Direktur Lokataru Haris Azhar (kanan) didampingi kuasa hukum tiba untuk menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (21/3/2022). | ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/nym.

Nasional

Kriminalisasi Haris-Fatia Dinilai Hambat Gerakan Antikorupsi

Komnas Perempuan mendorong kriminalisasi Fatia diselesaikan lewat restorative justice.

JAKARTA – Eks pegawai KPK yang tergabung dalam Indonesia Memanggil (IM) 57+ Institute menyayangkan pelimpahan kasus dugaan pencemaran nama baik dengan tersangka Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. IM 57 menilai langkah itu justru memukul mundur gerakan antikorupsi.

Polda Metro Jaya diketahui telah melimpahkan berkas penyidikan kasus dugaan pencemaran nama baik terhadap Luhut Binsar Pandjaitan dengan tersangka Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti ke kejaksaan. Kedua aktivis hak asasi manusia (HAM) tersebut pun menyatakan siap meladeni.

IM 57 mengingatkan, pengawalan pemberantasan korupsi perlu mengandalkan partisipasi publik. Partisipasi tersebut dilakukan baik melalui pelaporan kasus yang diketahui maupun advokasi kasus yang seharusnya ditindaklanjuti penegak hukum.

“Terus berlanjutnya kasus Haris-Fatia tanpa mendengar kritik publik dan konteks kasusnya mendorong publik semakin enggan melaporkan ataupun mengawal kasus karena malah adanya potensi dikriminalisasi,” kata Ketua IM 57+ Institute M Praswad Nugraha dalam keterangannya, Rabu (8/3).

photo
Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti (kedua kiri) bersama perwakilan koalisi masyarakat sipil Bersihkan Indonesia memberikan keterangan pers di kantor KontraS, Jakarta, Rabu (23/3/2022). - (Republika/Thoudy Badai)

IM 57 menilai, tindakan Haris dan Fatia yang menyampaikan hasil riset merupakan tindakan nyata yang dilakukan dalam mengawal kinerja pejabat publik sehingga pejabat publik bekerja secara baik dan bebas dari segala potensi konflik kepentingan. “Apabila mereka dikriminalisasi maka kita kembali pada masa di mana ruang gerak demokrasi yang penting dalam pemberantasan korupsi terkungkung,” ujar Praswad.

IM 57 juga mengamati adanya kebingungan publik ketika, di satu sisi, kasus Haris-Fatia ditindaklanjuti, tetapi pelaporan masyarakat sipil atas dugaan korupsi dalam kasus di daerah yang dielaborasi oleh Haris-Fatia dalam podcast-nya tidak direspons dengan cara yang sama. Hal tersebut, menurut IM 57, tidak mencerminkan pernyataan kapolri yang terus diulang tentang reformasi Polri.

“Padahal, merupakan suatu hal yang jelas, salah satu prinsip mendasar adalah mendahulukan kasus korupsi dibandingkan kasus terkait pencemaran nama baik,” ujar Praswad.

Selain itu, IM 57 menyinggung komitmen Presiden Joko Widodo tentang reformasi UU ITE. Kasus kali ini menimbulkan pertanyaan publik karena melalui kriminalisasi ini maka substansi dari delik yang menghambat kritik kembali hidup. “Artinya bahkan presiden pun tidak menunjukkan komitmen nyata dalam tindakan,” kata Praswad.

 
Bahkan presiden pun tidak menunjukkan komitmen nyata dalam tindakan.
PRASWAD NUGRAHA, Ketua IM 57+ Institute M.
 

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi sebelumnya menyatakan, kasus kriminalisasi pembela HAM Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar atas kritiknya terhadap pejabat publik kian tampak dipaksakan. Proses hukum yang memakan waktu sekitar 1 tahun 6 bulan memberi kesan keragu-raguan yang nyata dari kepolisian dan kejaksaan dalam melihat ada dan tidaknya unsur perbuatan pidana dalam perkara ini. Saat ini, berkas perkara kasus dugaan pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan itu sudah pada tahap kedua.

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Demokrasi terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, LBH Jakarta, Amnesty International Indonesia. Kemudian Kontras, LBH PP Muhammadiyah, ICJR, TATAK, LBH Sulteng, YLBH Sisar Matiti Manokwari, Lokataru Foundation, PAHAM Papua, LBH Pers, SAFEnet, Elsam, AJAR, AJI, Asian Human Rights Commission (AHRC), dan Walhi.

Komnas Perempuan mendorong kriminalisasi terhadap Fatia Maulidiyanti diselesaikan lewat mekanisme restorative justice (RJ). Komnas Perempuan menilai penerapan RJ terhadap Fatia tergolong tepat. “Kasus ini terus kami monitor, berharap ada penyelesaian yang baik. Ada model restorative justice yang tepat untuk kasus Fatia,” kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani.

photo
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan seusai memenuhi undangan pemeriksaan sebagai pelapor di gedung Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (27/9). Luhut melaporkan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti terkait unggahan video berjudul "Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi Ops Militer Intan Jaya" yang membahas bisnis para pejabat dan purnawirawan TNI di balik bisnis tambang emas atau rencana eksploitasi wilayah Intan Jaya, Papua. - (Republika/Putra M. Akbar)

Andy mengatakan, pihak Fatia sudah mengadukan kasus hukum yang menderanya itu. Komnas Perempuan pun sempat memberikan keterangan saat penyelidikan kasus ini.

Andy juga menegaskan, pembela HAM tak semestinya dikriminalisasi atas kerja-kerjanya. Sebab, pekerjaan mereka justru mendorong pemajuan HAM yang bermanfaat bagi masyarakat. “Kami dukung upaya penyelesaian yang lebih cepat karena proses kriminalisasi pembela HAM itu akan ganggu upaya kita bersama untuk penegakan hukum HAM maupun untuk kemajuan HAM yang dicita-citakan,” ujar Andy.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat