
Khazanah
Hari Hijab Sedunia, 'Aisyiyah: Masih Ada Pelarangan Jilbab
Ketika ada perempuan Muslim yang ingin mengekspresikan haknya dengan hijab, ia perlu diperhatikan.
Hari Hijab Sedunia yang diperingati setiap 1 Februari masih menyisakan pekerjaan rumah bagi umat Islam. Pasalnya, masih banyak Muslimah di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, yang belum bisa menikmati hak untuk berjilbab.
Ketua Umum PP 'Aisyiyah Salmah Orbayinah menjelaskan, Hari Hijab Sedunia ini menjadi penanda harapan bagi seluruh Muslimah Indonesia untuk bisa menggunakan hijab tanpa tekanan dan tanpa diskriminasi.
"Di beberapa sektor, yang kami ketahui, dipermudah dalam hal penggunaan hijab. Tidak ada larangan, misalnya untuk dosen. Di perguruan tinggi negeri pun saya kira tidak ada halangan. Kebetulan saya dosen dan saya tidak melihat ada halangan untuk menggunakan hijab," tuturnya kepada Republika, Kamis (2/2/2023).

Meski demikian, Salmah memberi catatan untuk institusi pendidikan seperti perguruan tinggi yang basisnya non-Muslim. Sebab, temannya yang berprofesi sebagai dosen di perguruan tinggi tersebut pernah dihadapkan pada situasi ketika dia harus keluar dari kampus tersebut karena mengenakan hijab.
"Untuk perguruan tinggi yang tidak mengizinkan penggunaan hijab, tentu itu kurang bijak. Kami di 'Aisyiyah menggelorakan perdamaian, persatuan, keberagamaan, Islam yang moderat, dan Islam yang rahmatan lil 'alamin. Maka, kasus seperti itu perlu ditinjau kembali aturannya," katanya.
Salmah menjelaskan, di kampus 'Aisyiyah dan Muhammadiyah yang berada di daerah dengan jumlah Muslim minoritas, sebanyak 80 persen mahasiswanya non-Muslim, kampus tetap membolehkan mereka tidak menggunakan hijab sebagai wujud penghargaan terhadap kepercayaan masing-masing.
Lihat postingan ini di Instagram
Dia melihat para perempuan Muslim saat ini memang dapat menikmati kebebasan mengenakan hijab di berbagai lini. Di sektor swasta, layanan publik, dan lainnya, dapat dilihat banyak karyawan yang mengenakan hijab. Namun, dia mengatakan, masih ada pihak yang belum membolehkan karyawannya mengenakan hijab.
"Misalnya di maskapai penerbangan atau di layanan perhotelan. Maka, ini sebaiknya perlu ditinjau ulang karena Muslimah itu punya hak sepenuhnya untuk menjalankan aturan-aturan dalam agamanya," ujarnya.
Muslimah itu punya hak sepenuhnya untuk menjalankan aturan-aturan dalam agamanya.SALMAH ORBANIYAH Ketua Umum PP 'Aisyiyah
Karakteristik berbagai agama yang ada, lanjut Salmah, terletak pada aturan-aturannya. Semua agama tentu mengajarkan kebaikan, tetapi yang membedakan adalah ritual ibadahnya.
Karena itu, ketika ada perempuan Muslim yang ingin mengekspresikan haknya menggunakan hijab di sektor apa pun, itu perlu diperhatikan betul-betul. "Di sektor apa pun. Tidak perlu memilih-milih sektor," katanya.
Dia pun menegaskan, 'Aisyiyah menghargai ketika ada anggotanya yang belum mengenakan jilbab. Bahkan, ada dosen tamu di perguruan tinggi 'Aisyiyah dan Muhammadiyah yang tidak memakai jilbab. Menurut dia, dalam Islam pun ada penafsiran berbeda mengenai penggunaan hijab.
"Tetapi, 'Aisyiyah memandang bahwa perempuan Muslim itu menggunakan jilbab sebagaimana disebutkan dalam Alquran. Perkara kemudian anggota lain ada yang tidak menggunakannya, tidak apa-apa, karena mungkin dalam proses keyakinannya," ujar dia.

Gerakan dari New York
Imam Besar Islamic Center New York, Imam Shamsi Ali, menjelaskan, peringatan Hari Hijab Sedunia ditetapkan melalui sebuah resolusi NYC Council Resolution (DPRD New York). Nazma Khan, seorang perempuan keturunan Bangladesh di New York, merupakan pencetus ide gerakan sederhana itu. Pada akhirnya, gerakan itu mampu mendulang apresiasi dan perhatian dunia.
“Tentu mengagetkan karena Hari Hijab Sedunia bermula dari Kota New York, Amerika Serikat, sebuah negara yang mungkin secara jumlah masih memiliki populasi Muslim cukup rendah. Justru dengan situasi itu Hari Hijab Sedunia dicetuskan dan dikembangkan pertama kali di kota dunia ini,” ujar Imam Shamsi dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Kamis (2/2).
Tentu mengagetkan karena Hari Hijab Sedunia bermula dari Kota New York, Amerika Serikat.IMAM SHAMSI ALI
Dengan meningkatnya Islamofobia, khususnya pascaperistiwa 9/11 pada 2001, para Muslimah yang mengenakan hijab di negara itu kerap mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan, bahkan tidak jarang mendapatkan kekerasan fisik. “Belum lagi stereotipe dan diskriminasi di tempat-tempat umum dan pekerjaan mereka,” ucap Presiden Nusantara Foundation tersebut.
Menurut dia, hal serupa juga pernah dialami oleh Nazma Khan hingga membuatnya merasa tidak bisa tinggal diam. Perempuan asal Bangladesh yang berpenampilan sederhana itu justru termotivasi melihat tantangan di hadapannya.
“Dia (Nazma --Red) kemudian bangkit untuk melakukan koreksi sosial. Salah satunya dengan mengajak teman-teman perempuannya yang non-Muslim untuk mencoba dan merasakan pengalaman mengenakan hijab,” kata Imam Shamsi.
Suara Hati Pramugari yang Dilarang untuk Berjilbab
Mereka mendapatkan informasi ketika wawancara rekrutmen awal bahwa jilbab belum boleh dikenakan.
SELENGKAPNYACinta Matematika Sampai Cumlaude
Saat menamatkan studinya, Izza harus menghadapi tantangan finansial.
SELENGKAPNYA