Penampakan kapal perang USS Barry yang belakangan kerap berpatroli di Laut Cina Selatan. | US Navy

Internasional

Perang AS-Cina Menjelang?

Seorang jenderal AS memprediksi konflik terbuka pada 2025.

OLEH RIZKY JARAMAYA, FITRIYAN ZAMZAMI

Pada akhir pekan lalu, Kepala Komando Mobilitas Udara Amerika Serikat, Jenderal Mike Minihan, melansir prediksi mengkhawatirkan. Ia punya perasaan bahwa konflik AS dan Republik Rakyat Cina (RRC) tak lama lagi pecah.

"Saya harap saya salah. Tapi firasat saya mengatakan kita akan berperang (dengan Cina) pada 2025," ujar Minihan.

Ia serius dalam pernyataan ini, memo tersebut ia sebarkan kepada pimpinan dari sekitar 110 ribu anggotanya. Minihan mengatakan, Amerika Serikat dan Taiwan akan mengadakan pemilihan presiden pada 2024. Hal ini berpotensi menciptakan peluang bagi Cina untuk mengambil tindakan militer.

Pentagon, markas militer Amerika Serikat, mencoba menepis peringatan tersebut. "Komentar-komentar ini tidak mewakili pandangan departemen (pertahanan) tentang China," kata seorang pejabat pertahanan.

Tur Pompeo mengadang Cina - (Republika)  ​

Meski begitu, menanggapi surat Minihan, Brigadir Jenderal Patrick Ryder dari Angkatan Udara AS mengatakan, persaingan militer dengan Cina merupakan tantangan utama. “Fokus kami tetap bekerja bersama sekutu dan mitra untuk menjaga Indo-Pasifik yang damai, bebas, dan terbuka,” kata Ryder.

Selain pernyataan tersebut, langkah Amerika selanjutnya juga menguatkan kewaspadaan tersebut. Pada Kamis (2/2) Amerika Serikat mengamankan tambahan empat pangkalan militer yang bisa mereka akses di Filipina. Secara total, melalui skema Perjanjian Kerjasama Pertahanan yang Ditingkatkan (EDCA), ada lima pangkalan militer yang disediakan Filipina bagi AS.

AS belum mengatakan di mana pangkalan baru itu, tetapi tiga dari pangkalan itu mungkin berada di Pulau Luzon, sebuah pulau di ujung utara Filipina, satu-satunya pulau besar yang dekat dengan Taiwan. Selain itu, dibuka juga kemungkinan pengisian kembali pangkalan militer AS di Teluk Subic.

photo
Pangkalan Subic saat masih dikuasai pasukan AS sebelum 1992. - (Dok Angkatan Laut AS)

Dua lokasi ini bakal berhadap-hadapan dengan garis depan Cina yang diperkuat belakangan. Di utara, pangkalan militer akan mengadakan aksi-aksi Cina yang belakangan kerap melakukan latihan militer dengan pesawat-pesawat tempur yang merangsek wilayah Taiwan di Laut Cina Timur.

Cina berulang kali mengancam penggunaan kekuatan bersenjata guna mencegah kemerdekaan Taiwan. Sementara AS terus menggoda dengan sejumlah pejabat dan legislatif secara reguler mengunjungi Taiwan. 

Sedangkan di barat, pangkalan militer menghadap langsung wilayah Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel di Laut Cina Selatan. Angkatan Laut Cina sejak lama menguatkan keberadaan militer di dua wilayah itu guna menguatkan klaim atas hampir seluruh wilayah Laut Cina Selatan. Di Kepulauan Paracel, merujuk tangkapan citra satelit, Cina bahkan telah mengembangkan pangkalan militer lengkap.

Eskalasi ketegangan

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina Mao Ning mengatakan, penguatan militer AS di kawasan dapat meningkatkan ketegangan. Langkah ini juga dapat mempertaruhkan perdamaian dan stabilitas. "Negara-negara kawasan harus tetap waspada dan menghindari paksaan atau dimanfaatkan oleh AS," kata Mao kepada wartawan dalam jumpa pers harian.

photo
Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin III (kanan) menyapa Komandan Militer Regional Mindanao Barat Letnan Jenderal Roy Galido dalam kunjungan di Camp Don Basilio Navarro di Zamboanga, Filipina Selatan, Rabu (1/2/2023). - (Western Mindanao Command via AP)

Sedangkan Menteri Pertahanan AS, Lloyd Austin, memimpin upaya untuk memperkuat kemitraan keamanan regional dan memperbarui persenjataan, termasuk penempatan pasukan Amerika dan sekutu di Asia dalam menghadapi kekuatan militer Cina yang meningkat. "Ini persoalan besar," kata Austin pada konferensi pers, sambil mencatat bahwa perjanjian itu tidak berarti pendirian kembali pangkalan permanen Amerika di Filipina.

Austin memberikan jaminan dukungan militer AS. Filipina dan AS memiliki Perjanjian Pertahanan Bersama 1951. Perjanjian ini mewajibkan AS dan Filipina untuk membantu membela satu sama lain dalam konflik besar.

Austin mengatakan, perjanjian ini berlaku untuk serangan bersenjata di salah satu angkatan bersenjata, kapal publik, atau pesawat di Laut Cina Selatan. "Kami membahas tindakan nyata untuk mengatasi aktivitas destabilisasi di perairan. Ini adalah bagian dari upaya kami untuk memodernisasi aliansi kami, dan upaya ini sangat penting karena Republik Rakyat Cina terus mengajukan klaim tidak sahnya di Laut Filipina Barat,” kata Austin.

Austin pada Selasa (31/1) mengatakan kepada Korea Selatan bahwa AS akan mengirim lebih banyak jet tempur dan pembom. Kemudian Washington juga membuat deklarasi keamanan dengan mitranya, Jepang. Dalam deklarasi itu, AS akan mengalihkan penempatan militernya untuk membuat kekuatan tempur yang lebih gesit.

Pada 2021, Pemerintah AS juga memutuskan untuk menyediakan kapal selam bertenaga nuklir ke Australia. Austin mengatakan, ancaman Cina terhadap tatanan internasional belum pernah terjadi sebelumnya.

“Perilaku ini menjadi perhatian serius bagi aliansi dan seluruh komunitas internasional, dan merupakan tantangan strategis terbesar di kawasan Indo-Pasifik dan sekitarnya," ujar Austin.

Hubungan Rumit Cina dan Taiwan - (republika)  ​

Sebagian pihak menilai bahwa kandungan minyak bumi dan gas yang melimpah di Laut Cina Selatan menjadi alasan berbagai negara demikian kukuh mengklaim wilayah Laut Cina Selatan. Ekonom Administrasi Informasi Energi AS (EIA) Alexander Metelitsa tak sepakat.

Merunut data EIA, cadangan minyak yang sudah terbukti ada di Laut Cina Selatan hanya sekitar dua persen dari keseluruhan cadangan dunia. Sedangkan, cadangan gas yang terbukti hanya empat persen dari keseluruhan cadangan dunia.

Di samping itu, cadangan minyak bumi yang belum terbukti ada di Laut Cina Selatan diperkirakan sekitar dua persen juga dari cadangan dunia. Sementara, cadangan gas yang belum terbukti hanya sekitar tiga persen dari cadangan dunia.

Cadangan yang terbukti dan belum terbukti tersebut, kata Metelitsa, kebanyakan ditemukan di area-area yang tak disengketakan. Hanya seperlima dari cadangan-cadangan tersebut ada di wilayah sengketa. "Laut Cina Selatan tak krusial dalam hal cadangan minyak dan gas," kata Metelitsa kepada Republika beberapa waktu lalu.

photo
Peta Sengketa Wilayah Laut Cina Selatan - (Wikimedia Commons)

Sedangkan, Simon Funge-Smith, petinggi di Sekretariat Komisi Perikanan Asia Pasifik dari Organisasi Pangan dan Agrikultur PBB (FAO) mengatakan, perikanan juga tak selayaknya menjadi alasan konflik di Laut Cina Selatan. Menurut data FAO, rerata ikan yang ditangkap di Laut Cina Selatan dalam setahun kira-kira 5,4 juta ton.

Meski kelihatannya banyak, jumlah itu hanya 6,7 persen dari tangkapan ikan gobal per tahun. Selain itu, jumlah ikan di Laut Cina Selatan juga sudah terkuras oleh pemancingan yang dilakukan secara tak terkendali. "Kerap ada asumsi yang salah bahwa masih ada potensi signifikan untuk ekspansi lebih luas terkait perikanan di Laut Cina Selatan," kata dia.

Di Beijing, berbagai pihak mengamini bahwa bukan minyak, bukan gas, bukan juga ikan yang menjadi alasan mereka mempertahankan klaim di Laut Cina Selatan. "Seperti sapi mengeluarkan susu, saya kira ada lah hal yang alamiah jika kami ingin mempertahankan wilayah kedaulatan kami," kata Kapten Senior Zhang Junshe, perwira Angkatan Laut (AL) Cina, dari Institut Riset Kelautan Kementerian Pertahanan Cina, pada 2015 lalu.

Jika menilik peta Laut Cina Selatan, tampak bahwa wilayah itu dikelillingi oleh negara-negara yang sementara ini punya hubungan militer dengan AS. Sebab itu, menurut Tong Zhao, analis dari Carnegie-Tsinghua Center for Global Policy di Beijing, Cina tengah merancang sebuah benteng pertahanan di Laut Cina Selatan.

photo
Tangkapan citra satelit menunjukkan pulau buatan Cina di Laut Cina Selatan, beberapa waktu lalu. Pulau tersebut dikhawatirkan bertujuan sebagai pangkalan militer. - (AP Photo)

Dengan meluaskan klaim di Laut Cina Selatan, Cina bisa menjauhkan kekuatan-kekuatan militer negara lain yang berpotensi mengancam keamanan Cina, terutama AS, dari sisi tersebut. Dengan area yang lebih luas, Cina bisa leluasa mengoperasikan kapal tempur, pesawat, dan kapal selam guna menghalau kekuatan lain sebelum mendekati Cina.

Wu Shicun, presiden Institut Nasional Studi Laut Cina Selatan (NISCSS) yang merupakan think tank utama terkait wilayah tersebut di Cina, menilai kepentingan Cina tersebut kemudian berbenturan dengan obsesi militer AS yang ingin bisa bergerak di mana saja di muka bumi tanpa dibatasi.

Ia juga meyakini, seperti juga diyakini para pejabat di Beijing, bahwa perpindahan pivot militer AS ke Asia benar-benar untuk menahan laju kebangkitan ekonomi dan militer Cina. "Saya rasa ini alasan utama kenapa Cina merasa tak aman," kata Wu Shicun.

Ian Storey, peneliti senior di Institut Studi Asia Tenggara (ISEAS), Singapura, yang telah menelaah konflik Laut Cina Selatan ketika mula-mula mencuat pada 1990-an, menilai alasan konflik di Laut Cina Selatan tak sedemikian sederhana.

Ia berpandangan bahwa nasionalisme, langkah hukum klaiman tertentu, kompetisi sumber daya alam, militerisasi, dan keterlibatan AS di regional, seluruhnya punya peran meningkatkan tensi di Laut Cina Selatan. Meski menurutnya, kelindan kepentingan negara-negara bakal mencegah perang besar terjadi.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Suara Hati Pramugari yang Dilarang untuk Berjilbab

Mereka mendapatkan informasi ketika wawancara rekrutmen awal bahwa jilbab belum boleh dikenakan.

SELENGKAPNYA

Seabad Observatorium Astronomi Modern Indonesia

Teleskop sepanjang 11 meter yang didatangkan dari Jerman dan mulai beroperasi sejak tahun 1928 tersebut menjadi alat pengamatan bintang terbesar serta menjadi ikon observatorium itu.

SELENGKAPNYA

Menggugat Dominasi Finansial Liga Inggris

Liga-liga di Eropa kesulitan bersaing finansial dengan Liga Primer

SELENGKAPNYA