkan perluasan permukiman Yahudi di Tepi Barat.
Sementara, Palestina selalu menginginkan Tepi Barat dan Jalur Gaza sebagai negara merdeka, dengan Yerusalem timur sebagai ibu kotanya. Israel telah merebut sebagian besar wilayah itu dalam perang Timur Tengah 1967.
Sejak itu, lebih dari 700 ribu orang Israel telah terusir ke puluhan pengungsian di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Sebagian besar komunitas internasional mengatakan permukiman ilegal yang didorong Israel merupakan hambatan bagi perdamaian Israel dengan Palestina.

Dua tahun setelah penarikan Israel dari Gaza, kelompok militan Hamas merebut kendali wilayah itu dari pasukan Presiden Palestina Mahmoud Abbas. Israel dan Mesir telah memberlakukan blokade di wilayah itu, tetapi Hamas, yang menentang keberadaan Israel dan telah berperang empat kali melawan Israel tetap memegang kendali dengan kuat.
Pencabutan undang-undang itu pada Selasa dilakukan dengan latar belakang pertempuran terburuk Israel-Palestina dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini seiring meningkatnya kekhawatiran akan kekerasan yang meningkat selama Ramadhan, yang akan dimulai pada pekan ini.
Di sisi lain, pasukan Israel telah melakukan berbagai serangan ke warga Palestina, melakukan penangkapan hampir setiap malam di Tepi Barat yang diduduki selama setahun terakhir. Serangan dimulai setelah serangkaian serangan mematikan di Israel musim semi lalu dan telah memicu tanggapan sengit dari warga Palestina.

Sepanjang tahun ini, 85 orang Palestina telah gugur oleh tembakan Israel, dan pihak penyerang Palestina telah menewaskan 15 orang Israel, menurut penghitungan oleh the Associated Press.
Israel mengatakan, sebagian besar warga Palestina yang tewas adalah militan. Tapi, pemuda pelempar batu yang memprotes penyerangan dan orang-orang sipil yang tidak terlibat dalam konfrontasi juga jadi sasaran dan ikut tewas. Sementara dari pihak Israel, kematian warga sipil hanya satu orang.