
Khazanah
Tradisi Menyambut Bulan Suci
Menurut cerita masyarakat, kegiatan dhandhangan pertama kali dicetuskan oleh Sunan Kudus.
Sebelum hadirnya stasiun televisi dan radio, masyarakat di Tanah Air hanya mendengarkan pengumuman, justru memperoleh informasi tentang awal Ramadhan dari para ulama ataupun organisasi-organisasi yang dianggap memiliki otoritas tentang masalah agama.
Bahkan, di beberapa daerah, pengumuman tentang awal Ramadhan juga disampaikan lewat berbagai tradisi yang digelar secara turun-temurun.
Seperti yang dilakukan masyarakat Kudus, Jawa Tengah. Setiap tahun masyarakat Islam di sana menggelar satu kegiatan khusus sebagai media untuk mengumumkan awal masuknya Ramadhan kepada khalayak. Tradisi tersebut populer dengan nama dhandhangan.

Menurut cerita lisan yang berkembang di masyarakat setempat, kegiatan dhandhangan pertama kali dicetuskan oleh Sunan Kudus. Tradisi itu bermula ketika Sunan Kudus mengumumkan kepada khalayak mengenai kapan dimulainya hari pertama puasa Ramadhan. Pengumuman itu diawali dengan pemukulan beduk yang berbunyi "dhang-dhang-dhang" di kompleks Masjid al-Aqsha (Masjid Menara Kudus).
"Konon, bunyi beduk itulah yang memunculkan nama dhandangan sehingga kebiasaan itu pun kemudian dikenal dengan nama tradisi dhandangan," kata sarjana ilmu budaya dari Universitas Diponegoro Semarang Jawa Tengah, Akhlis Fuadi, dalam penelitiannya berjudul "Upacara Buka Luwur Makam Sunan Kudus di Kabupaten Kudus".
Seiring dengan perkembangan zaman, kata dia, tradisi dhandangan kini tak lagi sekadar untuk mendengarkan pengumuman awal Ramadhan dari pengurus Masjid Menara Kudus. Namun, juga diramaikan dengan pedagang yang menawarkan berbagai kebutuhan pokok, aneka mainan, pakaian, dan makanan di sepanjang Jalan Sunan Kudus.
Para pedagang itu bahkan sudah bersiap-siap menjajakan barangnya sekitar tiga pekan sebelum Ramadhan tiba. Menurut Akhlis, tradisi dhandhangan sekarang cenderung sekadar menjadi ajang bisnis dan promosi yang kering akan nilai-nilai budaya yang sebelumnya sangat kental dianut oleh masyarakat Kudus.
Tradisi yang mirip dengan dhandhangan juga dapat ditemukan di daerah lain. Misalnya saja, di Semarang, Jawa Tengah. Penduduk di sana setiap tahunnya rutin menggelar dugderan untuk menandai permulaan bulan Ramadhan.
Festival yang mulai dilakukan sejak era kolonial Belanda itu biasanya dipusatkan di daerah Simpang Lima, Kota Semarang. Perayaan tersebut juga dimeriahkan dengan petasan dan kembang api.
Nama dugderan dianggap sebagai nama tiruan dari suara beduk dan letusan. Kata "dug" merujuk pada bunyi yang berasal dari beduk (dibunyikan menjelang masuknya waktu Magrib). Sementara, kata "der" adalah suara petasan yang dibunyikan untuk memeriahkan perayaan tersebut.

Saat berlangsungnya dugderan, warga dengan berbagai latar belakang usia tampak menyemut di jalanan Kota Semarang. Mereka berkeliling kota mengikuti rombongan pawai dengan mengarak maskot warak ngendhog.
Diiringi tarian khas Semarang, atraksi barongsai, barisan bendi, rombongan prajurit berkuda, serta atraksi lain, arak-arakan pawai mengantar para pemimpin daerah setempat, yakni gubernur Jawa Tengah dan wali kota Semarang menuju Masjid Agung Jawa Tengah.
Sesampainya di sana, para pemimpin tadi kemudian memukul beduk menjelang Maghrib, sebagai pertanda masuknya bulan suci Ramadhan. Setelah beduk dipukul, petasan pun disulut. Tradisi semacam ini berlangsung setiap tahun di Semarang.
Di Kabupaten Demak, awal mula masuknya bulan Ramadhan ditandai dengan kegiatan megengan. Di situ, masyarakat setempat menggelar semacam pasar kaget di kawasan Alun-Alun Kabupaten Demak.
Para pedagang menjajakan beraneka kuliner tradisional di sepanjang Simpang Enam hingga kawasan Pecinan Demak. Masakan yang mereka suguhkan umumnya berupa menu-menu khas yang jarang dijumpai pada hari-hari biasa.
Pada saat berlangsungnya megengan, ribuan warga memadati seputar Alun-Alun Demak untuk meramaikan tradisi penanda detik-detik datangnya bulan Ramadhan itu. "Di sana para pengunjung tidak hanya memburu makanan untuk sekadar mengganjal perut, tetapi juga mencari wadah bersantai bersama keluarga," ujar salah seorang warga Demak, Anang (56 tahun).
Tradisi penandaan Ramadhan seperti yang dilakukan oleh masyarakat Kudus, Semarang, dan Demak, hampir tidak dapat ditemukan sama sekali di Sumatra Barat. Di daerah itu, masyarakat tidak membuat perayaan khusus untuk menyambut masuknya bulan suci.
Seperti yang diungkapkan oleh Syahrial Kamin (69 tahun). Pengurus Masjid Raya Kubang di Kabupaten 50 Koto, Sumatra Barat itu mengatakan, penanda awal Ramadhan di kampungnya hanya diumumkan lewat pengeras suara masjid, tanpa diembel-embeli dengan tradisi-tradisi tertentu.
"Pada era 1970-an, penyiaran informasi lewat masjid menjadi kegiatan yang sangat penting bagi masyarakat. Apalagi, ketiak itu media semacam radio dan televisi belum semarak seperti sekarang," ujar Syarial.
Dia mengungkapkan, selama ini informasi penentuan awal Ramadhan yang diperoleh masyarakat Kubang selalu mengacu kepada hasil hisab yang dilakukan oleh organisasi Muhammadiyah.
Dengan demikian, mereka sudah mengetahui sejak jauh-jauh hari kapan masuknya Ramadhan setiap tahunnya. Para pengurus masjid tinggal mengumumkannya saja kepada khalayak, beberapa saat menjelang Maghrib di malam pertama Ramadhan.
Menurut Syahrial, kebiasaan menyampaikan pengumuman lewat pengeras suara masjid itu masih terus bertahan sampai sekarang. "Begitu pengumuman awal Ramadhan disampaikan pada saat menjelang Maghrib, selepas Isya masyarakat langsung menggelar shalat sunah Tarawih di masjid dan surau-surau yang terdapat di desa ini," ujarnya.
Disadur dari Harian Republika Edisi 9 Juni 2017
Dai Ambassador Suarakan Dakwah Zakat ke Mancanegara
Dai ambassador bertugas menyampaikan syiar dakwah selama bulan Ramadhan.
SELENGKAPNYAUmmu Syarik, Pertaruhkan Nyawa demi Akidah
Ia mengambil risiko dengan menyebarkan dakwah di tengah kaum Quraisy
SELENGKAPNYAInilah 12 Kaum yang Diazab Allah
Alquran mengisahkan 12 kaum yang diazab Allah lantaran dosa-dosa mereka.
SELENGKAPNYA