ILUSTRASI Sahabat Nabi SAW memiliki perspektif tentang sesuatu yang al-haq dan fitnah dunia. | DOK Needpix

Kisah

Mencintai Fitnah, Membenci al-Haq

Seorang sahabat mengucapkan bahwa dirinya condong pada fitnah dan tak menyukai al-haq.

Dari kisah para sahabat Nabi Muhammad SAW, kita dapat memetik banyak hikmah dan pelajaran. Sebab, mereka adalah generasi yang luar biasa. Kalangan ini belajar langsung dari Rasulullah SAW, bukan hanya mengenai ibadah-ibadah ritual, melainkan juga keseluruhan aspek kehidupan. Mereka pun mendapatkan pujian dari al-Musthafa.

Beliau bersabda, “Yang terbaik dari kalian (umat Islam) adalah orang-orang yang hidup pada zamanku (sahabat), kemudian orang-orang setelah mereka (tabi’in), kemudian orang-orang setelah mereka (at-tabiut taabi’in).”

Golongan tersebut memiliki perspektif yang tajam dalam menyikapi suatu masalah. Simaklah percakapan antara ketiga sahabat Nabi SAW ini, yaitu Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, dan Hudzaifah bin al-Yaman. Pada suatu pagi, ketiganya bertemu di suatu tempat.

Kemudian, Umar membuka percakapan, "Bagaimana keadaanmu pagi ini, wahai Hudzaifah?" Yang ditanya menjawab, "Wahai Amirul Mukminin! Sungguh, pagi ini aku mencintai fitnah, membenci al-haq. Aku shalat tanpa berwudhu, dan memiliki sesuatu di muka bumi yang tidak dimiliki oleh Allah di langit.”

Mendengar perkataan itu, Umar bangkit dan wajahnya menahan amarah, "Demi Allah! Engkau telah membuatku gusar dengan kata-katamu itu!"

Lantas, Ali yang sebelumnya mendengarkan perbincangan keduanya dengan tenang bertanya pada Umar, "Wahai Amirul Mukminin, apakah yang membuatmu marah?"

"Tidakkah engkau mendengar apa-apa yang baru saja dikatakan oleh Hudzaifah?" tanya Umar lagi.

Ali kemudian menjelaskan, "Wahai Amirul Mukminin! Sungguh benar Hudzaifah. Aku pun seperti dirinya. Adapun kecintaannya pada fitnah berarti kecintaannya pada harta dan anak-anak, sebagaimana firman Allah (yang artinya), 'Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah fitnah cobaan' (QS al-Taghabun: 15).

Sementara itu, kebenciannya terhadap al-haq berarti bahwa ia membenci kematian. Shalatnya yang tanpa wudhu itu berarti dirinya bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Adapun yang dimilikinya di bumi dan tidak dimiliki Allah di langit ialah istri dan anak. Bukankah Allah tidak memiliki keduanya?"

Penjelasan dari Ali itu membuat Umar mengerti, ada makna di balik penuturan Hudzaifah yang semula tampak provokatif. Menurut Ustaz Abdul Syukur kepada Republika, percakapan ketiga sahabat Nabi SAW ini mengajarkan pentingnya kejelian tentang hakikat sesuatu.

“Allah SWT menyebut harta benda yang kita miliki dan anak-anak yang berada di bawah tanggung jawab kita sebagai fitnah (ujian). Jika kita bisa memperlakukan keduanya sesuai dengan ridha Allah, maka kita termasuk orang yang lulus ujian. Sebaliknya, ketika kita tidak bisa memperlakukan keduanya sesuai dengan yang diinginkan Allah, kita termasuk orang yang tidak sanggup mengatasi fitnah dunia,” ujar Ustaz Abdul Syukur.

Maka dari itu, lanjut dia, kecintaan terhadap fitnah—yakni harta dan anak-anak, serta kesenangan dunia lainnya—apabila terlalu besar bisa-bisa membuat manusia membenci al-haq. Secara kebahasaan, istilah itu berarti kebenaran. Namun, maksudnya di sini adalah ihwal yang kedatangannya sudah pasti akan terjadi, yaitu kematian.

Allah SWT berfirman dalam Alquran surah al-Anbiya ayat ke-35. Artinya, "Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian, dan Kami menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kepada Kami-lah kalian akan kembali."

“Sementara, maksud dari shalat yang tanpa wudhu adalah shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam struktur bahasa, shalat dan shalawat memang memiliki arti sama. Shalat berarti doa. Shalawat pun maksudnya adalah berdoa untuk kebaikan Rasulullah SAW,” jelas ustaz tersebut.

Penjelasan Ali bin Abi Thalib mengenai perkataan Hudzaifah pun menegaskan perihal tauhid. Manusia memang ditakdirkan memiliki apa-apa yang tidak dimiliki oleh Allah SWT, yaitu pasangan (suami atau istri) dan anak keturunan. Dalam Alquran surah al-Ikhlas, Allah menegaskan, "(Allah)Tidak beranak dan tidak diperanakkan (tidak ada yang melahirkan-Nya)."

“Percakapan para sahabat, seperti ini, banyak memberikan manfaat kepada kita, di antaranya, pertama, mengasah otak kita karena percakapan seperti ini memerlukan kecerdasan ekstra bagi yang menyatakannya sekaligus bagi yang mencernanya,” tukas Ustaz Abdul Syukur.

Kedua, kesadaran diri bahwa kita sering tidak kuasa menghadapi fitnah (cobaan) yang diberikan Allah kepada kita. Sehingga, kita bisa terjerumus dengan mencintainya secara berlebihan. Ketiga, penyucian terhadap Allah dengan menyadari perbedaan antara kita sebagai makhluk dan Allah sebagai Sang Pencipta.

Romantisme Ka'bah dan Bulan Bintang

Partai-partai Islam saat ini tak memiliki figur capres yang kuat.

SELENGKAPNYA

Damai di Bumi

Islam adalah agama penengah.

SELENGKAPNYA

MUI Minta Penjelasan Pemerintah Soal Timnas Israel

MUI juga akan mendengar pandangan dari ormas-ormas Islam.

SELENGKAPNYA