
Kisah
Siapakah Dai di Atas Neraka?
Hadis Nabi SAW berikut ini mengabarkan isyarat tentang dai di atas pintu neraka.
Seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Hudzaifah bin al-Yaman, memiliki kebiasaan yang agak berbeda daripada rekan-rekannya. Seperti diceritakan oleh Imam Bukhari dalam Shahih, bab al-Fitan, Ibnu al-Yaman berkata,
“Orang-orang biasanya bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan. Adapun saya bertanya kepada beliau tentang keburukan. Sebab, khawatir bila keburukan itu akan menimpa saya.”
Pada suatu hari, Hudzaifah bertanya kepada al-Musthafa. “Wahai Rasulullah,” katanya, “dahulu kita berada pada zaman Jahiliyah dan keburukan. Kemudian, Allah mendatangkan kebaikan (agama Islam) kepada kita. Apakah sesudah kebaikan ini ada keburukan lagi?”
Nabi SAW menjawab, “Ya, ada.”
“Maka apakah sesudah keburukan itu ada kebaikan?”
Rasulullah SAW menjawab, “Ya, ada kebaikan, tetapi berkabut.”
Hudzaifah pun bertanya lagi, “Apakah kabut yang engkau maksud?”
“Ada orang-orang yang mengambil petunjuk selain daripada petunjukku. Engkau mengetahui kebaikan dan keburukan mereka,” jelas Nabi SAW.
“Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan lagi?” tanya Hudzaifah lagi.
Beliau menjawab, “Ya, ada, yaitu dai-dai yang berada di atas pintu Jahanam. Siapa yang mengikuti mereka, maka akan dijerumuskannya ke dalam Jahanam.”
Hudzaifah dan para sahabat pun menjadi heran. Maka ia bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, apakah tanda-tanda mereka (dai-dai di atas Jahanam)?”
Rasulullah SAW mengungkapkan, “Mereka adalah dari kulit kita dan berbicara dengan lisan kita.”
“Apakah yang engkau perintahkan kepada saya apabila hal itu menimpa diri saya?”
“Tetaplah engkau bersama dengan jama’atul Muslimin dan imam mereka,” tegas Nabi SAW.
“Bagaimana bila kaum Muslimin tidak memiliki jamaah dan imam (pemimpin)?”
“Tinggalkanlah kelompok-kelompok itu semuanya meskipun kamu akan mengigit akar pohon sampai kamu mati dan kamu tetap seperti itu,” sabda Rasul SAW.
Periodisasi
Merujuk pada hadis yang cukup panjang di atas, secara tersirat Rasulullah SAW telah menggariskan periodisasi umat Islam. Mula-mula, mereka berada dalam zaman Jahiliyah. Inilah masa ketika Rasulullah SAW belum diangkat menjadi utusan Allah. Pun tatkala Alquran belum datang menyinari dunia.
Fase kedua adalah masa dakwah Islam. Dipimpin langsung oleh Nabi SAW, kaum Muslimin terus berjuang menyebarkan syiar Islam. Hingga dari yang semula di bawah hegemoni musyrikin, mereka menjadi penguasa seluruh Jazirah Arab. Pembebasan Makkah (Fathu Makkah) menjadi tonggak penting dalam hal ini.
Fase kedua, ketiga, dan kelima sering kali menjadi diskusi kaum alim ulama. Masing-masing tahapan itu diistilahkan dengan zaman buruk (pertama), zaman baik berkabut, dan buruk (kedua).
Para sarjana Muslim berbeda pendapat tentang maksud buruk yang pertama. Imam al-Qadhi ‘Iyadh (544 H), seperti dinukil oleh Imam Ibnu Hajar (852 H) dalam kitab Fath al-Bari, misalnya.
Ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan masa keburukan yang pertama ialah era yang di dalamnya mulai muncul fitnah-fitnah. Tanda jelasnya adalah timbulnya perpecahan umat Islam pasca-wafatnya Khalifah Utsman bin ‘Affan.
Adapun yang dimaksud dengan masa kebaikan berkabut adalah apa-apa yang terjadi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yakni seorang pemimpin dalam Daulah Bani Umayyah.
Imam Ibnu Hajar mengatakan, “Menurut saya, yang dimaksud dengan keburukan pertama, yakni perpecahan yang pertama kali yang terjadi dalam tubuh umat Islam. Adapun yang dimaksud dengan (zaman) baik berkabut adalah kesepakatan antara Sayyidina Ali dan Mu’awiyah (kebaikan). Adapun yang dimaksud dengan kabut adalah apa-apa yang terjadi pada masa keduanya, yakni muncul kelompok-kelompok Khawarij.”
Sejarah mencatat, kubu Ali dan Mu’awiyah berhadap-hadapan dalam Perang Siffin. Bagaimanapun, konflik ini pada akhirnya dicoba diselesaikan dengan cara damai, yakni arbitrase (tahkim). Cara itu sesungguhnya biasa dipakai pada zaman Jahiliyah.
Segolongan tentara Ali kemudian tidak setuju dengan langkah tersebut, apalagi setelah mengetahui bahwa kubu sang khalifah diperdaya dalam arbitrase. Tidak puas dengan keadaan itu, mereka pun meninggalkan kepemimpinan Ali dan membentuk kekuatan sendiri. Kelompok inilah yang akhirnya terkenal dengan sebutan kaum Khawarij.
Menurut Prof Harun Nasution dalam buku Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (1995), nama khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti ‘keluar'. Maknanya, mereka adalah yang telah keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib. Kaum khawarij tidak hanya mempersoalkan urusan politik kepemimpinan, tetapi sangat lebih jauh lagi, yakni keislaman dan keimanan.
Mereka menjadikan tafsirnya sendiri atas surah al-Maidah ayat 44 sebagai pegangan. Kalimat terakhir dari firman Allah itu berarti, “Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah (bi maa anzalallahu), maka mereka itulah orang-orang kafir.”
Menurutnya, baik Ali maupun Mu’awiyah justru mengikuti tradisi Jahiliyah, yakni tahkim, bukan kepada bimaa anzalallahu. Dalam pandangan Khawarij, kedua orang itu telah berbuat dosa besar sehingga menjadi kafir. Karena telah murtad, darah keduanya pun—bagi kaum ekstremis ini—adalah halal untuk ditumpahkan.
Ekstremis Khawarij yang dipimpin Abdullah bin Wahab ar-Rasibi merencanakan pembunuhan terhadap Ali dan Muawiyah. Sang gubernur Syam lolos. Tidak demikian halnya dengan Ali. Ayahanda Hasan dan Husain itu syahid dibunuh saat sedang memimpin shalat subuh di Masjid Kufah.
Sepeninggalan Ali, kaum Khawarij semakin membabi-buta. Mulanya, mereka “hanya” menstampel siapapun Muslim yang telah melakukan dosa besar sebagai kafir. Belakangan, anggapannya menjadi lebih ekstrem. Yang mereka akui sebagai orang Islam hanyalah orang Islam yang menganut ajaran-ajaran Khawarij. Di luar itu, mereka merasa wajib untuk memeranginya.
Yang mereka akui sebagai orang Islam hanyalah orang Islam yang menganut ajaran-ajaran Khawarij. Di luar itu, mereka merasa wajib untuk memeranginya.
Dai di atas Jahanam
Imam Ibnu Hajar melanjutkan penjelasannya. Hadis Rasulullah SAW di atas menyebut adanya kelompok “dai-dai di atas pintu Jahanam".
Ibnu Hajar menengarai, kelompok itu bisa disepadankan sebagai para pembangkang atau pemberontak terhadap pemerintah sah serta menghalalkan darah sesama Muslim. Termasuk di antara mereka adalah Khawarij dan semisalnya.
Menurut Ali Mustafa Yaqub dalam sebuah tulisannya di Harian Republika (2014), pengertian dai di atas neraka dalam hadis tersebut tidak sebatas pada kelompok Khawarij. Setiap orang atau komunitas yang mengajak orang lain untuk tidak mengesakan Allah, tidak mengimani dan tidak menaati-Nya, itu pun bisa digolongkan demikian.
“Mereka mengeklaim dirinya sebagai Muslim, tetapi mengajarkan bahwa Tuhan itu bukan Allah SWT, melainkan salah seorang sahabat dari sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW. Semoga Allah menjaga kita dari penyesatan dan pengafiran,” tulisnya.
Kala Rasulullah Menawarkan Bangkai Kambing yang Cacat
Rasulullah SAW tiba-tiba menawarkan bangkai kambing kepada khalayak.
SELENGKAPNYAJuwairiyah binti al-Harits, Istri Nabi Pembawa Berkah
Islamnya Juwairiyah binti al-Harits membawa berkah bagi kaumnya.
SELENGKAPNYAMencintai Fitnah, Membenci al-Haq
Seorang sahabat mengucapkan bahwa dirinya condong pada fitnah dan tak menyukai al-haq.
SELENGKAPNYA