
Nusantara
Panglima: TNI Tetap di Papua
Panglima menilai jeda kemanusiaan tak mempan.
JAKARTA -- Konflik bersenjata di Papua belakangan kian mematikan. Meski ada desakan pengurangan pasukan TNI di wilayah itu, Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Laksamana Yudo Margono bergeming.
Menurut dia, tak ada yang bisa menjamin keamanan masyarakat sipil Papua meskipun sudah ada penandatanganan jeda kemanusiaan bersama. Karena itu, TNI tetap melaksanakan tugas untuk menjamin keamanan dan keselamatan masyarakat Papua.
"Kita sebenarnya juga menyayangkan, ada jeda kemanusiaan, tapi masih terjadi seperti itu. Nah, kami tentunya juga harus stand by, jangan sampai digunakan istilah jeda kemanusiaan, masyarakat tidak jamin," ujar Yudo seusai rapat kerja tertutup dengan Komisi I DPR, Kamis (2/2).
"Siapa yang menjamin masyarakat itu? Dengan jeda kemanusiaan? Kalau memang bisa sepakat dan ada jaminan itu, saya siap," sambungnya.

Diketahui, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Majelis Rakyat Papua (MRP), dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) menandatangani kesepakatan jeda kemanusiaan bersama di Jenewa, Swiss, pada 11 November 2022. Namun, dalam kesepakatan tersebut, TNI, Polri, dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) sebagai pihak-pihak yang berseteru tidak dilibatkan.
Yudo sendiri menyayangkan masih adanya pembakaran sekolah, penembakan pesawat, hingga penyerangan terhadap masyarakat sipil saat jeda kemanusiaan tersebut. Jika memang ada yang bisa menjamin keamanan di Papua, ia mengaku akan menyepakati isi jeda kemanusiaan tersebut.
"Masyarakat sampai waktu itu mengungsi ke bandara, ini siapa kira-kira yang menjamin jeda kemanusiaan? Kan memang ada yang menyatakan 'Saya jamin tidak terjadi ini', oke, saya siap juga mematuhi itu," ujar Yudo.
Nota kesepahaman yang diteken oleh Komnas HAM, MRP, dan ULMWP mengatur prinsip, prosedur, dan mekanisme pelaksanaan jeda kemanusiaan. Tujuan utamanya adalah untuk menargetkan pemberian bantuan kemanusiaan kepada warga sipil yang terjebak di daerah yang terkena dampak konflik bersenjata dan warga sipil yang mengungsi akibat konflik bersenjata di wilayah dan jangka waktu tertentu melalui koridor kemanusiaan yang akan diungkap lebih lanjut pada masa depan.
Selain hal tersebut, jeda kemanusiaan bersama ini meliputi jaminan pemenuhan hak-hak dasar manusia bagi para tahanan, yaitu tahanan politik di Papua. Jeda kemanusiaan bersama ini merupakan upaya untuk mendorong penghentian sementara permusuhan dan kekerasan guna mendukung proses penjajakan menuju perundingan damai untuk mengatasi konflik berkepanjangan di Papua.
Panglima juga mengatakan, pihaknya menerapkan tiga pendekatan dalam mengatasi konflik di Papua. Pendekatan pertama adalah soft approach melalui pembinaan teritorial dan komunikasi sosial.

"Kemudian, culture approach, ini pendekatan para tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh kepemudaan. Kita melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti pengobatan, bakti sosial, dan sebagainya. Ini khusus untuk daerah-daerah yang kita nilai tingkat keamanannya masih kondusif," ujar Yudo.
Terakhir adalah pendekatan hard approach yang ditujukan kepada daerah-daerah yang memiliki kerawanan tinggi. Pendekatan operasi yang tegas itu dilakukan apabila menghadapi situasi dengan kelompok kriminal bersenjata maupun kelompok separatis.
"Kita melaksanakan dengan tegas, dengan bersenjata, karena memang kita pasukan militer yang menghadapi kontak tembak, ya, kita laksanakan dengan tegas. Tapi, tetap, apabila tertangkap, ya, kita serahkan kepada polisi untuk diproses hukum," ujar Yudo.
Adapun keamanan secara keseluruhan di Papua ia klaim aman. Meski begitu, dalam beberapa waktu terakhir terdapat sejumlah insiden, seperti pembakaran sekolah, penembakan pesawat, hingga penyerangan terhadap warga sipil oleh kelompok bersenjata.
"Kita sudah memetakan daerah mana saja yang tingkat keamanannya bisa kita jamin. Kemudian, ada juga tingkat keamanannya yang masih terjadi tadi. Letupan-letupan yang terjadi yang tidak kita duga terjadi," ujar Yudo.
"Di situ kita petakan, sehingga para prajurit juga kita atur mana yang melaksanakan soft, culture, maupun mana prajurit-prajurit yang melaksanakan hard approach," ujarnya lagi.
Sebelumnya, Center for Strategic and International Studies (CSIS) membaca ada intensitas konflik yang menguat hingga jatuhnya korban jiwa di Papua. CSIS mendorong pemerintah untuk mencari solusi komprehensif atas permasalahan di Bumi Cendrawasih.
Hal tersebut dikatakan Direktur Eksekutif CSIS Yose Rizal Damuri dalam seminar pemaparan studi CSIS bertajuk "Kompleksitas Perlindungan Warga Sipil dalam Konflik Separatis dan Agama di Indonesia", Kamis (26/1).
Ia menegaskan, konflik separatis Papua masih menjadi hal yang penting untuk terus diamati sekaligus dicarikan jalan keluarnya bersama-sama. Yose juga menyebut masih banyak permasalahan yang bisa diperbaiki untuk melindungi warga sipil di konflik Papua. Salah satunya, CSIS menemukan bahwa warga sipil memandang militer, polisi, dan separatis sebagai bagian dari konflik yang terjadi.
"Sebagai implikasi ini berikan trauma bagi banyak orang asli Papua, baik secara pribadi dan kolektif. Hal ini tentunya menghalangi, memberikan beban untuk penyelesaian komprehensif," ungkap Yose.
Kepala Komnas HAM Papua Frits Bernard Ramandey mengkritisi jumlah penempatan satgas dari Polri dan TNI yang terlalu banyak di Papua. Menurut dia, hal tersebut justru menimbulkan permasalahan, salah satunya dugaan pelanggaran HAM. Sepanjang 2021, Komnas HAM Papua memeriksa puluhan anggota TNI yang terlibat kasus kekerasan.
"Di 2022, kekerasan terhadap anak-anak dilakukan TNI. Ini sangat bahaya karena timbulkan dendam dan perlawanan di kemudian hari yang lebih kuat," ucap Frits.
Eskalasi Konflik di Papua Kian Mengkhawatirkan
Sebanyak 228 meninggal akibat konflik di Papua pada 2022.
SELENGKAPNYATeka-teki Kebakaran Rumah Dinas Kapolda Papua
Klaim penyebab kebakaran akibat korsleting terdengar klise dan diragukan.
SELENGKAPNYA