
Kisah Dalam Negeri
Bentor Kini, Diimpit Jalanan, Digempur Zaman
Bentor bukan lagi menjadi moda utama masyarakat perkotaan Medan.
OLEH ZAINUR MAHSIR RAMADHAN, WIHDAN HIDAYAT
Klakson ribut hingga emosi yang memenuhi jalanan bukan masalah bagi penarik becak motor (bentor) yang telah menarik ribuan pelanggan sejak 1970-an itu.
Rahmad (70 tahun) pengemudi bentor asli Medan itu mengatakan, satu-satunya yang membuat transportasi bentor kesulitan saat ini hanyalah kemajuan transportasi publik dan persaingan dengan ojek online (ojol).
“Udah 50 tahun lebih saya narik bentor, banyak berubahnya,” kata Rahmad.
Dia menyebut, semakin waktu bergulir, semakin jalanan penuh sesak dengan kendaraan pribadi dan transportasi yang lebih memadai kebutuhan masyarakat. Meski demikian, jalanan di Kota Medan hingga kini masih penuh dengan pemandangan bentor dengan motor jenis Win 100 atau motor 150 cc ke bawah.
“Motor Win mulai dari 2005, sebelumnya sama kayak yang di Pematangsiantar,” ucap dia.
Berbeda memang dengan pemandangan bentor di Pematangsiantar yang mempertahankan daya tarik dengan moge-nya, bentor di Kota Medan memiliki sejarahnya sendiri. Dipercaya sudah eksis sejak 1960-an, bentor di kota ini bisa menembus jalanan kecil dengan menampung kapasitas hingga lima orang.
“Bisa lima orang. Cuman sekarang enggak akan kuat. Motor sama saya sama-sama sudah tua, tinggal nunggu saya mati aja kalau ngangkut langsung banyak,” kata Rahmad berseloroh.
Ditanya mengapa Bentor kerap sulit diprediksi untuk berbelok atau menukik di jalanan ibukota Sumatra Utara itu, dia tak membicarakannya secara detail. Namun, dirinya tak menampik jika lalu lintas dan cara berkendara di Medan memang demikian adanya.

“Tiap waktu banyak yang salah di sini. Tapi, yang penting marah aja duluan. Marah duluan artinya menang,” kata dia sambil tertawa.
Sepanjang perjalanan saya dari salah satu acara yang hendak dihadiri Presiden Jokowi itu, Rahmad menceritakan kesenangan selama menarik bentor hingga lima dekade lamanya. Selain hiburan selingan para penarik bentor di luar jalanan, kesenangan mereka terus dilakukan di saat masa kejayaan bentor Kota Medan pada malam hari.
“Dulu banyak balapan bentor di daerah sini (Medan Kota, Red) dijudikan juga,” katanya terkekeh-kekeh menceritakan kenakalannya.
Aral melintang, saat zaman silih berganti dan membuat penumpang makin sedikit bagi pengemudi bentor, tidak ada lagi keseruan atau keriuhan sesama pengemudi. Dia kecewa, tidak ada lagi kekompakan yang terulang.
“Sekarang yang kompak ojek online,” katanya.
Tak lama, bentor tiba di tujuan saya. Rahmad senang bukan kepalang karena memang sedikit mendapatkan penumpang akhir-akhir ini. Selang beberapa menit, dia langsung pergi, berkeliling Kota Medan menawarkan jasa pada tiap-tiap yang menunggunya.

Seperti bajaj di Jakarta atau New Delhi, tuk-tuk di Bangkok, hingga bentor di Medan, semuanya mengalami degradasi sosial karena perubahan zaman. Masyarakat awam, selain para wisatawan, lebih memilih transportasi yang mudah, aman, nyaman, dan murah. Bentor, diakui atau tidak, sudah bukan lagi menjadi moda utama masyarakat perkotaan Medan.
Berdasarkan pantauan Republika di Kota Medan, hampir tidak ada pejalan kaki di trotoar yang minim dan kerap diserobot pengendara. Ihwal berjalan barang beberapa ratus meter, masyarakat sekitar tampak lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi ataupun jasa angkutan.
Salah satu penumpang bentor, Udin (33), mengaku lebih senang menaiki kendaraan khas Sumatra Utara itu. Lantaran kebutuhan mobilitas lebih tinggi dan harga-harga yang kian mahal, dirinya kini mengaku lebih mengandalkan kendaraan pribadi atau ojol karena pengeluaran yang pasti.
“Tapi pasti sempat-sempat pakai bentor kalau bisa,” kata Udin. Dia mengatakan, itu karena ia ingin kendaraan ikonik Sumatra Utara itu tetap ada dan menjadi ciri khas lebih yang lebih dikenal alih-alih dikenang masyarakat luas.

Hal serupa juga dikatakan wisatawan dari Jakarta, Ridwan (29). Dia mengatakan, alasan menggunakan bentor selama kunjungannya di Medan beberapa hari ke depan karena ingin merasakan sensasi kota terbesar ketiga di Indonesia itu. Menurut Ridwan, dengan menggunakan kendaraan khas, makanan khas, dan bersosialisasi dengan warga lokal, ia bisa mencicipi rasanya hidup dan menetap di lokasi itu untuk waktu lama.
“Menarik aja tiap nemu yang kayak gini. Kita bisa ikut jadi pelaku sejarah juga mungkin ke depannya,” kata Ridwan.
Mengapa Gempa Turki Bisa Begitu Dahsyat?
Gempa di Turki terjadi ketika satu lempeng bergerak ke barat, yang lain ke timur, lalu saling menyentak.
SELENGKAPNYACadangan Beras Pemerintah Mayoritas Impor
Penyerapan beras akan naik signifikan pada Maret.
SELENGKAPNYA