Prajurit TNI bersiap menaiki helikopter menuju Nduga di Wamena, Papua, Rabu (5/12/2018). | ANTARA FOTO

Kronik

Trauma Panjang di Nduga

Konflik bersenjata di Nduga melumpuhkan pendidikan dan kesehatan.

OLEH RIZKY SURYARANDIKA, FEBRIANTO ADi SAPUTRO

8 Januari 1996. Kabar buruk datang dari wilayah pegunungan di Papua. Sebanyak 26 orang rombongan peneliti World Wildlife Fund (WWF) hilang di Desa Mapenduma, Kecamatan Tiom. Kala itu, kawasan di kaki gunung itu masuk dalam Kabupaten Jayawijaya. Kini distrik di Kabupaten Nduga.

Tak hanya warga negara Indonesia, ada warga negara Inggris, Belanda, juga Jerman dalam tim itu. Diketahui belakangan, mereka disandera kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dipimpin Kelly Kwalik.

Beberapa sandera dibebaskan secara sporadis sejak 12 Januari 1996 itu. Hingga 23 Maret 1996, sebanyak 15 telah dibebaskan. Namun, 11 lagi termasuk sejumlah warga Inggris masih ditahan. Selama 129 hari mereka dibawa berpindah-pindah di gunung. Dua diantaranya dibunuh dalam jangka waktu itu.

Upaya mediasi oleh Palang Merah Internasional (ICRC) dan pemuka agama di wilayah itu tak berhasil merayu pasukan separatis. Hingga akhirnya, pada 8 Mei 1996 operasi militer bersandi "Operasi Satgas Cenderawasih" diluncurkan.

photo
Para peneliti yang disandera di Mapenduma pada 1996. - (Public Domain)

Saat itu, Satgas ABRI dengan kekuatan tim inti 100 anggota Kopassus dan 300 anggota satuan lain, di bawah pimpinan Brigjen TNI Prabowo Subianto, bergerak ke Kampung Geselama. Hari kelima operasi, tentara berhasil pengepung penyandera, membunuh sejumlah tentara separatis, dan melakukan pembebasan.

Cerita itu dikisahkan dengan gemilang di Jakarta. Namun empat tahun kemudian, Presiden KH Abdurrahman Wahid mengungkapkan sesuatu yang belum diketahui kala itu: operasi di Mapenduma membunuh juga sedikitnya 100 orang Papua.

Sejak itu, kekerasan secara sporadis terus terjadi di wilayah pegungan Papua. Pasukan separatis yang kemudian menggunakan nama Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) terus merongrong.

Namun ada kejadian pada 1 Desember 2018 yang jauh melampaui kekerasan-kekerasan sebelumnya. Saat itu, ada 28 karyawan PT Istaka Karya dijemput paksa TPNPB pimpinan Egianus Kogoya di kamp pekerja di Nduga.

photo
Sejumlah keluarga korban penembakan di Kabupaten Nduga Papua, Emanuel B.B Naektias menyambut kedatangan jenazah Emanuel di Terminal Kargo Bandara El Tari Kupang, NTT (8/12/2018). - (ANTARA FOTO/Kornelis Kaha)

Pada Ahad 2 Desember 2018 sekitar pukul 08.00 WIT, seluruh karyawan yang disandera digirng menuju Puncak Pegunungan Kabo. Sekitar dua jam perjalanan, mereka sudah berada di Bukit Kabo dan diperintahkan untuk berbaris dan jongkok. Para pekerja dieksekusi satu per satu.

Sebanyak 11 orang di antaranya masih hidup dan pura-pura telah meninggal. Namun, tiga di antaranya tidak sabar dan langsung bangkit dan akhirnya ikut dibunuh. Delapan yang masih hidup kemudian melarikan diri. Namun, dua di antaranya akhirnya tertangkap dan dieksekusi di tempat ditemukan. Hanya enam lainnya lolos. Total 19 pekerja dan satu aparat meninggal.

Warga setempat belum lupa dengan operasi pada 1996. Ribuan melarikan diri mengungsi dan bersembunyi di gunung-gunung khawatir dengan potensi operasi yang bakal digelar aparat Indonesia. Berbagai pihak menyampaikan sekitar 300 di antara pada pengungsi itu meninggal.

Kekerasan dan pengungsian di Papua - (Republika)  ​

Ancaman terhadap 15 pekerja bangunan puskesmas di Nduga pada Senin (6/2) serta kejadian pembakaran pesawat sipil yang menyusul pada Selasa (7/2) mengembalikan kembali ingatan-ingatan terhadap trauma tersebut.

Kekerasan-kekerasan dan trauma itu membuat harkat warga Nduga sukar diangkat. Kondisi pendidikan dan kesehatan tak kunjung membaik. Misalnya, hanya setahun setengah rata-rata warga Nduga mengenyam bangku sekolah. Jauh dari rerata nasional yang hampir mencapai sembilan tahun. Hanya ada lima dokter di Nduga, hanya satu rumah sakit.

Sekretaris Daerah Nduga Namia Wijangge menyebut bahwa banyak pembangunan di Nduga terbengkalai akibat konflik berkepanjangan antara TNI dan kelompok separatis di Nduga.

"Sementara pembangunan jembatan maupun jalannya ini belum jalan tapi anggota TNI Polri yang dikirim ke sana itu bukan menjaga pembangunan jalan, tetapi masuk ke kampung-kampung masyarakat di sana, di rumah-rumah masyarakat di sana, dan trauma ini berkepanjangan dari peristiwa 1996 yang terjadi di Mapenduma," ungkap Namia di Kompleks Parlemen Senayan tahun lalu.

Kondisi Tiga DOB Papua - (Republika)  ​

Menurut Namia, trauma tersebut masih terjadi hingga sekarang imbasnya banyak sekolah-sekolah di 11 distrik di Nduga tidak beroperasi.

"Kasihan masyarakat di sana tidak ada hak dasar, pendidikan semua kosong, kemudian beberapa puskesmas posyandu tidak jalan, pendidikan tidak jalan kemudian pelayanan kesehatan juga tidak jalan, kemudian gereja di sana ada 98 gereja yang kosong. semua jemaatnya lari, masyarakatnya lari," tutur dia.

Ia juga mengungkapkan bahwa pemerintah daerah tidak bisa turun ke daerah konflik. Pasalnya nyawa mereka akan terancam jika para pemberontak tahu bahwa ada masyarakat bekerja untuk Pemerintah Indonesia.

"Mereka yang OPM di sana menganggap kami, kami yang bekerja di dalam pemerintah itu mereka anggap kami itu pegawai Republik Indonesia sehingga 'kamu masuk juga kami tembak', seperti itu sehingga kami juga tidak bisa masuk ke sana," tuturnya.

Kondisi HAM di Papua - (Republika)  ​

Kemudian Bupati Nduga Yairus Gwijangge mengungkapkan bahwa masyarakat Nduga saat ini tidak hidup tenang. Sebagian dari mereka ada yang melarikan diri ke hutan.

"Sehingga kami dengan harapan penuh meminta Bapak Presiden melalui Ketua DPR RI bahwa penarikan anggota TNI Polri organik dan nonorganik itu sama-sama melaksanakan tugas di sana tidak menjadi masalah," ujarnya.

Jeda kemanusiaan

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Timotius Murib kemarin juga mengingatkan Komnas HAM mengenai komitmen penyelesaian konflik bersenjata di Papua. Salah satunya lewat pembentukan Tim Jeda Kemanusiaan Bersama.

MRP memantau situasi Papua belakangan ini masih panas dengan adanya kekerasan, pembakaran, pembunuhan. "Komnas HAM telah bersepakat untuk menjajaki proses menuju dialog kemanusiaan. Salah satunya melalui Jeda Kemanusiaan yang diarahkan untuk menangani pengungsi dan tahanan politik. Tapi belum bisa terlaksana," kata Timotius dalam keterangan yang diterima pada Rabu (7/2).

Pernyataan TPNPB terkait penyerangan pekerja infrastruktur di Papua. - (TPNPB)  ​

Timotius mengingatkan Komnas HAM perihal Jeda Kemanusiaan yang berakhir pada 3 Februari 2023. Ia menjelaskan, kesepakatan itu sifatnya bersyarat yaitu harus didahului dengan pembentukan Tim Jeda Kemanusiaan Bersama. "Kami berharap Komnas HAM melanjutkan kesepakatan baik itu," kata Timotius.

Keanggotaan Tim tersebut meliputi unsur Komnas HAM, perwakilan lembaga di Papua, serta unsur pemerintah pusat dan provinsi. Nama-nama perwakilan Papua telah diserahkan ke Komnas HAM. "Namun, Tim yang dimaksud belum kunjung terbentuk," ujar Timotius.

Sementara itu, Wakil Ketua MRP Yoel Luiz Mulait menambahkan pentingnya keterlibatan Komnas HAM. Ia meyakini peran Komnas HAM sangat dibutuhkan untuk mendorong perlindungan hak-hak orang asli Papua dan resolusi konflik di Papua.

"Apabila tidak berlanjut, bukan saja kesepakatan itu berakhir, tapi kepercayaan rakyat Papua pun akan menurun," ujar Yoel.

photo
Keluarga korban kekerasan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) menangis di atas peti jenazah saat tiba di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Ahad (2/10/2022). - (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)

Yoel menegaskan penanganan situasi pengungsi tidak boleh ditunda. Begitu pula dengan situasi para tahanan politik yang menurutnya angkanya bertambah.

"Sementara penegakan hukum atas kasus-kasus pelanggaran HAM belum memperlihatkan kemajuan berarti. Kami mendorong Komnas HAM," ucap Yoel.

Komnas HAM tahun lalu menandatangani “Nota Kesepahaman” bersama MRP, Dewan Gereja Papua (DGP), dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Menurut dokumen tertanggal 10-11 November 2022, mereka menandatangani Nota Kesepahaman Tentang Jeda Kemanusiaan Bersama.

Jeda Kemanusiaan Bersama ialah kesepakatan para pihak untuk berupaya mendorong penghentian permusuhan pihak konflik bersenjata demi mencapai tiga tujuan.

Saling serang di Papua - (republika)  ​

Pertama, pemberian bantuan kemanusiaan ke warga sipil yang terjebak konflik bersenjata dan yang mengungsi akibat konflik bersenjata. Kedua, memastikan pemenuhan hak-hak dasar para tahanan dan narapidana terkait tuntutan politik kemerdekaan atau referendum. Ketiga, penghentian sementara pertempuran dan kekerasan oleh para pihak.

Kejadian di Nduga mencerminkan fakta bahwa jeda kemanusiaan itu hanya di atas kertas saja. Di lapangan, di desa-desa kaki gunung di Papua, trauma-trauma lama belum hilang sementara trauma-trauma baru terus terbentuk.

Relevansi Sekolah Coding pada Era Low Code-No Code

Sekolah coding dan bootcamp bukan hanya belajar kode, tetapi peserta diajarkan logika berpikir.

SELENGKAPNYA

Teriakan Putus Asa dari Reruntuhan Gempa

Sekitar 13.740 personel pencarian dan penyelamatan telah dikerahkan ke wilayah gempa.

SELENGKAPNYA

Bisa Dihemat, Panja Usulkan Biaya Haji Rp 50-55 Juta

Nilai penghematan bisa sampai Rp 1,2 triliun.

SELENGKAPNYA