ILUSTRASI Kalangan habib turut berperan dalam dakwah. | dok AP Adel Hana

Dunia Islam

Mengenal Kaum Habib, Zuriah Nabi yang Alim

Sebutan habib biasanya disematkan pada bagian dari keturunan Rasulullah SAW.

Para habib turut berperan penting dalam dinamika dakwah Islam di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Bahkan, afinitas antara mereka dan penduduk lokal tempatnya berdakwah pun terbangun dengan sangat kuat meskipun masing-masing berasal dari latar budaya yang berbeda.

Penyebabnya bukan hanya bahwa kaum habaib merupakan ulama, melainkan juga garis genealogis mereka yang sampai pada Nabi Muhammad SAW.

Sebutan habib memang merujuk pada tokoh Muslim yang biasanya masih keturunan Rasulullah SAW. Istilah lainnya adalah tuan guru yang ditujukan pada kalangan sayyid atau syarif yang berperan sebagai ulama di tengah masyarakat.

 
Sebutan habib memang merujuk pada tokoh Muslim yang biasanya masih keturunan Rasulullah SAW.
 
 

Istilah sayyid secara harfiah berarti 'tuan'. Secara tradisi, terminologi tersebut kemudian menjadi gelar bagi keturunan Fatimah az-Zahra binti Rasulullah SAW dari garis Husain bin Ali bin Abi Thalib. Sementara itu, sebutan syarif ditujukan pada keturunan Hasan bin Ali.

Secara persebaran demografis, kaum syarif cenderung menyebar dari Jazirah Arab ke wilayah Afrika Utara dan Asia Barat. Sejarah mencatat, beberapa dari mereka pernah memimpin umat, baik sebagai gubernur atau raja. Sebut saja, penguasa Maroko Raja Muhammad VI.

Ia berasal dari Dinasti al-'Alawiyyin al-Filalliyyin. Nasabnya sampai pada Hasan bin Ali. Adapun kaum sayyid cenderung berdiaspora ke arah timur Arab via Samudra Hindia, yakni India dan juga Nusantara.

Pasangan Ali dan Fathimah az-Zahra menurunkan banyak anak cucu. Di generasi kedelapan sejak mereka, terdapat seorang keturunan yang bernama Ahmad bin Isa. Julukannya ialah al-Muhajir, barang kali lantaran dirinya berhijrah dari Irak ke Arab Selatan atau Yaman.

Sebagai seorang mubaligh, ia terus menyebarkan ilmu dan syiar Islam kepada siapapun yang dijumpainya. Sampailah Ahmad bin Isa al-Muhajir di Hadramaut. Masyarakat lokal kemudian mengangkatnya sebagai tokoh panutan.

Ahmad al-Muhajir memiliki empat putra, yakni Ali, Hussain, Muhammad, dan Ubaidillah. Sang bungsu itulah yang menyertainya hijrah dari Basrah ke Hadhramaut.

Begitu mendewasa, Ubaidillah dikaruniai tiga anak, yaitu Alwi, Jadid, dan Basri. Dari ketiganya, hanya Alwi yang lebih banyak dicatat dalam pelbagai manuskrip. Sayyid pertama yang lahir di Hadramaut itu lantas memiliki banyak anak dan cucu. Keturunannya ini disebut sebagai Ba’alawi atau Alawiyyin.

Syed Farid Alatas dalam artikel “Hadhramaut and the Hadhrami Diaspora: Problems in Theoretical History”, menjelaskan, proses Islamisasi pelbagai wilayah di pesisir Samudra Hindia tidak lepas dari kaum Alawiyyin.

Perkembangan sejarah mereka dapat dipahami dalam empat tahap kronologis.

Pertama, masa sejak abad kesembilan hingga ke-13. Kala itu, Ahmad bin Isa dan cucunya, Alwi bin Ubaidillah, memimpin masyarakat Hadhramaut. Kaum Alawiyyin masih belum mengikuti tarekat sufi tertentu. Belum pula mereka bermazhab Syafii walaupun ulama-ulamanya kerap mengeluarkan fatwa yang sejalan dengan aliran fikih tersebut.

Kedua, era sejak abad ke-13 hingga ke-17. Pada masa ini, komunitas Alawiyyin mulai mengembangkan tarekat Ba’alawi. Pengadopsian jalan sufi itu dirintis sejak seorang salik, Ustaz al-Adhham Muhammad al-Faqih memeroleh ijazah al-khirqa dari Syekh Abu Madyan Syuaib bin al-Husain. Al-Faqih merupakan muqaddam dari generasi ke-13 keturunan Ali-Fathimah.

Ketiga, inilah masa jelang kontemporer, yakni sejak akhir abad ke-17 hingga ke-20. Mulai rentang waktu itulah, sebutan habib mulai tenar di tengah masyarakat lokal tempat mereka tinggal.

Gelar itu untuk merujuk pada kaum ulama panutan dari Alawiyyin. Menurut Syed Farid, dalam periode inilah terjadi gelombang migrasi komunitas keturunan Nabi SAW tersebut ke India, lalu Indonesia. Peran mereka semakin signifikan pada periodisasi terakhir, yakni era kontemporer atau pascakolonial.

Mengaku habib?

Salah satu fenomena yang beberapa kali dijumpai di tengah masyarakat ialah segelintir orang mengaku habib. Padahal, mereka yang jelas-jelas keturunan Rasulullah SAW—yakni kaum sayyid dan syarif—tidak semuanya bergelar habib. Sebab, sebutan itu memang menandakan ketokohan di tengah Muslimin sebagai ulama. Dengan kata lain, tidak semua mereka sehari-hari mengajarkan agama.

Pengakuan habib harus melalui komunitas dengan berbagai persyaratan yang sudah disepakati. Di antaranya cukup matang dalam hal umur, harus memiliki ilmu yang luas, mengamalkan ilmu yang dimiliki, ikhlas terhadap apa pun, serta warak atau berhati-hati serta bertakwa kepada Allah.

Seorang yang diakui—bukan sekadar mengaku-aku—habib mestilah sosok yang diakui karakteristiknya oleh masyarakat. Dalam arti, publik membenarkan bahwa ia berakhlak baik. Bagaimanapun, seseorang akan menjadi dicintai (baca: habib) orang kalau mempunyai keteladanan yang baik dalam tingkah lakunya.

 
Menjadi aneh jika seseorang mengaku-ngaku dirinya adalah seorang habib justru tidak menjaga akhlaknya, baik dalam keadaan sendiri maupun bersama banyak orang.
 
 

Maka, menjadi aneh jika seseorang mengaku-ngaku dirinya adalah seorang habib justru tidak menjaga akhlaknya, baik dalam keadaan sendiri maupun bersama banyak orang.

Di ranah Betawi, misalnya, masyarakat mengenal tokoh-tokoh semisal Habib Ali bin Abdurrahman Kwitang, Habib Ali bin Husein Alatas Cikini, Habib Abdullah bin Muchsin Alatas Bogor, dan lain-lain.

Mereka semua benar-benar habib dalam artian sebenarnya. Sebab, para alim tersebut bukan hanya mengajarkan agama di tengah masyarakat, tetapi juga menunjukkan keteladanan yang luar biasa.

Penyebutan habib pada orang-orang yang tidak tepat justru berpotensi mendegradasi kualitas gelar itu sendiri. Terlebih lagi, bila sebutan itu sengaja disematkan pihak-pihak yang tak bertanggung jawab dengan tujuan popularitas semata, apatah mengejar keuntungan materiel.

Ambil contoh, mereka yang membuka praktik perdukunan dengan menyematkan titel “habib” agar orang-orang (Islam) tertarik mendatanginya.

Tata Cara Shalat di Pesawat Hingga di Luar Angkasa

Alasan utama shalat di pesawat terbang karena waktu shalat telah masuk dan tidak mungkin menunggu hingga mendarat.

SELENGKAPNYA

Beda Metode Hisab dan Rukyat dalam Menentukan 1 Ramadhan

Cara hisab bisa dilakukan dengan menggenapkan bilangan bulan sebelumnya yaitu Syaban.

SELENGKAPNYA

Tradisi Menyambut Bulan Suci

Menurut cerita masyarakat, kegiatan dhandhangan pertama kali dicetuskan oleh Sunan Kudus.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya