Nurcholish Madjid | Daan Yahya/Republika

Refleksi

Peneguhan Kesadaran HAM di Indonesia (Bagian III/Habis)

Banyak pelanggaran HAM di Indonesia dianggap biasa saja.

OLEH NURCHOLISH MADJID

Berbagai pembahasan HAM dirasakan perlu untuk melicinkan jalan menuju kepada penilaian kepada usaha-usaha peningkatan HAM dan kesadaran umum di Indonesia. Hal pertama yang agaknya harus dikemukakan ialah bahwa Indonesia, dibanding dengan negara-negara yang sudah amat maju dalam mengembangkan kesadaran tentang hak-hak itu tentu masih jauh ketinggalan.

Tetapi sesungguhnya ketertinggalan itu tidaklah sedemikian parahnya. Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memang baru dibentuk dan tampil beberapa tahun terakhir ini saja.

Dan sebelum Komnas HAM, telah berdiri berbagai LSM yang berdedikasi kepada usaha penegakan hak-hak asasi dan peningkatan kesadarannya dalam masyarakat umum. Tetapi, untuk menyebut satu contoh, Kanada pun, sebagaimana telah disebut di atas, baru pada tahun 1982 memiliki ketegasan sikap untuk HAM.

Keadaan di Indonesia

Jika diukur dengan semua nilai yang dijabarkan dan dikehendaki sebagai konsep hak-hak asasi sebagaimana dituturkan di atas, maka keadaan di Indonesia tentu jauh dari memadai. Banyak kejadian yang di negeri maju dianggap sebagai pelanggaran gawat terhadap hak-hak asasi, di Indonesia masih dipandang biasa saja.

 
Banyak kejadian yang di negeri maju dianggap sebagai pelanggaran gawat terhadap hak-hak asasi, di Indonesia masih dipandang biasa saja.
 
 

Yang paling kuat dirasakan ialah kebebasan berbicara atau menyatakan pendapat, berkumpul dan berserikat. Meskipun dalam hal kebebasan-kebebasan asasi itu jelas keadaan Indonesia sekarang sudah lebih baik daripada sekitar sepuluh tahun yang lalu, namun masih terdapat kasus-kasus "mengejutkan" yang semestinya tidak terjadi.

Sekali lagi, memang banyak terdapat kemajuan. Hal-hal yang sekitar sepuluh tahun yang lalu benar-benar mustahil, seperti hak berserikat yang muncul dalam bentuk lahirnya organisasi-organisasi baru seperti PNI-baru, Masyumi-baru, Parkindo-baru, PUDI, KIPP, Mari, PRD, dan lain-lain, saat sekarang, sekalipun tidak jelas diakui, namun dibiarkan cukup leluasa.

Kecuali PRD yang dikait-kaitkan dengan peristiwa 27 Juli, semua organisasi baru itu relatif tidak terlalu banyak mengalami gangguan. Tinggal mempertanyakan, seberapa jauh organisasi-organisasi itu menampilkan kegunaan bagi masyarakat.

Sudah disebutkan bahwa Kanada sangat relevan dikaitkan dengan pembahasan ini, karena dapat dijadikan contoh tentang persoalan yang paling berat bagi masalah usaha penegakan HAM di Indonesia, yaitu kelemahan konstitusi dalam masalah hak-hak asasi itu dan persoalan dominasi pemerintahan atau etatisme.

 
UUD 1945, dari satu sudut pandang, mungkin dapat disebut sebagai tepat untuk Indonesia dengan ciri fisik geografis dan sosial kultural yang amat majemuk.
 
 

UUD 1945, dari satu sudut pandang, mungkin dapat disebut sebagai tepat untuk Indonesia dengan ciri fisik geografis dan sosial kultural yang amat majemuk. UUD 1945 menyediakan sistem pemerintahan yang kuat, yang tidak dapat dijatuhkan di tengah masa baktinya. Dan UUD 1945, di tangan pemerintahan Orde Baru, telah menunjukkan ketepatgunaannya sebagai penjamin stabilitas, keamanan, dan kelangsungan, guna menopang keberhasilan pembangunan nasional.

Tetapi siapa pun mengetahui bahwa UUD 45 adalah sebuah konstitusi dengan pembagian kekuasaan dan kewenangan yang lebih berat ke arah eksekutif. Akibatnya mudah diduga, yaitu etatisme. Seolah mendukung kekuatiran yang pernah timbul di Kanada bahwa persoalan hak-hak asasi yang tidak secara tegas dan spesifik dicantumkan dalam konstitusi akan terancam bahaya "legislated away" oleh Parlemen, ketidakjelasan jaminan hak-hak asasi dalam UUD 45 dapat memperlemah usaha menegakkan nilai-nilai itu dalam masyarakat dan peningkatan kesadaran umum di kalangan mereka.

Beberapa tokoh hak-hak asasi telah cukup lama mengemukakan persoalan itu. Tetapi barangkali tidak dapat dipersalahkan jika pandangan mereka tidak memperoleh sambutan yang diperlukan, karena efektivitas UUD 45 bagi banyak kalangan sudah terbukti tanpa dapat disangkal selama 30 tahun terakhir ini.

 
Oleh karena itu ada perasaan umum untuk tidak ambil risiko (don't take chance!) dengan mengungkit kembali suatu nuktah dalam konstitusi itu.
 
 

Oleh karena itu ada perasaan umum untuk tidak ambil risiko (don't take chance!) dengan mengungkit kembali suatu nuktah dalam konstitusi itu. Dan mereka ini tidak dapat dipersalahkan, karena pengalaman memang menunjukkan bahwa kesempatan pengungkitan itu telah meluncurkan bangsa ke suatu bencana politik yang mengerikan.

Tetapi pengalaman-pengalaman traumatis itu dirasakan tidak relevan lagi untuk sebagian warga negara, khususnya dari generasi muda. Mereka hanya melihat bahwa negara sudah mengalami kemajuan yang cukup jauh di bidang ekonomi dan pendidikan. Kemudian mereka semakin mendapat akses kepada berbagai informasi dari luar negeri yang bagi mereka menjadi bahan perbandingan.

Malaysia, umpamanya, sering disebut sebagai negeri dengan tingkat demokrasi dan penghargaan kepada hak-hak asasi yang lebih baik daripada Indonesia. Dan Korea Selatan semakin banyak disebut sebagai teladan dalam kesungguhan memberantas korupsi dan kecurangan yang lain.

Dalam suasana seperti itu lahir Komnas HAM. Mula-mula kemunculannya ditanggapi dengan sikap-sikap skeptis, mungkin malah sinis, oleh beberapa kalangan. Namun akhirnya, melalui kiprah para pemimpin dan tokohnya yang tegar dan konsisten, Komnas tumbuh menjadi salah satu tumpuan harapan rakyat untuk memperoleh keadilan.

 
Tetapi pengalaman-pengalaman traumatis itu dirasakan tidak relevan lagi untuk sebagian warga negara, khususnya dari generasi muda.
 
 

Sudah tentu penghargaan pertama harus ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia yang telah mengambil keputusan untuk mendirikan Komnas itu. Lebih jauh, Presiden memberi jaminan kebebasan kepada Komnas, baik sebagai lembaga maupun lewat pribadi para anggotanya, sepanjang semuanya itu ada dalam garis tujuannya sendiri, yaitu menegakkan nilai-nilai hak asasi dan meningkatkan kesadaran rakyat kepada nilai-nilai itu.

Sepanjang kiprahnya semenjak berdiri, Komnas praktis tidak pernah mengalami hambatan gawat oleh siapa pun. Dalam banyak hal, Komnas menjadi mitra para aktivis berbagai LSM dengan sasaran dedikasi yang sama.

Meningkatnya kesadaran akan HAM di negeri ini sebenarnya dapat dipandang sebagai pancaran kehadiran Komnas HAM itu sendiri. Usaha-usaha terarah memang dilakukan, namun efektivitas kehadiran Komnas dalam menciptakan suasana umum yang mendukung tumbuhnya kesadaran hak-hak asasi adalah yang lebih utama.

 
Usaha-usaha terarah atau deliberate juga dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran dan penghargaan kepada hak-hak asasi.
 
 

Keputusan-keputusan dan sikap-sikap yang diambil untuk berbagai kasus, yang dirasakan oleh umum sebagai cukup adil dan obyektif, telah menimbulkan lingkungan sosial-politik yang berkepercayaan kepada nilai-nilai hak asasi.

Demikian pula penampilan para tokohnya, baik melalui seminar, wawancara, dan pernyataan, telah meninggalkan bekas yang cukup positif bagi usaha penumbuhan penghargaan dan kesadaran akan hak-hak asasi.

Usaha-usaha terarah atau deliberate juga dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran dan penghargaan kepada hak-hak asasi. Kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan segi-segi kognitif atau pengetahuan tentang hak-hak asasi banyak dilakukan melalui seminar-seminar (nasional dan internasional), ceramah-ceramah dan tulisan-tulisan di media massa, baik yang dilakukan secara kelembagaan Komnas maupun secara pribadi para anggotanya.

Juga diadakan pendekatan kepada pihak yang berwenang (dalam hal ini Depdikbud) untuk kemungkinan menjadikan masalah hak-hak asasi suatu mata pelajaran dalam jenjang pendidikan formal tertentu (suatu pikiran yang sesungguhnya agak terkekang, mengingat pengalaman serupa untuk bidang-bidang lain seperti P4 yang tidak banyak berhasil).

 
Kedua pendekatan itu dirasakan sangat bermanfaat untuk semua, dan sudah pula menunjukkan dampak positifnya di masyarakat.
 
 

Mengingat adanya segi "power relations" yang menyangkut masalah penghormatan kepada HAM, kegiatan lain komnas yang amat perlu disebutkan ialah pendekatan kepada pusat-pusat kekuasaan, dalam hal ini Markas Besar Angkatan Bersenjata RI (Mabes ABRI) dan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam).

Kedua pendekatan itu dirasakan sangat bermanfaat untuk semua, dan sudah pula menunjukkan dampak positifnya di masyarakat. Sebuah Komando Daerah Militer (Kodam), yaitu Irian Jaya, telah dengan baik sekali membuat ''manual'' tentang HAM, yang kemudian diakui nilainya oleh banyak kalangan, termasuk oleh Komnas HAM sendiri.

Semua indikasi ke arah meningkatnya penghargaan dan kesadaran umum terhadap HAM itu sangat membesarkan hati. Namun memang masih banyak hal yang harus ditanggulangi. Sekali lagi, jika diukur dengan berbagai poin nilai-nilai hak asasi seperti tercantum dalam berbagai dokumen historis tersebut di bagian terdahulu, maka keadaan di Indonesia masih cukup jauh dari semestinya.

Sumbernya diperkirakan ada dua: pertama, lemahnya konstitusi, dalam arti tidak memadainya ketentuan tentang hak-hak asasi karena tidak ada pencantuman yang tegas dan spesifik; kedua, refleksi (atau emanasi?) dari kelemahan konstitusional itu berupa kuatnya aspirasi etatis pada pihak pemegang kekuasaan, jadi masalah power relations.

 
Semua indikasi ke arah meningkatnya penghargaan dan kesadaran umum terhadap HAM itu sangat membesarkan hati.
 
 

Yang cukup mengkhawatirkan ialah kalau-kalau semua gejala positif tersebut tadi terjadi hanya secara kebetulan (accidental) dan kurang segi pengertian masalahnya secara mantap. Ini dapat dikatakan terbukti dalam cara penanganan peristiwa-peristiwa politik tertentu, khususnya Peristiwa 27 Juli. Juga dalam timbulnya pikiran tentang aturan pelaksanaan pemilihan umum Mei 1997 ini, yang jelas merupakan kemunduran dibanding sebelumnya (suatu ironi!).

Pernyataan Menteri Dalam Negeri yang membolehkan, atau malah mengundang, para pengamat asing untuk ikut memperhatikan pelaksanaan pemilihan umum nanti sungguh merupakan hal yang banyak menjanjikan perbaikan. Kita berharap bahwa hal itu dilakukan sebagai tindakan deliberate karena kesadaran tentang apa makna pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil sebagai icon demokrasi.

Tetapi, sekali lagi, jika hal itu hanya suatu tindakan accidental dan tidak deliberate serta hanya karena dorongan keperluan mendesak, maka berarti memang masih sangat banyak yang harus dilakukan di negeri ini untuk menegakkan HAM dan meningkatkan kesadaran umum akan makna dan nilai HAM.

Disadur dari Harian Republika edisi 1 Mei 1997. Nurcholish Madjid (1938-2005) adalah mantan rektor Universitas Paramadina. Ia salah satu budayawan dan pemikir Muslim paling berpengaruh di Indonesia.

Tentang Pembakaran Alquran

Bahwa Alquran tidak akan pernah menjadi lenyap karena pembakaran.

SELENGKAPNYA

Kesombongan Firaun

Kesombongan akan mengantarkan kita pada kebinasaan.

SELENGKAPNYA

Udjo Ecoland, Agrowisata di Kebun Bahan Baku Angklung

Udjo Ecoland merupakan salah satu kawasan konservasi bambu yang memiliki 34 jenis tanaman bambu.

SELENGKAPNYA