
Konsultasi Syariah
Istri Bekerja, Suami Tetap Wajib Menafkahi?
Jika istri memiliki pekerjaan, apakah suami tetap wajib memberi nafkah bulanan?
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamu’alaikum wr. wb.
Jika istri memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap, apakah suami tetap wajib memberikan nafkah bulanan? Atau suami tidak wajib memberikan nafkah bulanan kepada istri karena istri mandiri secara finansial? Mohon penjelasan ustadz. -- Zahra, Depok
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Kesimpulannya, jika istri bekerja di luar rumah terjadi karena alasan yang syar’i seperti sebagai pengabdian atau kontribusi sosial atau karena kemampuan suami menyediakan nafkah itu kurang, maka itu bukan bentuk nusyuz sehingga suami tetap berkewajiban memberikan nafkah secukupnya sesuai dengan kemampuan.
Berbeda halnya jika kiprah istri di luar rumah itu tanpa alasan --misalnya-- padahal nafkah untuk keluarga cukup dan permintaan suami tetap tinggal di rumah, maka itu bagian dari nusyuz (pembangkangan) dan suami tidak wajib memberikan nafkah.
Kesimpulan tersebut lebih detailnya akan dijelaskan dalam poin-poin berikut.
Pertama, di antara latar belakang sebagian istri berkarier adalah kebutuhan keuangan keluarga yang cukup besar, kemampuan suami terbatas atau suami tidak mampu memenuhi nafkah keluarga (punya PR nafkah). Sehingga istri selain mengelola rumah tangga (mengurus rumah) juga meluangkan waktu untuk mencari nafkah.
Bahasan ini menjadi penting untuk dikaji karena realitas jumlah para istri yang bekerja itu tidak sedikit. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tenaga kerja formal perempuan pada tahun 2020 sebesar 34,65 persen, pada tahun 2021 sebesar 36,20 pesen, dan pada tahun 2022 sebesar 35,57 persen dari jumlah tenaga kerja formal.
Kontribusi istri untuk berkarier --atas motif apapun di luar rumah-- itu dapat berefek positif atau tidak positif terhadap kehidupan rumah tangganya.
Kedua, ketentuannya bisa dibedakan dalam dua kondisi. (1) Saat istri bekerja di luar rumah terjadi karena kemampuan suami dalam menyediakan nafkah itu kurang atau alasan lain yang syar’i, maka itu bukan bentuk nusyuz istri. Sehingga demikian, suami tetap berkewajiban untuk memberikan nafkah secukupnya sesuai dengan kemampuan.
(2) Berbeda halnya jika kiprah istri di luar rumah mencari nafkah itu tanpa alasan --misalnya-- padahal nafkah untuk keluarga cukup dan permintaan suami tetap tinggal di rumah tetapi ia tetap bekerja di luar, maka itu bagian dari nusyuz (pembangkangan) dan suami tidak wajib memberikan nafkah.
Ketiga, hal ini di dasarkan pada alasan berikut. (1) Kondisi ini adalah kondisi khusus, maksudnya kondisi tidak ideal. Di mana istri tidak lagi fokus menjadi PIC (person in charge) rumah tangga. Begitu pula suami tidak lagi fokus menjadi PIC nafkah, tetapi keduanya bekerja dan juga mengelola urusan rumah.
Oleh karena itu, berlaku ketentuan khusus (bukan ketentuan umum) seperti yang dijelaskan dalam literatur aqdhiyah wa nawazil. Seperti penjelasan para ulama tentang tuntunan saat seorang istri bekerja di luar dan akibatnya terhadap tugas dan tanggung jawab di rumah.
(2) Kesimpulan tersebut didasarkan pada istiqra dan tahqiqul manath terhadap pendapat para ahli fikih seputar nafkah dan saat istri bekerja di luar (penjelasan para ahli fikih seputar kewajiban nafkah suami terhadap keluarga dalam kondisi normal atau ideal tersebut), bahwa (a) Istri dapat nafkah sebagai kompensasi dari ketaatan, (b) jika tidak ada ketaatan (nusyuz), maka suami tidak wajib memberi nafkah.
Jadi, sesungguhnya nafkah dan melayani suami itu hak dan kewajiban secara timbal balik. Seorang suami berkewajiban memberikan nafkah sebagai kompensasi atas kewajiban istri berkhidmah dan memberikan layanan kepada suami.
(3) Karena kaidah dasar (ideal)-nya suami menyiapkan biaya rumah tangga, istri mengelola aktivitas rumah dan merawat anak-anak. Dan suami mampu menyediakan nafkah yang cukup dengan bekerja sendiri tanpa keterlibatan istri. Sehingga istri bisa fokus di rumah, istri mampu membina anak-anak, menjadi istri yang amanah dan taat kepada suami.
Dan karena, dalam kondisi ideal ini, berlaku seluruh ketentuan umum dalam nash, di antaranya, “Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya...” (QS an-Nisa: 34).
Sebagaimana tuntunan Rasulullah SAW saat menikahkan putrinya Fatimah RA dengan Ali bin Abi Thalib RA, “Engkau (wahai Ali) punya tanggung jawab bekerja dan ia (Fathimah) punya tanggung jawab rumah.”
Juga sebagaimana hadis Rasulullah SAW, dari Ibnu Umar, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “…Seorang suami adalah pemimpin atas anggota keluarganya dan akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang istri adalah pemimpin atas rumah tangga dan anak-anaknya dan akan ditanya perihal tanggung jawabnya...” (HR Muslim).
Karena umumnya nash-nash ini untuk kondisi ideal dalam pemilahan tugas dan kewajiban.
Di antara adab-adab yang harus ditunaikan oleh suami dan istri terkait dengan seberapa jauh hak dan kewajibannya terpenuhi itu adalah kesadaran dan komitmen akan tanggung jawab masing-masing dengan memastikan kewajiban sebelum menuntut hak.
Begitu pula menghidupkan suasana merelakan hak dan lapang dada atas setiap kekurangan pasangan yang mungkin muncul dan terjadi. Serta jika ada hak dan kewajiban yang belum tertunaikan dan ditunaikan oleh bukan PIC-nya, dimusyawarahkan agar semua lapang dan ridha.
Wallahu a’lam.
Para Puan Dalam Sejarah Ilmu Islam
Pada masa awal, ada banyak Muslimah terpelajar yang berperan dalam perkembangan syiar agama.
SELENGKAPNYAMuslimah Kawin Lari, Apa Hukumnya?
Wali bagi calon pengantin perempuan diwajibkan karena dia tidak bisa menikahkan dirinya sendiri.
SELENGKAPNYAHarum Sejarah Kopi di Dunia Islam
Ada peran umat Islam dalam sejarah persebaran kopi dan tradisi minum kopi.
SELENGKAPNYA