Orang-orang melihat tanda yang dipasang di luar pintu masuk Silicon Valley Bank di Santa Clara, California, Jumat, (10/3/2023). | AP Photo/Jeff Chiu

Ekonomi

Belajar dari Ambruknya Silicon Valley Bank

SVB terlalu berfokus pada perusahaan teknologi.

Oleh DIAN FATH RISALAH, RETNO WULANDHARI

Kebangkrutan bank Silicon Valley Bank (SVB) mengejutkan dunia. Bagaimana tidak, bank terbesar ke-16 di Amerika Serikat (AS) tersebut kolaps dalam hitungan hari akibat krisis modal.

Bank yang mayoritas nasabahnya merupakan perusahaan rintisan (startup) itu menghadapi penarikan dana besar-besaran. Menurut laporan media AS, Axios, terjadi penarikan dana sebesar 43 miliar dolar AS pada Kamis (9/3). Jika dikonversikan ke dalam rupiah, nilainya mencapai Rp 645,3 triliun.

"Tidak ada bank yang dapat bertahan dengan arus modal keluar sederas itu dalam satu hari, terutama ketika arus keluar dengan jumlah yang sama hampir pasti terjadi pada hari berikutnya," demikian diberitakan Axios, seperti dikutip pada Senin (13/3).

Pada hari yang sama, saham SVB anjlok 60 persen dari 267,83 dolar AS menjadi 106,04 dolar AS. Sehari kemudian, tepatnya pada Jumat (10/3), bisnis SVB akhirnya ditutup oleh otoritas berwenang.

photo
Sejumlah nasabah menunggu di luar cabang Silicon Valley Bank (SVB) di Wellesley, Massachusetts, AS, Senin (13/3/2023). - (EPA-EFE/CJ GUNTHER)

Bangkrutnya SVB tak terlepas dari dampak berakhirnya era suku bunga murah. Bank sentral AS, the Federal Reserve (the Fed), menaikkan suku bunga secara agresif untuk menjinakkan inflasi. Dalam setahun, suku bunga the Fed yang tadinya mendekati nol persen kini sudah berada di level 4,5 persen.

Seperti dikutip dari CNN, tingginya suku bunga meruntuhkan saham perusahaan teknologi yang pada akhirnya berimbas pada SVB. Klien SVB yang kebanyakan merupakan startup melakukan penarikan dana untuk memenuhi kebutuhan likuiditas.

SVB akhirnya memutuskan menjual obligasi jangka panjang mereka senilai 21 miliar dolar AS pada Rabu (8/3), yang sebagian besar ditempatkan di obligasi pemerintah. Masalahnya, suku bunga yang tinggi membuat nilai obligasi yang dimiliki SVB jatuh dengan yield 1,79 persen. Padahal, imbal hasil treasury selama 10 tahun terakhir sekitar 3,9 persen. Penjualan tersebut membuat SVB merugi hingga 1,8 miliar dolar AS.

SVB pun kemudian mengumumkan akan menjual saham baru senilai 2,25 miliar dolar AS untuk menyeimbangkan neraca keuangan mereka. Hal ini yang kemudian memicu kepanikan di antara perusahaan modal ventura utama, yang dilaporkan menyarankan klien mereka untuk menarik uang dari SVB.

Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono mengatakan, jatuhnya pasar kripto dan kenaikan suku bunga the Fed menjadi faktor pemicu bangkrutnya SVB. "Kenaikan suku bunga the Fed yang sangat agresif hingga 450 basis poin dalam setahun terakhir, telah membuat return investasi di saham dan kripto menjadi tidak menarik," kata Yusuf kepada Republika, Senin (13/3).

Kondisi itu yang memicu startup menarik dana mereka dari SVB untuk kelangsungan operasional. Penarikan dana dalam skala besar memaksa SVB menjual obligasi pemerintah yang mereka miliki.

 
Di tengah suku bunga tinggi, penjualan obligasi menyebabkan kerugian besar, sehingga memaksa SVB mencari pendanaan baru.
 

"Di tengah suku bunga tinggi, penjualan obligasi menyebabkan kerugian besar, sehingga memaksa SVB mencari pendanaan baru. Hal ini kemudian memicu kepanikan deposan yang kemudian menarik dana sehingga menyebabkan 'bank run'," kata dia.

Perusahaan mata uang kripto AS, Circle, menjadi salah satu yang terdampak bangkrutnya SVB. Mengutip Reuters, Sabtu (11/3), Circle menyimpan 3,3 miliar dolar AS dari 40 miliar dolar AS cadangan dananya di SVB. Circle mengumumkan hal tersebut setelah SVB dinyatakan bangkrut pada Jumat (10/3). Krisis keuangan yang dialami SVB mengguncang pasar global dan membuat miliaran dolar AS milik perusahaan dan investor tak jelas nasibnya.

photo
Sejumlah nasabah berdiri di pintu masuk kantor Silicon Valley Bank di Santa Clara, California, Jumat (10/3/2023). - (AP Photo/Jeff Chiu)

Harus waspada

Yusuf memandang Pemerintah Indonesia perlu bersiaga setelah SVB bangkrut, meskipun saat ini kondisi keuangan di Indonesia cukup stabil. "Meski kondisi perbankan dan sektor keuangan kita saat ini cukup stabil, beberapa kegagalan bayar korporasi, dengan yang terakhir kasus gagal bayar obligasi Waskita Karya, menjadi sinyal yang harus sangat diwaspadai," kata dia.

Akademisi dari Universitas Indonesia itu mengatakan, kegagalan bayar oleh korporasi besar akan berpotensi sistemik ke perbankan. Terlebih, perbankan di Indonesia saat ini juga memegang obligasi pemerintah dalam jumlah besar.

"Meski hingga kini pertumbuhan ekonomi kita masih stabil dan salah satu yang terbaik di dunia, risiko dari pengetatan likuiditas global pasca kebangkrutan SVB terhadap perekonomian domestik tidak bisa diabaikan," kata dia.

Menurut peneliti CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet, salah satu penyebab kolapsnya SVB karena terlalu berfokus membiayai perusahaan teknologi. Ketika bisnis perusahaan teknologi menurun, secara otomatis akan berdampak ke SVB. "Jadi, saya kira ada faktor miss management dari bank itu sendiri," kata dia.

photo
Seorang pekerja membuka informasi mengenai SVB di gawai, di dekat gedung SVB, di Kopenhagen, Denmark, Senin (13/3/2023). - (EPA-EFE/Mads Claus Rasmussen )
 

Analis pasar keuangan meyakini krisis yang dialami SVB tidak akan merembet ke Indonesia. Analis menyebut, pasar keuangan domestik aman dari dampak kebangkrutan bank yang menjadi andalan para startup dunia tersebut.

"Melihat perkembangan terakhir kelihatannya tidak mengganggu pasar keuangan Indonesia," kata Kepala Riset Monex Investindo Ariston Tjendra kepada Republika, Senin (13/3).

Dia mengatakan, regulator perbankan AS telah mengambil langkah menjamin seluruh deposit nasabah SVB. Langkah tersebut diyakini akan membatasi risiko sistemik ke sistem keuangan AS.

 
Pasar keuangan domestik diprediksi aman dari dampak kebangkrutan SVB. 
 

Di sisi lain, Ariston melanjutkan, pasar keuangan Indonesia justru akan mendapatkan angin segar dari the Fed. Pelaku pasar memperkirakan Bank Sentral AS tersebut tidak akan menaikkan suku bunga acuannya dengan agresif karena kejadian bank bangkrut ini. "Sehingga hal ini akan mendorong penguatan rupiah," kata Ariston.

Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen mengatakan, tengah bekerja sama dengan regulator perbankan untuk mengatasi kebangkrutan SVB. Dia menegaskan, tidak mempertimbangkan bailout atau dana talangan besar untuk SVB.

"Biar saya perjelas, selama krisis keuangan, ada investor dan pemilik bank besar yang diberi talangan dan reformasi yang telah dilakukan berarti kita tidak akan melakukannya lagi," kata Yellen kepada CBS News seperti dikutip dari Reuters, Ahad (12/3).

Yellen mengaku prihatin dengan deposan dan fokus untuk berusaha memenuhi kebutuhannya. Saat ini, regulator perbankan California sudah menutup SVB dan menunjuk Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) sebagai penerima untuk melindungi deposan.

Yellen juga sudah bertemu pejabat Gedung Putih dan menyatakan keyakinannya pada kemampuan regulator perbankan untuk merespons. Yellen berusaha meyakinkan sistem perbankan AS aman, dikapitalisasi lebih baik, dan lebih tangguh daripada selama krisis keuangan global 2008.

Fitnah Teknologi

Manusia di zaman ini seakan dipermudah dan dimanjakan dengan hadirnya teknologi.

SELENGKAPNYA

Sulit Flexing, Gubernur Sa'id Cuma Punya Satu Baju Dinas

Umar meneteskan air mata begitu mengetahui gubernurnya termasuk orang miskin harta.

SELENGKAPNYA

Guru Honorer: Kami Dibawa ke Puncak, Lalu Diempaskan

Pembatalan pengangkatan PPPK dinilai tak profesional.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya