
Tuntunan
Tata Cara Shalat di Pesawat Hingga di Luar Angkasa
Alasan utama shalat di pesawat terbang karena waktu shalat telah masuk dan tidak mungkin menunggu hingga mendarat.
Oleh IMAS DAMAYANTI
Pada masa Rasulullah SAW, shalat di atas pesawat terbang—apalagi di ruang angkasa—belum pernah ada contohnya. Lantas, bagaimana panduan shalat di ruang angkasa dalam perspektif fikih Islam dan ijtihad ulama?
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) sekaligus anggota Tim Falakiyah Kementerian Agama Prof Thomas Djamaluddin mengatakan, saat ini ada beberapa astronaut Muslim berkesempatan menjadi dan mengorbit bumi di Stasiun Antariksa Internasional (ISS). Karena itu, dia menilai perlu ada ijtihad berdasarkan dalil fikih yang sahih dengan mempertimbangkan kondisi nyata saat penerbangan atau saat mengorbit bumi.
Sebelum membahas lebih jauh tentang shalat di ruang angkasa, dia menjabarkan terlebih dahulu alasan dan acuan syariat untuk shalat di pesawat terbang. “Biasanya ada lima persoalan pokok terkait shalat di pesawat terbang,” kata Thomas melalui pesan teks kepada Republika, Senin (20/3/2023).

Thomas menjelaskan alasan utama shalat di pesawat terbang karena waktu shalat telah masuk dan tidak mungkin menunggu hingga mendarat. Namun, ada pula ulama yang berpendapat shalat yang dilakukan di ketinggian tidak sah. Shalat di pesawat terbang pun dinilai sekadar menghormati waktu, lalu orang tersebut tetap perlu meng-qadha (mengganti) shalat setelah mendarat.
“Namun, ada kasus yang akan saya tunjukkan, lima waktu shalat berada di pesawat terbang. Tidak ada contoh dalam fikih untuk meng-qadha lima shalat sekaligus. Jadi, saya berpendapat, shalat di pesawat terbang adalah shalat yang dilaksanakan pada waktunya, tidak perlu meng-qadha,” ungkap dia.
Cara menentukan waktu shalat
Beberapa maskapai pesawat terbang (terutama yang berasal dari Timur Tengah) terkadang mengumumkan masuknya waktu shalat. Meski demikian, sebagian besar dari mereka tidak memberikan informasi jadwal shalat. Umat Islam pun dinilai harus memperkirakan posisi matahari atau ketampakan matahari dan cahayanya dari pesawat.
“Karena kita bisa melakukan shalat jamak (digabung, Red), maka hanya tiga waktu yang perlu diperhatikan: zhuhur, maghrib, dan subuh,” ujar dia.
Dia menjelaskan, waktu zhuhur ditandai setelah matahari mulai condong ke barat. Beberapa pesawat terbang memberikan informasi posisi matahari dan wilayah siang-malam di peta penerbangannya. Dengan informasi tersebut, umat Islam bisa mengetahui pesawat sudah memasuki waktu zhuhur.
Adapun waktu maghrib, kata dia, yakni ketika matahari sudah terbenam atau pesawat mulai memasuki wilayah malam. Sedangkan, waktu Subuh terjadi ketika fajar mulai tampak di ufuk timur. Itu sebabnya jika penerbangan malam, dia secara pribadi sering memilih kursi dekat jendela yang menghadap timur.

Cara menentukan arah kiblat
Walaupun di pesawat sering ada peta dan petunjuk arah terbang sehingga penumpang bisa memperkirakan arah kiblat, sering kali posisi terbang pesawat membelakangi arah kiblat. Dia menjelaskan, ada ulama yang berpendapat bahwa seseorang tetap harus berupaya menghadap kiblat, setidaknya pada awalnya.
“Namun, itu kadang sangat menyulitkan. Ada solusinya yang diberikan Allah sebagaimana termaktub dalam Alquran (QS 2:115).”
Allah berfirman, “Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” Sehingga dalam kondisi tidak memungkinkan menghadap arah kiblat yang benar, hadapkanlah wajah ke arah yang memungkinkan.

Bagaimana cara shalatnya?
Sebagai orang dalam perjalanan (musafir), umat Islam mendapatkan keringanan untuk menjamak (menggabungkan) shalat Zhuhur dan Ashar serta shalat Maghrib dan Isya. Umat Islam juga mendapatkan keringanan untuk meng-qasar (meringkas) shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat.
Sedangkan, shalat dalam pesawat ada caranya. Menurut dia, terdapat ulama yang berpendapat bahwa harus diupayakan shalat sambil berdiri. “Namun, itu pun menyulitkan kalau harus dilakukan banyak orang. Tidak ada tempat yang memadai untuk menampung semua penumpang Muslim. Jadi, saya berpendapat, dalam kondisi seperti itu, shalatlah di kursi masing-masing. Caranya, sambil duduk bertakbiratul ihram, lalu membaca al-Fatihah dan surat pendek. Dilanjutkan rukuk dengan sedikit membungkuk sambil baca bacaan rukuk,” ujarnya.
Adapun iktidal, dia melanjutkan, dilakukan dengan kembali duduk tegak, lalu sujud dengan membungkuk lebih rendah lagi atau sampai menyentuh kursi yang ada di depan. Demikian sampai selesai dengan salam sambil menengok ke kanan dan ke kiri.
Dengan contoh shalat dalam penerbangan pesawat itu, lalu bagaimana para astronaut Muslim melaksanakan shalatnya di ruang angkasa? Prof Thomas menjelaskan, yang pertama yang harus diperhatikan adalah ketika shalat di wahana antariksa, astronaut tidak bisa lagi merujuk arah kiblat ke Makkah.
“Jadi, dalil QS 2:115 yang digunakan, shalatlah menghadap ke mana saja. Lalu, bagaimana waktunya? Wahana antariksa mengorbit bumi sekitar 14 kali sehari. Artinya, setiap 90 menit mengalami malam dan siang bergantian. Waktu shalatnya adalah menggunakan jam. Rujukannya adalah jadwal shalat di lokasi peluncuran,” kata Prof Thomas.

Cara shalat di luar angkasa
Prof Thomas menjelaskan, dalam kondisi gravitasi mikro, astronaut tampak melayang-layang di dalam wahana antariksa jika kaki tidak mengait pada pijakan. Gerakan sedikit saja bisa memindahkan posisi astronaut. Karena itu, gerakan shalat cukup disesuaikan dengan kemampuan yang bisa dilakukan.
Pedagang Thrifting: Beri Kami Solusi, Jangan Hanya Melarang
Pedagang berharap ada kejelasan terkait larangan impor pakaian bekas.
SELENGKAPNYAInilah 12 Kaum yang Diazab Allah
Alquran mengisahkan 12 kaum yang diazab Allah lantaran dosa-dosa mereka.
SELENGKAPNYABerkah Bunga Para Peziarah
Mereka duduk di pedestrian yang di sekelilingnya dipenuhi dengan bunga tabur.
SELENGKAPNYA