Strategi promo melalui media sosial (ilustrasi) | Unsplash/Adem Ay

Geni

Menyikapi Perbedaan di Jagat Maya Secara Bijaksana

Memberikan pandangan atau pemikiran kita, juga bukanlah hal yang salah.

Bersuaralah selama ini membawa kebenaran. Apalagi saat ini kita berada pada era digital sehingga kita bebas mengutarakan pandangan, asalkan itu tidak sampai merendahkan orang-orang yang bertentangan.

Saat ini, keriuhan tentang rahasia awet muda dan pilihan hidup tentang tidak memiliki anak pun mewarnai dinamika media sosial. Namun, polarisasi di kalangan para warganet pun menyoroti banyaknya cara warga maya dalam menyikapi adanya perbedaan pendapat. 

“Saya kira perbedaan pendapat itu merupakan hal yang lazim,” ujar sosiolog Nia Elvia saat dihubungi Republika, Kamis (9/2/2023). Namun, ia menegaskan pentingnya memahami karakter audiens yang dirasa akan mendengar pandangan tersebut.

Seperti figur publik yang tinggal di Indonesia, mereka harus paham bahwa Indonesia masih menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa. Pancasila, budaya, adat, bahkan agama, masih menjadi acuan bagi beberapa orang dan komunitas masyarakat.

Ketika kita berkomunikasi secara sosial, misalnya, via media sosial atau sebagainya, hal yang paling utama adalah tetap merujuk pada nilai-nilai luhur bangsa. “Misalnya, bangsa kita masih mengedepankan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa,” ujar Nia.

Artinya, memahami karakter audiens ini adalah untuk mengeliminasi perpecahan sosial. Dan itu sebenarnya merupakan etika sosial sebagai figur publik, baik pemimpin, pengelola negara, artis, influencer, maupun profesi serupa.

photo
Warga mengamati akun Instagram anak angkat bintang sepak bola Cristiano Ronaldo, Martunis, di Kota Kediri, Jawa Timur, Kamis (16/4/2020). Penyintas tragedi tsunami Aceh 2004 tersebut melelang jersey pemberian ayah angkatnya melaui Instagram untuk membantu menangani pandemi COVID-19 - (ANTARA FOTO)

Memberikan pandangan atau pemikiran kita, juga bukanlah hal yang salah. Tetapi, ada hal-hal yang harus dipahami agar tidak membuat orang terpecah. Apalagi, masyarakat Indonesia perlahan pikirannya sudah banyak yang terbuka, tidak lagi kaku dan kolot.

Dalam aspek keluarga, jika ditilik dari nilai-nilai bangsa, anak merupakan anugerah atau rahmat dari Tuhan. Ini berarti misalnya hendak mengutarakan soal childfree, alangkah baiknya tidak menyebabkan persepsi yang sebaliknya seperti anak akan menyusahkan.

Kemudian dalam mengutarakan pandangan soal lesbian, gay, biseksual, dan transgender(LGBT), misalnya. Jangan sampai juga bertentangan dengan nilai luhur bangsa yang meyakini bahwa Tuhan menciptakan perempuan dan laki-laki sebagai pasangan. “Jadi, figur publik idealnya memberikan pandangan atau ide sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa kita. Saya kira, pepatah kita dulu masih amat relevan, ‘Di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung’,” kata Nia.

Lagi pula, bukankah sudah banyak masyarakat yang berdamai dengan perbedaan prinsip? Bukankah sudah banyak yang bertoleransi atas pilihan hidup, asalkan tidak mengampanyekan pilihan yang bersifat pribadi?

Dengan memahami audiens, harusnya figur publik akan memahami bahasa seperti apa yang akan mereka sampaikan. Sehingga pandangan mereka akan diterima dengan baik jika satu frekuensi dan akan didiskusikan dengan kepala dingin jika bertentangan.

Media Sosial dan Potensi Depresi 

Pengguna Medsos Indonesia - (republika)

  ​

Psikolog Indah Sundari Jayanti mengingatkan, gaya hidup malas gerak (mager) bisa membuat orang depresi dan rendah diri. Mager biasanya tidak lepas dari kegiatan membuka media sosial atau melihat smartphone.

“Ujung-ujungnya, kalau cuma scrolling medsos saja, bukan tak mungkin itu mengarah ke depresi dan rasa rendah diri yang semakin rendah,” kata Indah saat ditemui di GBK, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu. 

Indah mengatakan bahwa manusia memiliki dua energi, yaitu fisik dan psikis, yang saling berkaitan satu sama lain. Semakin sering Anda bergerak, secara psikis akan memacu beberapa hormon di dalam diri untuk kita menjadi bahagia, percaya diri, hingga produktif. Hal negatif akan terjadi jika kita melakukan kebalikannya. “Sebaliknya, kalau kita jarang bergerak, mager, itu juga bisa memicu kondisi stres jadinya lebih besar,” ujar Indah.

Ketika Anda memutuskan tidak bergerak, atau mager, tidak ada kemajuan dalam kehidupan sehari-hari. “Jadi, gerak enggak, sirik sama kehidupan orang iya, tapi kita nggak ada kemajuan. Jelas, bergerak itu punya manfaat yang nggak hanya secara fisik, tapi juga secara psikis,” kata Indah.

 

 
Perbedaan pendapat itu merupakan hal yang lazim. 
NIA ELVIRA, Sosiolog 
 
 

 

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat