
Dunia Islam
‘Amerika Serikat Eksportir Islamofobia Global’
Profesor dari University of Arkansas ini soroti peran Amerika Serikat terkait Islamofobia.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memilih tanggal 15 Maret sebagai Hari Internasional Membasmi Islamofobia (International Day to Combat Islamophobia). Dalam situs resminya, PBB merumuskan Islamofobia sebagai sebuah “ketakutan, prasangka, dan kebencian terhadap umat Islam".
Semua itu dapat bermuara pada “provokasi, permusuhan, dan intoleransi dengan cara mengancam, melecehkan, menghasut, dan mengintimidasi” yang ditujukan khususnya kepada Muslimin.
Menurut sarjana Muslim Khaled Ali Beydoun, perkembangan Islamofobia sejak awal abad ke-21 kini tidak bisa dilepaskan dari peristiwa serangan terorisme yang menghantam Amerika Serikat (AS) pada 11 September 2001 (9/11). Profesor University of Arkansas itu mengatakan, ada peran besar AS dalam meningkatnya sikap anti-Islam di Asia, Eropa, maupun dunia global umumnya.
“AS telah mengekspor Islamofobia ke Asia, Afrika, Eropa, Timur Tengah, dan sekitarnya, dengan cara-cara yang merusak,” ujar penulis buku American Islamophobia itu kepada Anadolu, Selasa (14/3/2023).
AS telah mengekspor Islamofobia ke Asia, Afrika, Eropa, Timur Tengah, dan sekitarnya, dengan cara-cara yang merusak.
Terutama sejak rezim George W Bush, pemerintah AS menyusun kerangka-baru untuk identitas Muslim dengan retorika "perang melawan teror". Hasilnya, stereotipe yang mengaitkan Islam atau Muslimin dengan terorisme justru menjamur di berbagai belahan dunia.
Ali Beydoun mengatakan, Negeri Paman Sam bahkan bergerak lebih jauh dengan merancang arsitektur hukum yang menyasar monitoring pihak-pihak yang dicap berafiliasi dengan terorisme, yang juga disangkutpautkan dengan identitas Arab atau Muslim.
“Ada arsitektur hukum yang ikut berperan yang direkayasa oleh AS. Itu kemudian diadopsi oleh banyak pemerintah di seluruh dunia. Paradigma (hukum) yang baru ini digunakan untuk menindak populasi Muslim mereka sendiri,” ucap cendekiawan tersebut.
Kampanye "perang melawan teror" yang digembar-gemborkan AS berlangsung efektif di wilayah yang luas, mulai dari Asia hingga Eropa. Bahkan, imbasnya pun dirasakan di negara-negara yang selama ini dianggap sebagai rival Barat, semisal Republik Rakyat Cina (RRC).
Sebelum 9/11, kata Beydoun, orang-orang Uighur yang tinggal di RRC tidak pernah distempel sebagai teroris, ekstremis, atau berafiliasi dengan kelompok-kelompok transnasional.
“Uighur lebih sering digambarkan sebagai 'separatis atau subversif', tetapi bahasa terorisme Amerika kemudian melengkapi pemerintah Cina dengan kekuatan tak terbatas untuk mengaitkan Uighur seolah-olah mereka adalah teroris. Hal yang sama berlaku di India, Myanmar, Swedia, Prancis, Inggris, dan seluruh dunia,” ujar Beydoun.
Lima negara
Dalam sebuah kajian yang dilakukannya, Beydoun menyajikan urutan negara-negara yang terjangkit Islamofobia cukup parah. Menurut dia, ada lima negara dengan kadar Islamofobia yang buruk secara mondial.
RRC menduduki peringkat pertama. Alasannya, lanjut Beydoun, negara berpaham komunisme itu dipimpin pemerintahan yang otoriter dan sekaligus mempraktikkan bentuk terburuk dari sikap anti-Islam demikian.
“Misalnya, kamp konsentrasi dan pembersihan etnis. Berfokus pada Islam, itu adalah semacam pembersihan etnis yang bertujuan untuk menghancurkan orang-orang Uighur melalui genosida,” ujar dia.
Di urutan kedua, terdapat India. Dalam hal sentimen anti-Muslim, menurut Beydoun, negeri di Asia Selatan ini menampilkan kontras yang ironis. Sebab, di satu sisi populasi Muslim setempat sangat signifikan. Jumlahnya bahkan terbesar kedua di dunia—setelah Indonesia.
“Namun, rezim (Perdana Menteri Narendra) Modi dan Partai Bharatiya Janata (BJP) menggunakan supremasi Hindu sebagai alat untuk menghancurkan Muslim di negara ini. Dan ini dilakukan dengan cara yang sangat mengerikan, menggunakan Hukum Kewarganegaraan (yang mengecualikan Muslim), larangan jilbab di negara bagian, atau perampasan kewarganegaraan Muslim,” kata Beydoun.
Prancis bahkan disebutkan sebagai sebuah template model Barat mengenai upaya-upaya marginalisasi Muslimin. Peminggiran itu dilakukan melalui kerangka hukum formal.
Di urutan ketiga, ia menempatkan Prancis. Negara yang terkenal dengan prinsip laïcité itu bahkan disebutkan sebagai sebuah template model Barat mengenai upaya-upaya marginalisasi Muslimin. Peminggiran itu dilakukan melalui kerangka hukum formal.
“Kami melihat ini paling mencolok dalam kebijakan-kebijakan, seperti larangan jilbab dan cadar,” ucapnya.
Selanjutnya, ada AS. Menurut dia, kaum Muslimin di Negeri Paman Sam masih merasakan sentimen Islamofobia sebagai residu dari kebijakan pemerintah setempat pasca-9/11.
Lebih lanjut, Beydoun mengingatkan, Washington DC adalah katalisator 'perang global melawan teror' yang menyebarkan Islamofobia dengan bahasa anti-Muslim.
“Bahkan, (Islamofobia) mungkin lebih kuat daripada pemerintah mana pun di dunia. Sebab, bukankah AS adalah negara adidaya, mengeklaim sebagai negara demokrasi? Yang jelas, (sejak 9/11) AS telah mengekspor Islamofobia ke Asia, Afrika, Eropa, Timur Tengah, dan sekitarnya dengan cara yang menghancurkan,” katanya.
Terakhir, Beydoun menunjuk pada Myanmar, sebuah negara di kawasan Asia tenggara. Nasib kaum Muslimin etnis Rohingya hingga detik ini masih terkatung-katung di sana.
“Kita tidak mungkin mengabaikan apa-apa yang terjadi di Myanmar. Puluhan ribu orang Rohingya telah terbunuh. Ratusan ribu dari mereka mengungsi akibat pembersihan etnis di negara tersebut,” tutur dia.
Sejak Kapan Islamofobia Menggejala?
Islamofobia mungkin adalah sebuah istilah baru, tetapi gejalanya merentang jauh ke belakang.
SELENGKAPNYAMinarets in the Mountains, Ikhtiar Basmi Islamofobia
Dalam karyanya ini, Tharik Hussain coba telusuri akar Islamofobia di Barat.
SELENGKAPNYA