Muslimah Memilih untuk Jomblo (Ilustrasi)/ Muslimah Berdoa di Padang Arafah | AP Photo/Amr Nabil

Fikih Muslimah

Kala Muslimah Memilih untuk Jomblo

Melajang bagi kaum wanita juga menjadi perhatian tersendiri bagi kalangan ulama.

Jomblo menjadi kosakata yang sangat akrab di telinga masyarakat, utamanya anak muda. Kini di era digital, jomblo ber ubah menjadi sebuah kata bernada sindiran. Beragam meme muncul di media sosial, menggambarkan betapa status jomblo ada lah sebuah penderitaan.

Bahkan di Bandung, ada taman khusus yang disebut taman jomblo, meski nama resminya adalah Taman Surapati. Harapannya, orang yang menyandang status jomblo bisa terhibur dengan keberadaan taman tersebut.

Namun, sebenarnya apa makna jomblo? Tidak ditemukan kata jomblo yang termaktub dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jomblo adalah bahasa percakapan yang muncul di masyarakat. Diyakini jomblo berasal dari kata ‘jomlo’ yang bermakna gadis tua. Dari situ berkembang pengertian jika jomblo adalah sebuah status seseorang yang tidak memiliki pasangan lawan jenis.

photo
Muslimah yang sedang haid wajib menghindari larangan-larangan yang disebutkan dalam syariat. - (Pixabay)
 
 

Apakah status jomblo seseorang ini dikenal dalam Islam? Jomblo, dalam perkembanganya dimaknai sebagai sebuah status hubungan. Seperti halnya menikah, janda maupun duda. Lebih sering jomblo diasosiasikan sebagai lawan kata status berpacaran. Artinya, jika seseorang tidak memiliki pacar maka ia disebut jomblo.

Permasalahannya terletak di sini. Dalam Islam, tidak dikenal pacaran sebagai status antara lelaki dan perempuan. Dalam relasi lelaki dan perempuan Islam membagi menjadi dua golongan besar. Mahram dan nonmahram. Mahram berasal dari bahasa Arab yang bermakna dilarang dinikahi.

Siapa saja yang termasuk mahram dijelaskan oleh Allah SWT dalam Alquran surah an-Nisa ayat 23. “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibu mu, anak-anakmu yang perempuan, sau dara-sau daramu yang perempuan, sau da ra-saudara bapakmu yang perempuan, sau dara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara sepersusuan, ibuibu istrimu, anak-anak istrimu yang masih dalam peliharaan dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu, maka tidak berdosa kamu mengawininya; istri anak-anakmu; dan menghimpunkan dua perempuan bersaudara dalam perkawinan...”

 
Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak nikah dari hamba sahayamu yang lelaki dan perempuan.
QS ANNUR: 32
 

Dari ayat tersebut, jelas relasi antara laki-laki dan perempuan dalam Islam terjadi karena persaudaraan (nasab), pernikahan, dan satu susuan. Selebihnya, tidak diatur relasi yang berbuah status antara laki- laki dan perempuan di luar daripada itu. Termasuk di dalamnya pacaran dan status jomblo. Dalam pacaran tidak ada hak dan kewajiban yang diatur, baik dalam hukum positif maupun hukum agama. Sehingga ikatannya tidak kuat dan berdasar.

Jika jomblo diasosiasikan sebagai orang lajang yang belum menikah, Alquran pun menyebutnya dalam surah an-Nur ayat 32. “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak nikah dari hamba sahayamu yang lelaki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya, lagi Maha Mengetahui.”

Dalam ayat ini, orang-orang lajang diperintahkan untuk menjalin status berikutnya, yakni pernikahan. Jadi, kurang tepat jika jomblo diasosiasikan dengan makna pacaran. Sebutan jomblo yang berkembang di masyarakat saat ini hanya akan berganti dengan status pernikahan.

Melajang bagi kaum wanita juga menjadi perhatian tersendiri bagi kalangan ulama. Anjuran menikah jelas termaktub dalam Alquran dan hadis Rasulullah SAW. Bahkan, Rasulullah SAW bersabda, “Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa di antara kalian, akan tetapi saya berpuasa dan berbuka, shalat, dan tidur, serta menikahi wanita, siapa yang tidak suka sunahku, maka dia bukan golonganku.” (HR Bukhari Muslim).

Anjuran ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Namun, ada pula beberapa ulama yang memperbolehkan wanita untuk melajang. Dasarnya adalah Alquran surah an-Nur ayat 60. “Dan para wanita tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin menikah, tidaklah ber dosa menanggalkan pakaian luar mereka de ngan tidak (bermaksud) menampakkan aurat dan menjaga kehormatan adalah lebih baik bagi mereka.”

Ulama yang memperbolehkan wanita melajang di antaranya adalah Ibnu Hazm. Dalam kitabnya al- Muhalla beliau mewajibkan para laki-laki untuk menikah. Namun, tidak halnya dengan perempuan. Satu hadis yang menguatkan pendapatnya adalah, “Wanita yang mati dalam keadaan jum’in, termasuk mati syahid.” (HR. Ibnu Majah).

 
Wanita yang mati dalam keadaan jum’in, termasuk mati syahid.
HR IBNU MAJAH
 

Beliau menafsirkan kata jum’in termasuk mereka yang masih gadis dan tidak menikah. Namun, Ibnu Hajar menerangkan yang dimaksud dengan jum’in adalah mereka yang meninggal setelah melahirkan pada masa nifas.

Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Nawawy yang berkata, jum’in cara membacanya, huruf jim, mim dan ‘Ain dengan mendhommahkan huruf jim. Maknanya adalah wanita yang wafat dalam keadaan hamil yang mengandung janin di perutnya. Meski ada perbedaan pendapat tentang melajangnya wanita, namun yang disepakati jumhur ulama adalah menyegerakan pernikahan. Allahu a’lam.

Ketika Akasyah Hendak 'Memukul' Nabi

Akasyah seakan-akan hendak memukul Nabi sebagai balasan dahulu di Uhud.

SELENGKAPNYA

Mengenal Nafisah, Cicit Nabi yang Jadi Guru Imam Syafi'i

Imam Syafi'i berwasiat agar Nafisah ikut menshalati jenazahnya saat dia wafat.

SELENGKAPNYA

Misteri Angka 40, Sangkakala, dan Hari Kiamat

Jarak waktu antara kedua tiupan adalah empat puluh.

SELENGKAPNYA