
Kitab
Minarets in the Mountains, Ikhtiar Basmi Islamofobia
Dalam karyanya ini, Tharik Hussain coba telusuri akar Islamofobia di Barat.
Dalam sebuah bukunya, Tharik Hussain memaparkan hasil kajiannya atas manuskrip-manuskrip Evliya Celebi. Penjelajah asal Turki Utsmaniyah itu diketahui melawat ke Semenanjung Balkan pada kurun abad ke-17 M. Berdasarkan pembacaan Tharik, akar Islamofobia dapat dilihat dari catatan perjalanan tokoh tersebut.
Dalam karya terbarunya, Minarets in the Mountains, kisah Muslim Eropa yang jarang diceritakan itu dihidupkan kembali. Dengan cukup mendetail, Evliya melukiskan kehidupan orang-orang Balkan serta warisan dan budaya Muslim Utsmaniyah di sana.
Seperti yang ditunjukkan Tharik dalam bukunya itu, Islamofobia ternyata memiliki sejarah yang merentang jauh sebelum abad modern. Meskipun memiliki akar etnis yang sama dengan tetangga Kristen mereka di Balkan, Muslimin masih dipandang sebagai 'yang lain' (the other).
Di kalangan Kristen Barat bahkan ada keengganan untuk mengakui Balkan secara keseluruhan sebagai bagian dari Eropa.
Di kalangan Kristen Barat bahkan ada keengganan untuk mengakui Balkan secara keseluruhan sebagai bagian dari Eropa. Hal itu dengan perkecualian Yunani, yang mudah mereka terima. Padahal, secara geografis toh negeri itu adalah bagian dari Balkan juga.
“Itu karena Eropa Barat menganggap warisan Yunani (Hellenic) sebagai dasar peradaban Barat. Mereka menginginkan Plato, Aristoteles, Hippocrates, tetapi tidak begitu tertarik pada Sultan Suleiman atau Mehmed,” kata Tharik dalam Minarets in the Mountains.
Syiar Islam di Balkan dilakukan Utsmaniyah sejak akhir tahun 1300-an. Kekaisaran Muslim itu pada puncaknya sangat kuat dan kaya. Sistem pemerintahan, sosial serta ekonominya begitu unggul dan efektif. Di sisi lain, kekuatan Barat pada masa itu cenderung lebih lemah, kurang beruntung secara ekonomi sehingga tertinggal.
Mendekati masa modern, terjadi pergeseran dominasi. Narasi sejarah pun perlahan dikuasai oleh Barat-Kristen. Menurut Tharik, historiografi pun berisiko diubah sesuai dengan selera politis.
“Terlalu sering kita dituntun untuk percaya bahwa Eropa hanya memiliki warisan Yahudi-Kristen, mungkin dengan taburan beberapa paganisme. Maka tampaknya Islam tidak ada hubungannya sama sekali dengan evolusi dan perkembangan Eropa secara keseluruhan,” kata Tharik.
Terlalu sering kita dituntun untuk percaya bahwa Eropa hanya memiliki warisan Yahudi-Kristen, mungkin dengan taburan beberapa paganisme.
Dengan melakukan napak tilas perjalanan Evliya Celebi, Tharik menemukan bahwa kehadiran Muslim di Balkan tidak hanya pada negara-negara yang masyhur kebudayaan Islam, semisal Bosnia Herzegovina atau Kosovo. Ia juga bertemu dengan komunitas Muslim yang signifikan di Bulgaria, Serbia, Makedonia Utara, dan Montenegro. Biasanya, negeri-negeri itu tidak dihubungkan dengan dinamika Muslim Balkan.
Legasi Utsmaniyah pun tampak jelas di sana. Ada masjid dengan rona arsitektur yang dibangun kekhalifahan itu. Beberapa dikaitkan dengan karya kepala arsitek Utsmaniyah, Mimar Sinan, yang hidup pada abad ke-16 M. Ada juga warisan sufistik yang kaya.
Meskipun ada keinginan untuk menghapus warisan Muslim itu—semisal dengan membuldoser masjid, menulis ulang sejarah, dan bahkan genosida (teringat Perang Bosnia 1992)—beberapa warisan yang dijelaskan oleh Evliya masih ada di banyak tempat. Bagi Tharik, ini adalah kejutan yang menyenangkan.
Kendati beberapa legasi telah rusak dan dihancurkan, masyarakat lokal dan Badan Kerjasama dan Koordinasi Turki (TIKA) berupaya untuk melestarikan yang ada dan tersisa. Minimal, hal itu didasari keinginan merawat bukti-bukti sejarah Turki di Balkan.
Minarets in the Mountains ditulis dalam konteks Benua Biru yang dilanda isu Britain Exit alias Brexit. Ketika itu, sikap negatif terhadap 'Turki' dan 'Muslim' terus melesat di Barat. Hal itu didorong oleh gerakan-gerakan kaum kanan ekstrem atau ultranasionalis.
“Salah satu kunci utama kampanye Brexit adalah ‘menjual’ kepada Inggris gagasan bahwa pengungsi Muslim mengerumuni Eropa,” kata Tharik.
Salah satu kunci utama kampanye Brexit adalah ‘menjual’ kepada Inggris gagasan bahwa pengungsi Muslim mengerumuni Eropa.
Pada saat yang sama, tumbuh pula rasa curiga terhadap orang-orang Eropa Timur, termasuk Polandia, di Eropa barat seturut dengan Brexit. Menurut Tharik, hal itu pun memiliki akar yang sama dengan Islamofobia, yakni menganggap mereka yang “non-Barat” dan “non-Katolik” sebagai the others.
“Saya pikir kebencian Eropa timur dan Islamofobia semuanya dibungkus menjadi satu dan tidak mengherankan bahwa keduanya dapat dipertukarkan selama retorka Brexit,” katanya.
Ketika ditanya bagaimana cara menghilangkan sikap Islamofobia ini, Tharik percaya bahwa itu tidak bisa terjadi secara langsung dan cepat. Sebab, dalam alam bawah sadar Eropa Barat selalu ada kecurigaan terhadap Eropa Timur dan Muslim (baca: Turki).
“Sementara beberapa orang akan mengatakan itu karena cap komunis, saya percaya itu hanya puncak gunung es dan dibangun di atas basis Islamofobia. Sebab, jauh sebelum komunis, selama hampir enam abad, sebagian besar adalah Muslim.”
Tujuannya adalah untuk mencoba menormalkan kisah dan sejarah Muslim Eropa. Bergerak menuju normalisasi bahwa Islam adalah salah satu bagian pula dari lanskap budaya Barat.
Dengan bukunya, Tharik berharap dapat turut bagian dalam membasmi Islamofobia yang telah mengurat selama berabad-abad. Tujuannya adalah untuk mencoba menormalkan kisah dan sejarah Muslim Eropa. Bergerak menuju normalisasi bahwa Islam adalah salah satu bagian pula dari lanskap budaya Barat.
Bahkan jika Barat tidak menerima Muslim dalam waktu dekat, Tharik percaya bahwa penting bagi umat Islam untuk setidaknya mengetahui sejarah mereka sendiri. Minimal, kaum Muslimin di Balkan dan Eropa timur pada umumnya.
Tharik berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran akan Islam di Eropa dan warisan hidupnya, dan Minarets in the Mountains adalah bagian dari beberapa proyek lain yang melibatkannya.
"Kegembiraan yang sebenarnya adalah melihat anak-anak dan istri saya kembali melihat Muslim seperti kami, yang selalu berada di Eropa. Tidak memandang mereka hanya sebagai mualaf atau ‘pendatang baru,’” jelas Tharik.
Dakwah Masjid Kampus yang Kian Redup
Lembaga dakwah kampus tidak siap untuk beralih dari sistem offline ke sistem online.
SELENGKAPNYAAjaran Kasih Sayang
Islam menerapkan prinsip kuat untuk menebarkan ajaran kasih sayang.
SELENGKAPNYA